TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Gempa di sejumlah wilayah di Jawa Timur, terutama di Kabupaten Sumenep Madura, Situbondo, dan Jember Kamis (11/10) dini hari tak bisa dipungkiri membuat sejumlah masyarakat Jawa Timur panik.
Sebagian besar orang bertanya, apakah penyebab gempa yang yang berlangsung sekitar 2 sampai 3 menit itu?
Dr Ir Amien Widodo MSi, Dosen Teknik Geofisika Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) menjelaskan, berdasarkan keterangan yang diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) awal September tahun lalu, ada dua patahan aktif yang melewati Kota Surabaya dan sejumlah daerah lain di Jawa Timur.
Kedua patahan itu yakni patahan Surabaya dan patahan Waru. Patahan Surabaya meliputi kawasan Keputih hingga Cerme.
Sedangkan patahan Waru yang lebih panjang lagi melewati Rungkut, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Saradan, bahkan sampai Cepu.
• Polda Jatim Kerahkan Tim Medis dan Dokter RS Bhayangkara ke Lokasi Terdampak Gempa di Sumenep
Pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini pun sempat lakukan penelitian terkait kondisi tanah kota Surabaya.
Tak lain sebagai mitigasi atau upaya pencegahan atau meminimalisir kerugian baik materil ataupun nonmateril akibat gempa.
“Data dari PUPR ini harus bisa dimanfaatkan, kita harus memetakan dampak akibat gempa yang dihasilkan,” katanya saat dihubungi TribunJatim.com, Kamis (11/10).
Amien menjelaskan struktur bangunan dan kondisi tanah menjadi parameter utama untuk melihat efek yang ditimbulkan saat gempa.
“Tanah memiliki karakter sendiri saat terkena gempa, mereka bisa saja mengalami likuifaksi ataupun amplifikasi,” katanya pada TribunJatim.com.
Pria yang bergelut di bidang keahlian Geologi Bahaya itu menjelaskan, likuifaksi adalah peristiwa yang terjadi pada tanah yang memiliki lapisan pasir.
Di dalam tanah tersebut terdapat air dalam kondisi jenuh yang kemudian akan mendorong ke atas dan mengakibatkan pasir dan air langsung keluar.
• Terdampak Gempa Situbondo, 1 Masjid dan Bangunan Sekolah di Sumenep Rusak, 2 Rumah Rata dengan Tanah
“Air itu menjadi bertekanan saat terkena beban gempa,” ulas Kepala Laboratorium Geofisika Teknik dan Lingkungan itu pada TribunJatim.com.
Amin mengungkapkan, untuk kawasan Surabaya Timur dan Utara yang jenis tanahnya berupa endapan rawa lebih berpotensi untuk mengalami amplifikasi.
Amplifikasi akan merambat melalui tanah yang lunak dan menghasilkan amplitudo yang besar. Pembesaran ini yang nantinya akan memengaruhi energi dari gempa tersebut atau dengan kata lain kekuatannya akan berlipat beberapa kali.
Cara Pencegahan Kerugian Materil dan Non Materil
Namun Amin melalui penelitiannya mengatakan ada cara pencegahan dampak gempa sehingga tidak sampai membuat masyarakat harus khawatir dengan bangunannya yang rusak karena gempa. Atau mengalami kerugian materil dan non materil lainnya.
"Ada dua cara, kalau melihat stuktur tanah di Surabaya bisa dengan pemadatan tanah atau penggunaan fondasi tiang pancang pada bangunan bertingkat untuk mengurangi dampak dari amplifikasi. Sementara untuk daerah lain di Jawa Timur harus dipetakan dulu jenis tanahnya," terang Amin.
Dia mengatakan sebenarnya sudah banyak yang tahu jika kualitas tanah di Surabaya kurang baik. Hal itu terlihat dari tingginya pengurukan tanah sebelum membuat bangunan. Dalam penelitian yang masih berlanjut ini, ia menambahkan bahwa masih ada kemungkinan terjadinya likuifaksi di wilayah Surabaya.
"Hal ini karena selain endapan rawa juga terdapat tanah yang berjenis endapan pasir pantai. Namun untuk rincian luas tanah yang terdampak masih belum bisa ditentukan karena penelitian tanah yang berlangsung sifatnya hanya memindai lapisan. Kalau dilanjutkan dengan melakukan pengeboran bisa dilihat berapa luas tanah yang berpasir dan sebagainya,” tutupnya. (Pipit Maulidiya/TribunJatim.com)