TRIBUNJATIM.COM - Inilah kisah pria sembuh dari sakit misterus setelah jadi marbot masjid.
Pria itu bernama Thohir (59).
Thohir merupakan marbot Masjid Jamiatul Khair di Perumahan Bojong Gede Asri, Kedung Waringin, Bojonggede, Kabupaten Bogor.
Ia sudah bekerja di masjid tersebut hampir enam tahun lamanya.
Saat ditemui, senyum merekah dari wajah Thohir.
"Tadi saya habis bersih-bersih masjid setelah shalat Subuh, barusan lagi berbincang saja sama jemaah yang belum pulang," kata Thohir ketika ditanya kegiatannya Senin (18/3/2024) pagi.
Saat kami mulai duduk bersama, angin pagi dan kokokan ayam menjadi pembuka Thohir untuk mengisahkan cerita miliknya.
Thohir sudah menjadi marbot sejak sekitar tahun 2018. Saat itu, salah satu pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) menawarkan pekerjaan sebagai marbot.
"Dulu pengurus DKM maunya tiap hari harus ada yang jaga karena dulu masih sering ditinggal-tinggal, aktifnya paling hari Jumat. Jadi akhirnya saya masuk, disuruh di sini," kata Thohir, melansir dari Kompas.com.
Baca juga: Rejeki Mak Iyah Marbot Masjid Tak Minta Upah dan Dijuluki Bidadari Wajah Ahli Surga, Kini Bisa Umrah
Thohir mengungkapkan, alasannya mau menjadi marbot karena ia sudah berhenti dari pekerjaan lamanya.
Ia tak lagi bekerja setelah terserang penyakit yang tak teridentifikasi oleh dokter pada tahun 2018. Penyakit misterius itu menyelimuti tubuhnya selama berbulan-bulan.
"Dulu saya pernah sakit, enggak sembuh-sembuh. Hampir 6 bulan enggak bisa tidur, tapi penyebab enggak tau, kurang tau juga saya sakit apa," ujar Thohir sambil sedikit menatap kosong.
Tanpa sadar, air mata keluar secara perlahan dari kedua mata Thohir. Tidak deras, tapi jelas dirinya terlihat menahan kesedihan karena kembali mengingat momen pahit kala itu.
"Saya sudah berusaha ke dokter dan alternatif lain, tapi ya begitu. Dulu saya masih aktif kerja di PT. KFC, cuma karena sakit, saya terpaksa resign," tutur Thohir.
Baca juga: Nasib Polisi Paksa Marbot Masjid Banten Ngaku Rampok 5 Tahun Lalu, Bukan 1 Tapi 8 Orang, Diperiksa
Selama enam bulan, Thohir hampir tidak pernah tertidur. Meskipun iya, bisa dikatakan hanya memejamkan mata sejenak.
"Saya terbangun seharian penuh. Katanya (istri dan anak), kadang-kadang saya sejenak tidur, ngorok, tapi ya sebenarnya enggak tidur meski saya ngantuk. Jadi cuma dapat tidur ayam, terus bangun lagi," ungkapnya.
Selain sulit untuk tidur, Thohir juga mengaku tidak bisa berlama-lama di bawah matahari.
"Saya tuh kalau liat matahari lama-lama kayak drakula, enggak bisa, enggak kuat. Mana saya kurus," imbuh Thohir.
Menurut pernyataan Thohir, dokter juga tidak menemukan diagnosa dan cara penyembuhan yang efektif untuk jenis penyakitnya yang diidapnya saat itu.
"Penyebabnya enggak ketahuan. Dulu pas ke dokter, katanya saya kena apa ya yang terserang saraf-saraf gitu apa namanya, saya juga lupa (nyentuh punggung bagian bawah)," kata Thohir.
Thohir pernah dirawat seminggu di RS Polri Kramatjati, tetapi ia tetap tidak mendapat kesembuhan meski sudah dibantu dengan banyak jenis obat.
Berbagai macam usaha pengobatan lainnya juga sudah dilakukan Thohir, dari pengobatan online di TV, bahkan naik gunung.
"Sudah ke dokter, dulu saya jalani pengobatan di Cilebut, pengobatan online di TV, sampai saya dulu pernah naik ke Gunung Sindur, ya buat kesembuhan semua, terus ikhtiar (usaha) saja," jelas Thohir.
Dikarenakan uang pesangon dari pekerjaan terakhirnya semakin berkurang dan dirinya juga butuh pemasukan, akhirnya ia memutuskan untuk menerima ajakan menjadi marbot.
"Saya pikir coba-coba sajalah sambil ikhtiar minta kesembuhan kepada Allah," ucap Thohir.
Baca juga: Mahfud MD Janji Beri Honor Guru Ngaji hingga Marbot Masjid, Kerap Dipandang Sebelah Mata
Nyatanya, keseharian marbot yang sibuk dari sebelum waktu subuh justru membuat pikiran, kondisi fisik, dan mental Thohir membaik.
"Pokoknya lama-lama saya lupa ke kondisi sakit karena sibuk mengurusi masjid. Karena kan bisa saja badan saya saat itu ya stres memikirkan penyakit tersebut, cuma kan jiwa itu ya tadi, harus terus banyak ikhtiar, harus banyak berdoa," ucapnya.
"Saya memang diajak jadi marbot tapi selain itu juga karena nawaitu (niat) saya juga, kebetulan marbot di sini enggak ada yang betah, tapi alasannya juga enggak gitu tahu," tambah Thohir.
Thohir terus merasa bersyukur karena menerima pekerjaan marbot sampai akhirnya ia sudah sembuh dari sakit yang menguras fisik dan dompetnya itu.
"Saat itu saya pikirnya saya juga sudah enggak ada kegiatan, apa salahnya mengabdi kepada rumah Allah, eh ternyata bisa keterusan sampai sekarang jadinya," tutur Thohir.
Baca juga: Warga Nangis Tahu Marbot Ketahuan Mesum dengan Mahasiswi di Masjid, Pelaku Biasa Jadi Imam, Kecewa
Sementara itu, Eko Santoso (52) berpendapat, orang-orang yang kurang familier dengan profesi marbot masjid mungkin menganggapnya sebagai pekerjaan rendahan.
Menurut Eko, banyak yang berpandangan tugas seorang marbot adalah sebatas membersihkan masjid atau mushala saja.
Namun, Eko yang berprofesi sebagai marbot di Masjid Nururrohman, Pondok Kopi, Duren Sawit, Jakarta Timur, ini menegaskan, profesinya adalah pekerjaan yang mulia.
"marbot masjid adalah pekerjaan yang mulia, bukan pekerjaan yang seharusnya dipandang hina dan rendah," ucap dia di tempat kerjanya, Kamis (20/4/2023).
Eko melanjutkan, marbot bekerja untuk mengurus tempat ibadah, serta menjaganya bebas dari segala jenis najis semisal kotoran yang menempel pada alas kaki.
Selain membersihkan seluruh area di masjid atau mushala, para marbot juga bertugas melantunkan azan.
"Kadang, pas imam berhalangan hadir, marbot juga jadi imam. Kalau ada kegiatan, juga turut andil," ungkap Eko.
"Saya bantuin yang umum-umum saja, kayak sewa dan siapin peralatan yang dibutuhkan. Setelah selesai, saya rapikan lagi," imbuh dia.
Terkait marbot adalah profesi yang mulia, Eko menuturkan, ini karena mereka melayani umat Islam yang beribadah dari segi kebersihan.
Dengan kata lain, seorang marbot membantu umat Islam merasa nyaman saat beribadah karena masjid atau mushala bebas dari kotoran.
"Mengurus tempat ibadah menurut saya termasuk pekerjaan yang mulia karena membantu memudahkan orang untuk shalat atau mengaji," tegas Eko.
Ia pun menegaskan, seseorang, siapa pun dia, semestinya tidak perlu khawatir dipandang rendah oleh orang lain.
Selama sebuah pekerjaan halal dan tidak merugikan orang lain, apalagi pekerjaan sepertinya membantu kelancaran ibadah orang lain, maka Allah akan meninggikan orang tersebut.
"Enggak usah takut dipandang rendah oleh sesama manusia karena punya pekerjaan seperti ini," sambung dia.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com