Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Firman Rachmanudin
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - RA dan EDS meminta keadilan atas pernikahan yang mereka gelar pada Maret 2022 lalu.
Mereka yang kecewa karena ditolak Dispendukcapil Kota Surabaya untuk mencatatkan pernikahannya, memilih membuat permohonan penetapan melalui mekanisme peradilan.
RA yang beragama Islam, dan pasangannya, EDS yang beragama Kristen kemudian mengajukan permohonan penetapan ke Pengadilan Negeri Surabaya.
Gayung bersambut, pada Senin (20/6/2022) website resmi Pengadilan Negeri Surabaya memperlihatkan putusan kedua mempelai beda agama itu melalui Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby.
Dalam penetapan itu, hakim tunggal Imam Supriyadi mengabulkan permohonan pasangan tersebut untuk menikah meski beda agama.
Hal itu juga membuat Dispendukcapil Kota Surabaya memfasilitasi pencatatan pernikahan keduanya.
"Memberikan Izin kepada para pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Madya Surabaya," kata hakim tunggal Imam Supriyadi sambil ketok palu.
Pertimbangan penetapan itu dilakukan Imam Supriyadi setelah menelaah dasar hukum menurut undang-undang yang berlaku, di antaranya yakni:
Menimbang, bahwa mengenai perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, di mana dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 ditegaskan kalau suatu perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tersebut merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan antara dua orang yang memeluk agama yang sama, sehingga terhadap perkawinan di antara dua orang yang berlainan status agamanya tidaklah dapat diterapkan berdasarkan ketentuan tersebut (Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/ Pdt/ 1986 tanggal 20 Januari 1989).
Menimbang bahwa perkawinan yang terjadi di antara dua orang yang berlainan status agamanya hanya diatur dalam penjelasan pasal 35 huruf a Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, di mana dalam penjelasan pasal 35 huruf a ditegaskan kalau “yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama”. Ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan ketentuan yang memberikan kemungkinan dicatatkannya perkawinan yang terjadi di antara dua orang yang berlainan agama setelah adanya penetapan pengadilan tentang hal tersebut.
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yuridis sebagaimana terungkap di persidangan tersebut di atas dihubungkan dengan ketentuan tentang syarat-syarat perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 6 ayat (1) mengenai persetujuan kedua calon mempelai dan ketentuan pasal 7 mengenai usia perkawinan, maka para pemohon telah memenuhi syarat materiil untuk melangsungkan perkawinan.
Menimbang, bahwa perbedaan agama tidak merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf (f) Undang-undang Perkawinan dan merujuk pada ketentuan pasal 35 huruf (a) Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, maka terkait dengan masalah perkawinan beda agama adalah menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutusnya.
Menimbang, bahwa selain itu berdasarkan pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 ditegaskan kalau setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, dimana ketentuan ini pun sejalan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing;
Menimbang, bahwa tentang tata cara perkawinan menurut agama dan kepercayaan yang tidak mungkin dilakukan oleh para pemohon karena adanya perbedaan agama, maka ketentuan dalam pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 memberikan kemungkinan dapat dilaksanakannya perkawinan tersebut, di mana dalam ketentuan pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 ditegaskan “dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dengan dihadiri 2 (dua) orang saksi.”
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com
Kumpulan berita seputar Lumajang