Berita Ponorogo
Hari Santri, Mengenang Sosok MZ Kajubi, Komandan Banser Pertama Yang Gigih Lawan PKI
Tidak banyak orang tahu jika komandan barisan serbaguna (Banser) merupakan warga Kabupaten Ponorogo. Adalah Muhammad Zainudin Kajubi atau biasa dikena
Penulis: Pramita Kusumaningrum | Editor: Ndaru Wijayanto
Laporan Wartawan Tribunjatim.com, Pramita Kusumaningrum
TRIBUNJATIM.COM, PONOROGO - Tidak banyak orang tahu jika komandan barisan serbaguna (Banser) merupakan warga Kabupaten Ponorogo. Adalah Muhammad Zainudin Kajubi atau biasa dikenal dengan nama MZ Kajubi.
Warga asal Desa Pengkol, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo ini dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tamanarum Ponorogo.
Tribunjatim.com mencoba menelusurinya. Istri MZ Kajubi bernama Siti Khomariah masih sehat. Saat ini Siti Khomariah tinggal di utara Masjid Agung Ponorogo.
Di rumahnya tersebut, terpampang nyata foto MZ Kajubi. Itu adalah satu-satunya kenangan Siti Khomariah terhadap pria yang telah memberikan dirinya 9 anak itu.
“Bapak gabung dan mendirikan Banser untuk memberantas PKI,” kenang Siti Khomariah saat ditemui Tribunjatim.com, Minggu (22/10/2023).
Dia menjelaskan lelaki yang telah mendampinginya itu memang getol berorganisasi. Sebelum mendirikan Banser, MZ Kajubi juga gabung pada GP Anshor Blitar.
Baca juga: Banser di Gresik Meninggal saat Jaga Sholawatan, Habib Syech: Insyaallah Ditempatkan di Surga
Baca juga: Animo Masyarakat Ikuti Jalan Santai Hari Santri 2023, Husnul Khuluq : Gak Nyantri, Gak Mbois
“Bapak juga santri di Nganjuk. Lalu menikah dengan saya dan tinggal di Blitar. Bapak kerja di Departemen Agama, kepala KUA. Pensiun pengen pindah ke Ponorogo dan memang meninggal di Ponorogo,” katanya.
Najib Farid, putra ketiga MZ Kajubi dan Siti Khomariah memutar kembali kenangan. Saat itu, dia kasih SD, dimana MZ Kajubi mewanti-wanti pentingnya ilmu agama.
“Bapak itu kereng (galak), Teges (tegas). Tapi nyatanya ya berguna bagi saya dan saudara-saudara saya,” kenangnya.
Dia mengatakan bahwa MZ Kajubi Memamg aktif dalam berorganisasi. Dia mengatakan bahwa bapak aktif dalam GP Anshor Blitar. Juga aktif membantu TMI memerangi PKI.
Baca juga: Kronologi Kader Banser Jember Dikeroyok hingga Tak Sadarkan Diri di Kebun Kopi
Samar dalam ingatan Farid, kondisi pemberontakan PKI tahun 1960 an menjadikan PC GP Anshor se Kediri membentuk komandan daerah (Komda) atau cikal bakal Banser.
“Saat itu Banser siap dalam segala hal. Sampai memandikan mayat juga harus siap. Kantor pertama Banser ya di rumah kami di Jalan Semeru Blitar,” bebernya.
Menurutnya, rumah di Blitar tidak pernah kosong. Dimana selalu ada tamu berkunjung walaupun sudah dini hari.
“Dan tamu selalu suruh makan. Bapak selalu menghormati tamu. Itu yang juga dicontoh oleh anak-anaknya,” pungkasnya
Penghormatan Kepada MZ Kajubi
Sebuah makam di tempat pemakaman umum atau TPU Kelurahan Tamanarum, Ponorogo, tampak berbeda dengan makam lainnya.
Di makam tersebut terdapat tugu prasasti bertuliskan 'DI SINI DIMAKAMKAN MZ KAJUBI SALAH SATU PENDIRI BANSER/KOMANDAN BANSER PERTAMA' .
Di tugu tersebut juga terpatri bendera merah putih, lambang Nahdlatul Ulama, GP Ansor, serta Barisan Ansor Serbaguna (Banser).
Tampak dua orang yang sedang berziarah di makam tersebut, yang tak lain adalah Ketua GP Ansor Ponorogo, Syamsul Maarif, dan Kasatkorcab Banser Ponorogo, Sudarsono pada tahun 2021.
"Kami sebagai kader Ansor sebagaimana tradisi di NU, berziarah dan bertawasul ke pendahulu yakni almarhum Muhammad Zein Kajubi," kata Syamsul, Selasa (4/5/2021).
Baca juga: Sederet Perayaan Hari Santri Nasional 2023 di Bumi Reog, Kang Giri Libatkan Ponpes se-Ponorogo

Syamsul menyebutkan, Kajubi mendirikan Banser pada masa awal-awal kemerdekaan Indonesia.
Untuk itulah kader Ansor dan Banser memberikan penghormatan kepada Kajubi dengan memasang prasasti di makam Kajubi.
"Almarhum Mbah Kajubi ini juga sering diziarahi oleh sahabat Banser dari berbagai daerah, khususnya di wilayah Jawa Timur," lanjutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sudarsono mengungkapkan MZ Kajubi merupakan putra asli Ponorogo.
Kajubi lahir di Desa Pengkol, Kecamatan Kauman pada 1 Januari 1926.
Baca juga: Kumpulan Quotes Islami untuk Ucapan Hari Santri Nasional 2023, Cocok Dibagikan ke WA atau Medsos
Semasa remaja, Kajubi sudah mengenal pendidikan agama dengan mondok di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Nganjuk.
Setelah selesai mengenyam bangku pendidikan, Kajubi memulai karier di Departemen Agama (Depag) Ponorogo lalu pindah ke Blitar.
"Di Blitar Mbah Kajubi ini daftar ke dalam Barisan Hizbullah untuk melawan penjajah," kata Sudarsono.
Saat itu ia diperintahkan untuk mengkoordinasi pemuda-pemuda Ansor di Blitar, Kediri, Tulungagung dan sekitarnya hingga membentuk Banser.
"Pasukan yang dibentuk Mbah Kajubi ini pernah dipimpin langsung oleh Hadratusyaikh Hasyim Asyari dalam memerangi penjajah," lanjut Sudarsono.
Baca juga: Arti Kata Santri, Hari Ini Hari Santri 2023, Kemenag Usung Tema Jihad Santri Jayakan Negeri
Di tempat terpisah, Pengurus Litbang PCNU Ponorogo, Krisdianto menjelaskan, cikal bakal terbentuknya Banser berawal dari terjadinya aksi-aksi massa di Blitar oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memuluskan kepentingan politiknya.
Salah satunya adalah dengan memobilisasi massa untuk melakukan berbagai tindak kekerasan.
Aksi tersebut mendapatkan perlawanan dari NU yang dipelopori GP Ansor Blitar dengan membentuk suatu kesatuan paramiliter yang dikenal sekarang dengan istilah Banser.
"Banser ini punya kualifikasi disiplin dan dedikasi yang tinggi, ketahanan fisik dan mental yang tangguh," kata Krisdianto.
Kajubi yang saat itu menjabat sebagai Ketua GP Ansor Blitar ditunjuk sebagai Ketua Korda eks-Karesidenan Kediri yang meliputi Kabupaten dan Kota Kediri, lalu Kabupaten dan Kota Blitar, Trenggalek, Tulungagung, dan Nganjuk.
Pada 24 April 1964, dalam peringatan Harlah GP Ansor, Ketua PBNU, KH Idham Chalid, melantik Banser Blitar.
"Atas prestasinya membentuk Banser, beliau mendapatkan penghargaan Bintang Satya Lencana dari GP Ansor," jelas Krisdianto.
Kajubi sendiri pensiun dari Kantor Depag Blitar tahun 1978 dan setahun kemudian pulang ke Ponorogo.
Ia lalu membangun rumah, yang saat ini beralamat di Jalan KH Wahid Hasyim, Kelurahan Kauman, Kecamatan Ponorogo.
Kajubi menghabiskan masa tuanya di rumah tersebut dengan istrinya, Siti Qomariyah hingga Kajubi meninggal dunia pada 2 Desember 1983.
Sosok Bu Nas, Istri AH Nasution Selamatkan Sang Jenderal dari G30S PKI
Inilah sosok Johana Sunarti Nasution yang menyelamatkan AH Nasution dari tragedi G30S PKI.
Tragedi G30S PKI hingga saat ini masih membekas di bangsa Indonesia.
Tragedi yang terjadi di malam 30 September 1965 ini melibatkan pasukan Cakrabirawa dan Partai komunis Indonesia (PKI).
Untuk diketahui, G30S PKI ini dipimpin oleh D.N Aidit.
Ia juga sebagai tokoh sentral dari gerakan PKI.
Jendral TNI AH Nasution yang menjadi sasaran utama dari gerakan ini berhasil lolos.
Pada malam berdarah yang melibatkan PKI tersebut, istri AH Nasution, Johana Sunarti Nasution mendengar iring-iringan kendaraan datang yang disertai rentetan bunyi tembakan.
Merasa curiga, ia kemudian memantau keadaan di sekitar rumah.
Baik Jenderal AH Nasution dan Johana Sunarti Nasution kala itu memang tengah terjaga. Keduanya bangun karena banyak nyamuk
Dikutip dari Kompas.com, setelah memantau situasi sekitar rumah tak aman, Johana kembali ke kamar untuk memberitahu Nasution.
Ia lantas mengunci pintu kamar kemudian berbisik kepada Nasution "Ada (resimen) Cakrabirawa, kamu jangan keluar," ucapnya.

Mulanya, Nasution tidak percaya dengan apa yang terjadi malam itu.
Ia kemudian memastikan sendiri dan melihat beberapa pasukan Cakrabirawa yang tengah menodongkan senjata tajam.
Setelahnya, sang istri meminta ia menyelamatkan diri.
Johana berusaha menahan pintu yang saat itu didatangi Cakrabirawa, agar suaminya punya waktu itu melarikan diri.
Dikutip dari acara Singkap Kompas TV, Nasution lalu bergegas dari kamar dan berlari ke pintu belakang.
Nasution kemudian melompati dinding rumah dan bersembunyi di halaman tetangganya hingga pukul 06.00 WIB pagi dengan kondisi pergelangan kaki yang patah.
Nasution berhasil lolos meski saat itu rumah telah dikepung oleh Cakrabirawa berkat tumbuhan yang lebat di dekat dinding rumahnya.
Nasution sempat bercerita, dalam pelariannya, ia ingin kembali ke rumah setelah mendengar suara tembakan yang menewaskan putri bungsunya.
Tapi ia dicegah oleh Johana Sunarti Nasution atau yang kini akab disapa Bu Nas.
Diberitakan Kompas.com pada 29 September 2020, setelah memantau situasi sekitar rumah tak aman, Johana kembali ke kamar untuk memberitahu Nasution.
Ia lantas mengunci pintu kamar kemudian berbisik kepada Nasution "Ada (resimen) Cakrabirawa, kamu jangan keluar," ucapnya.
Mulanya, Nasution tidak percaya dengan apa yang terjadi malam itu. Ia kemudian memastikan sendiri dan melihat beberapa pasukan Cakrabirawa yang tengah menodongkan senjata tajam.
Setelahnya, sang istri meminta ia menyelamatkan diri. Johana berusaha menahan pintu yang saat itu didatangi Cakrabirawa, agar suaminya punya waktu itu melarikan diri.
Saat peristiwa terjadi, putri bungsu yang semula tidur bersamanya dan istri sempat dibawa oleh adik Nasution, Mardiah, ke kamar lain dengan tujuan menyematkan diri.
Karena panik, Mardiah salah membuka pintu.
Pasukan Cakrabirawa bergegas memberondong senjata api tepat di depan mukanya.
Naas, peluru yang ditembak mengenai punggung Ade Irma Suryani.
Ketika memanjat tembok samping rumah, Nasution pun masih berusaha ditembaki oleh Cakrabirawa.
Ia bahkan mendengar salah seorang prajurit yang berteriak, "...seseorang melarikan diri di samping,".
Tak lama, persembunyiannya berpindah di belakang tong air yang berada di rumah duta besar Irak.
Di persembunyiannya, ia tak habis pikir mengapa Cakrabirawa mencoba untuk membunuhnya.
Di momen-momen itu, ia masih mencoba berpikir untuk pergi ke rumah Wakil Menteri Leimena karena berdekatan dengan rumahnya.
Namun, Nasution mengurungkan niat hingga fajar menyingsing karena menganggap daerah tersebut masih dikuasai Pasukan Cakrabirawa.
Beberapa hari setelahnya, tepat pada 5 Oktober 1965, ia yang mengantar keenam jenazah jenderal AD dan ajudannya ke peristirahatan terakhir.
Para jenderal itu adalah Jenderal Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Mayjen S Parman, Mayjen MT Haryono, Mayjen D I Pandjaitan, Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, dan Pierre Tendean.
Adapun rumah yang kala itu ditempati Nasution dan Keluarga di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, menjelma menjadi museum dengan nama Museum Sasmitaloka Jenderal Besar Dr. A. H. Nasution.
Museum itu diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 3 Desember 2008, bertepatan dengan hari lahir AH Nasution.
Jenderal Nasution wafat di Jakarta pada 8 September 2020 di usianya yang ke-81 tahun.
Hari Santri
Tribun Jatim
TribunJatim.com
Muhammad Zainudin Kajubi
MZ Kajubi
Banser
Siti Khomariah
G30S PKI
PKI
Sosok Kepala SMK 2 PGRI Ponorogo yang Rugikan Negara hingga Rp 25 M, 11 Bus dan Pajero Sport Disita |
![]() |
---|
Dukung Swasembada Pangan, Polres Ponorogo Sediakan Lahan 31 Hektar Untuk Tanam Jagung |
![]() |
---|
Wawancara Eksklusif Dirut RSUD dr Harjono Ponorogo :Bangun IGD Terpadu Hingga Rumah Sakit Rasa Hotel |
![]() |
---|
Wabah PMK di Ponorogo Masih Belum Landai, Penutupan Pasar Hewan Diperpanjang |
![]() |
---|
Pengangguran yang Kecanduan Karaoke bersama LC di Ponorogo, Tak Kapok 4 kali Dipenjara Demi Nyanyi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.