TRIBUNJATIM.COM - Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Said Didu menjadi saksi yang dihadirkan oleh Tim Prabowo Sandi dan memberikan kesaksian dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelum memberikan kesaksian, Said Didu mengucapkan sumpahnya terlebih dahulu. Kemudian, Hakim MK, Enny Nurbaningsih menanyakan soal posisi Said Didu sebagai apa.
“Bapak sebagai apa kedudukannya di Paslon 02. Untuk kehadiran bapak di sini sebagai apa?” tanya Hakim MK.
“Saaya tidak memiliki posisi apa-apa di Paslon 02,” jelas Said Didu.
• Pengakuan Ajudan Saat Bantu Soekarno Melarikan Diri Ketika Soeharto Berkuasa, Gagal karena 1 Hal
“Baik Bukan sebagai Tim Sukses atau apapun,” ujar Enny Nurbaningsih.
“Bukan,” jawab Said Didu singkat.
“Baik kemudian bapak hadir di sini ada penugasan?” tanya Enny Nurbaningsih.
“Tidak ada karena saya tidak memegang jabatan apapun sekarang,” ucap Said Didu.
• Duel Hidup Mati Anggota Kopassus Lawan Pentolan Gerilyawan di Kalimantan, Sempat Dihadang Ular Kobra
“Apa yang ingin bapak jelaskan pada kesaksian malam hari ini?” tanya Enny Nurbaningsih.
“Intinya ingin menjelaskan bagaimana posisi BUMN dan pimpinan karyawan dan BUMN selama Undang-undang BUMN 2003 dilaksanakan,” terang Said Didu.
“Bapak bukan sebagai ahli loh pak. tetapi sebagai saksi,” tegas Enny Nurbaningsih.
"Bukan, tapi pengalaman saya mempraktikan," saut Said Didu.
Ada beberapa hal yang disampaikan Said Didu, di antaranya adalah terkait definisi pejabat BUMN.
Dikatakannya, dewan pengawas anak perusahaan BUMN dapat dikategorikan sebagai BUMN.
Dilansir dari Kompas.com, Said Didu mengakui UU BUMN tidak mengatur definisi pejabat BUMN.
UU BUMN, kata dia, hanya menebut pimpinan BUMN sebagai pengurus BUMN.
Namun, UU Tipikor mengatur soal kewajiban pejabat BUMN menyerahkan Laporan Hak Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
Said Didu kemudian bercerita jika pada sekira tahun 2005 dirinya menggelar rapat dengan ahli-ahli hukum untuk membahas jabatan-jabatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai pejabat BUMN.
Ketika itu, peserta rapat menyepakati Komisaris, Direksi dan Dewan Pengawas BUMN serta anak perusahaan dikategorikan sebagai pejabat BUMN.
“Kita tahu semua bahwa Undang-undang BUMN lahir pada tahun 2003. Dan kemudian mulai dilaksanakannya Undang-Undang BUMN tersebut pada tahun 2005. Kebetulan saat itu saya sebagai Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tahun 2005. Saat tahun 2006, kita menghadapi persoalan karena pada saat itu Undang-undang Tipikor memunculkan istilah pejabat BUMN. Sementara, di dalam Undang-undang BUMN tidak ada kata pejabat BUMN, melainkan pengurus BUMN. Pada saat itu, kita dihadapkan dengan pertanyaan ‘yang mana sebenarnya pejabat BUMN?’ karena tidak ada istilah hukum apapun yang menyebut pejabat BUMN.
Sehingga muncul tiga perdebatan saat itu. Pertama, adalah status korporasi; BUMN atau bukan BUMN. Kedua, adalah status pengelolaan keuangan negara; apakah cucu BUMN dan apakah anak perusahaan BUMN atau apakah BUMN saja yang dianggap sumber keuangan negara. Ketiga adalah pejabat BUMN; Siapa sebenarnya pejabat BUMN? Karena tidak ada dalam Undang-undang mengenai definisi pejabat BUMN. Sehingga terjadi diskusi bahwa tafsiran kami komisaris, direksi dan dewan pengawas termasuk pejabat BUMN," ucap Said Didu seperti diansir dari Kompas.TV.
“Kemudian yang kedua, apakah anak perusahaan tidak termasuk? Kita melihat pada saat itu ada kasus salah satu BUMN yang kecil sekali kira-kira asetnya kecil sekitar Rp 15 M. terpisah dengan aset Pertamina yang trilliunan. Maka, timbulah pertanyaan mengapa yang asetnya Rp 15 M jadi pejabat BUMN, tetapi yang asetnya triliunan tidak pejabat BUMN? Sehingga anak perusahaan BUMN yang jumlahnya 600 saat itu, diambillah kesimpulan untuk memasukkan kelompok pejabat BUMN bagi mereka yang berstatus Komisaris, Dewan Pengawas dan Direksi anak perusahaan BUMN,” tegas Said Didu.
Lebih lanjut Said Didu menjelaskan jika sejak tahun 2006 seluruh pejabat BUMN diwajibkan menyerahkan LHKPN.
“Dan yang ketiga yang masuk adalah pejabat satu tingkat di bawah direksi di BUMN adalah pejabat BUMN. Sehingga pada tahun 2006, seluruh pejabat BUMN yang tiga kelompok tadi itu berkewajiban melaporkan LHKPN. Dengan demikian, pejabat BUMN terdiri dari tiga kelompok yaitu, Komisaris, Dewan Pengawas dan Direksi anak perusahaan BUMN beserta pejabat satu tingkat di bawah Direksi BUMN itu harus menyerahkan LHKPN sebagai praktik hukum.
Said Didu melanjutkan, saat itu pihaknya dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga pernah mengevaluasi pejabat BUMN yang menjadi tim sukses pasangan calon pada Pilpres 2009.
Lalu, dua komisaris anak perusahaan BUMN memutuskan mundur dari jabatannya dan memilih untuk menjadi tim sukses.
Sementara,Dua komisaris tersebut yakni, Andi Arief dan Raden Pardede.
"Saat 2009, kami dan Bawaslu mengevaluasi siapa yang jadi tim sukses. Ada dua, Andi Arief dan Raden Pardede mundur sebagai komisaris dan menjadi tim sukses," kata Said Didu.
Setelah Said Didu memberikan kesaksiannya, hakim MK pun mempersilahkan kepada pihak pemohon, termohon, dan terkait untuk menanggapi atau pun mengajukan pertanyaan.
Pihak pemohon dan termohon memberikan sejumlah pertanyaan kepada Said Didu.
Beda halnya dengan pihak terkait yang memilih untuk tidak bertanya apa pun kepada Said Didu.
Bukan tanpa sebab, tim hukum pasangan Jokowi-Maruf enggan melontarkan pertanyaan kepada Said Didu.
Yusril Ihza Mahendra mengatakan jika pihaknya tidak ingin Said Didu nantinya memberikan jawaban berupa pendapat.
Sebab, kata Yusril Ihza Mahendra, Said Didu hadir sebagai saksi seperti apa yang disampaikan hakim MK sebelumnya.
"Jadi kalau kami bertanya nanti jawabnya pendapat," kata Yusril Ihza Mahendra.
"Sementara Pak Said Didu ini hadir sebagai saksi, untuk itu kami memutuskan tidak bertanya kepada beliau," tambahnya.