Quo Vadis Dugaan Kasus TPPU Rp 349 Triliun?

Editor: Dwi Prastika
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Badan Anggaran DPR RI, MH Said Abdullah, menjelaskan tentang dugaan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dialamatkan ke Kementerian Keuangan.

Oleh: MH Said Abdullah

(Ketua Badan Anggaran DPR)

TRIBUNJATIM.COM - Sejak heboh dugaan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dialamatkan ke Kementerian Keuangan, secara perlahan-lahan bangunan kasus ini mulai terkuak.

Terbaru, Menteri Keuangan memberikan penjelasan yang cukup detail kepada Komisi XI dan Komisi III DPR RI.

Atas penjelasannya kepada DPR, Menteri Keuangan dengan gamblang menjelaskan 300 surat yang dikirimkan oleh PPATK ke Kemenkeu dan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam rentang 2009-2023 yang memuat nilai transaksi sebesar Rp 349,87 triliun. Dari 300 surat, terbagi 200 surat dikirimkan PPAT ke Kemenkeu yang memuat transaksi keuangan senilai Rp 275,6 triliun dan 100 surat ke APH dengan nilai transaksi sebesar Rp 74,2 triliun.

Kita melihat ada gap pembagian antara PPATK dan Kemenkeu dalam membagi postur transaksi Rp 349 triliun. PPAT membagi transaksi Rp 349 triliun dalam tiga kelompok besar, pertama; transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu sebesar Rp 35,5 triliun, kedua; transaksi sebesar Rp 53,8 triliun transaksi keuangan yang melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain, ketiga, transaksi sebesar Rp 260,5 triliun transaksi mencurigakan terkait kewenangan.

Berbeda dengan PPATK, Kemenkeu membagi transaksi Rp 349 triliun dalam tiga bagian, pertama; transaksi sebesar Rp 35,1 triliun yang terdiri; transaksi debit kredit pegawai Kemenkeu senilai Rp 3,3 triliun, transaksi debit kredit Rp 18,7 triliun dari pribadi dan korporasi yang tidak berkaitan dengan pegawai, dan transaksi senilai Rp 13 triliun yang dikirimkan ke APH. Kedua; transaksi sebesar Rp 47 triliun berkaitan transaksi yang melibatkan pegawai Kemenkeu dengan pihak lain, dan ketiga; transaksi senilai Rp 267,7 triliun berupa surat-surat yang dikirimkan Kemenkeu ke perusahaan dengan nilai transaksi sebesar Rp 253,5 triliun, dan surat-surat yang dikirimkan APH ke perusahaan dengan nilai transaksi sebesar Rp 14,1 triliun.

Khusus terkait transaksi senilai Rp 3,3 triliun yang oleh Kemenkeu dijelaskan melibatkan pegawai Kemenkeu dalam rentang tahun 2009-2023, dan transaksi senilai Rp 253,5 triliun atas surat-suratnya yang telah dikirimkan Kemenkeu ke perusahaan, pihak Kemenkeu telah melakukan sejumlah tindakan penegakan hukum dan disiplin. Sebanyak 348 pegawai telah dijatuhi sejumlah hukuman dengan jenis hukuman yang beragam, sesuai dengan tingkat kesalahannya masing-masing terkait dengan transaksi senilai Rp 3,3 triliun dan sebanyak 24 pegawai dijatuhi hukuman terkait dengan transaksi senilai Rp 253,5 triliun.

Gap Penyajian

Dari klarifikasi data yang disajikan antara PPATK dan Kemenkeu terlihat perbedaan, baik pada level pembagian nominalnya dari total transaksi senilai Rp 349 triliun, maupun penamaan atau nomenklaturnya. Terlihat pihak Kemenkeu lebih merinci dari klarifikasi data ketimbang PPATK. Namun paparan keduanya menyisakan pertanyaan, kenapa tidak dilakukan konsolidasi data terlebih dahulu ke dalam, menyangkut klasifikasi dalam membagi tipologi kasusnya dari total transaksi Rp 349 triliun tersebut. Perbedaan klarifikasi, jumlah, dan nomenklatur ini menyulitkan terbentuknya data tunggal sebagai pegangan, baik untuk kepentingan internal pemerintah sendiri apalagi untuk pihak lain seperti DPR atau aparat penegak hukum.

Saya mengharapkan Komite TPPU membereskan ke dalam terlebih dahulu berupa konsolidasi data secara rinci, sehingga lahir satu kesepahaman di antara seluruh anggota Komite TPPU dalam membagi dan merinci transaksi Rp 349 triliun. Kesepahaman ini sangat penting agar memudahkan para pihak melakukan langkah-langkah tindak lanjut.

Kita tidak ingin karena tidak terbangunnya kesepahaman di internal Komite TPPU, isu transaksi Rp 349 triliun ini menjadi berlarut-larut, dan berpotensi keluar dari konteks yang seharusnya, dan berpotensi menjadi komoditas politik, apalagi saat ini kita tengah memasuki tahun politik. Jika sudah masuk ke ranah politik, kasusnya sendiri berpotensi juga tidak terselesaikan dengan baik.

Kita semua lebih sibuk berpolemik secara internal ketimbang mencari langkah-langkah produktif untuk mencari penyelesaian demi penyelamatan keuangan dan pendapatan negara.

Kita mengharapkan pendekatan kita dalam melihat persoalan ini tidak hanya memakai satu perspektif berdasarkan kewenangannya masing-masing. Jika casebuiliding-nya tidak cukup didekati dengan pidana perpajakan, atau pelanggaran kepabeanan, sesungguhnya APH lainnya bisa mendekatinya dengan pintu pidana lainnya seperti korupsi, pencucian uang, dan lain lain.

Untuk bisa melakukan orkestrasi seperti ini dari Komite TPPU, maka mereka harus menyelesaikan problem dasarnya soal tafsir dan penyajian data, sehingga ada data tunggal. Sedihnya internal Komite TPPU masih belum bisa menyajikan data tunggal sebagai rujukan bersama. Kita berharap hal ini bisa diselesaikan sesegera mungkin. Sehingga ketika Komite TPPU paparan ke DPR bisa lebih move on, dan menentukan langkah-langkah progresif dengan dukungan politik dari DPR. Semoga saja.

Berita Terkini