Perang Hamas Lawan Israel

Nasib Anak-anak Palestina di Gaza, Makan Rumput dan Pakan Ternak Hingga Minum Air Limbah

Editor: Torik Aqua
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang gadis Palestina membawa wadah berisi air di kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara pada 3 Juni 2024, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok militan Hamas Palestina. - Serangan Israel menewaskan sedikitnya 45 warga Palestina dalam 24 jam terakhir di Gaza.

TRIBUNJATIM.COM - Nasib pilu warga Gaza di Palestina terpaksa makan rumput hingga minum air limbah.

Mirisnya, akses bantuan terhalang masuk.

Ahli kesehatan anak mengatakan jika terus terjadi, akan ada efek jangka panjang untuk anak yang terdampak.

Mereka dilanda kelaparan.

Baca juga: Israel Tegaskan Akan Terus Serang Gaza Meski Hamas Sudah Lepaskan Para Sandera

Direktur Regional Mediterania Timur WHO, Hanan Balkhy,mengungkapkan rasa prihatinnya.

Ia pun memohon agar akses bantuan segera ditingkatkan ke wilayah Palestina yang terkepung itu.

Hanan Balkhy juga memperingatkan perang antara Israel dan Hamas berdampak pada layanan kesehatan di wilayah yang lebih luas.

"Dampaknya terhadap anak-anak akan memiliki efek jangka panjang yang parah," kata ahli kesehatan anak itu kepada AFP dalam sebuah wawancara di markas besar WHO di Jenewa, Swiss, pada Selasa (4/6/2024)

Di dalam Gaza, kata dia, ada orang-orang yang sekarang makan makanan ternak, makan rumput, mereka minum air limbah.

“Anak-anak hampir tidak bisa makan, sementara truk-truk itu berdiri di luar Rafah," jelas Balkhy.

PBB telah lama memperingatkan bahwa kelaparan telah membayangi Gaza, dengan 1,1 juta orang atau sekitar setengah dari populasi menghadapi tingkat kerawanan pangan yang sangat parah.

Badan kemanusiaan PBB, OCHA, pada Selasa mengatakan kendala akses terus mengganggu pengiriman bantuan kemanusiaan yang menyelamatkan nyawa di seluruh Gaza, dan kondisinya semakin memburuk pada Mei.

Bantuan yang masuk terutama melalui penyeberangan Kerem Shalom dengan Israel.

Ketidakamanan yang terkait dengan pertempuran dan pengeboman, serta jalan-jalan yang sering dipenuhi puing-puing, juga menghambat distribusi bantuan.

Balkhy, yang mulai menjabat pada Februari, mengatakan Gaza membutuhkan “perdamaian, perdamaian, perdamaian”, ditambah dengan akses bantuan yang jauh lebih baik melalui jalur darat.

Setelah kunjungan baru-baru ini ke penyeberangan Rafah dari Mesir ke Jalur Gaza selatan, yakni jalur vital untuk bantuan yang ditutup oleh pasukan Israel awal bulan lalu, ia mendesak Israel untuk membuka perbatasan tersebut.

Balkhy mengatakan, penyeberangan Kerem Shalom “tidak cukup”, dan upaya-upaya yang dilakukan melalui koridor maritim dan pengiriman melalui udara tidak masuk akal ketika rute darat yang jauh lebih murah dan lebih efektif telah tersedia, dan truk-truk berbaris di luarnya.

Balkhy menyuarakan kekecewaannya terhadap pemblokiran peralatan medis yang dianggap “penggunaan ganda” -barang-barang yang menurut Israel dapat digunakan untuk tujuan militer.

“Kita berbicara tentang ventilator, bahan kimia pemurnian hingga air bersih,” kata dokter Saudi itu. 

Israel akan terus menyerang

Israel menyebut jika pemerintahnya tak akan menghentikan serangan ke Gaza meski Hamas sudah bebaskan para sandera.

Hal itu diungkap oleh Penasihat Keamanan Nasional Israel, Tzachi Hanegbi.

Pernyataan itu dimunculkan Hanegbi saat bicara kepada keluarga para sandera, Kamis (30/5/2024).

Ia juga menegaskan Israel akan terus berperang di Gaza.

Baca juga: 7 Artis Suarakan All Eyes on Rafah , Denny Sumargo Kecam Israel: Ini Bukan Perang, Ini Tragedi

Mengutip Times of Israel, saat bertemu para keluarga sandera, Hanegbi tampak menegur bahkan menghina keluarga beberapa sandera.

Pesan dari Hanegbi ini merupakan pertama kalinya seorang pejabat tinggi Israel membuat pengakuan mengejutkan.

Hal ini menyoroti inti dari kebuntuan berulang dalam perundingan penyanderaan, di mana Hamas bersikeras melakukan gencatan senjata permanen, sementara Israel hanya bersedia menyetujui gencatan senjata sementara.

Tak lama setelahnya, Hanegbi mengklarifikasi bahwa menurutnya pemerintah akan mampu mencapai tahap pertama dari kesepakatan yang saat ini sedang dibahas.

Dalam pertemuannya dengan keluarga para sandera, Hanegbi meyakinkan mereka bahwa Israel akan segera mengamankan implementasi tahap pertama perjanjian tersebut.

"Saya tidak yakin pemerintah saat ini akan berhasil menyelesaikan keseluruhan kesepakatan."

"Pemerintahan ini tidak akan membuat keputusan untuk menghentikan perang demi kembalinya semua sandera," kata Hanegbi.

"Kita harus terus berjuang agar tidak ada lagi tanggal 7 Oktober di bulan Oktober 2027."

"Jika para sandera tidak kembali dalam beberapa minggu atau beberapa bulan, kami tidak punya rencana alternatif," akunya.

Dalam dialog tersebut, Hanegbi tampak menegaskan bahwa pemerintah Israel akan tetap terus berperang di Gaza.

"Kami akan terus berperang di Gaza dan wilayah utara, dan baru setelah itu kami akan mengkaji ulang," tegasnya.

Proposal Israel untuk Akhiri Perang

Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden telah mendesak Hamas untuk menerima proposal baru Israel untuk mengakhiri konflik di Gaza.

Biden mengatakan bahwa "sudah waktunya perang ini berakhir".

Proposal yang terdiri dari tiga bagian ini akan dimulai dengan gencatan senjata selama enam minggu, di mana Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan menarik diri dari wilayah berpenduduk Gaza.

Juga akan ada “lonjakan” bantuan kemanusiaan, serta pertukaran beberapa sandera dengan tahanan Palestina.

Kesepakatan itu pada akhirnya akan mengarah pada “penghentian permusuhan” permanen dan rencana rekonstruksi besar-besaran di Gaza.

Hamas mengatakan mereka memandang usulan itu secara positif.

Berbicara di Gedung Putih pada hari Jumat, Biden mengatakan bahwa tahap pertama dari rencana yang diusulkan akan mencakup “gencatan senjata penuh dan menyeluruh”, penarikan pasukan IDF dari daerah berpenduduk dan pertukaran sandera dengan tahanan Palestina.

"Ini benar-benar momen yang menentukan," kata Biden, dikutip dari BBC.

"Hamas mengatakan mereka menginginkan gencatan senjata. Kesepakatan ini adalah kesempatan untuk membuktikan apakah mereka benar-benar bersungguh-sungguh," lanjutnya.

Gencatan senjata tersebut, tambahnya, akan memungkinkan lebih banyak bantuan kemanusiaan mencapai wilayah yang terkepung, dengan “600 truk membawa bantuan ke Gaza setiap hari”.

Fase kedua akan mengembalikan semua sandera yang masih hidup, termasuk tentara laki-laki.

Gencatan senjata kemudian akan menjadi “penghentian permusuhan, secara permanen”.

Di antara mereka yang mendesak Hamas untuk menyetujui usulan tersebut adalah Menteri Luar Negeri Inggris David Cameron, yang mengatakan di X bahwa kelompok tersebut "harus menerima kesepakatan ini sehingga kita dapat menghentikan pertempuran".

"Kami sudah lama berpendapat bahwa penghentian pertempuran bisa berubah menjadi perdamaian permanen jika kita semua siap mengambil langkah yang tepat," kata Cameron.

Netanyahu Hadapi Tekanan

Perdana Menteri Israel menghadapi tekanan yang semakin besar setelah Presiden AS Joe Biden menjelaskan usulan perjanjian untuk mengakhiri pertempuran di Gaza.

Banyak warga Israel yang mendesak Netanyahu untuk menerima perjanjian tersebut, tetapi sekutu sayap kanan mengancam akan meruntuhkan pemerintahannya jika dia melakukannya.

Netanyahu menyebut gencatan senjata permanen di Gaza tidak akan bisa dimulai sampai kondisi yang sudah lama ada untuk mengakhiri perang terpenuhi.

Hal ini tampaknya melemahkan usulan yang digambarkan Biden sebagai usulan Israel.

Dikutip dari ABC News, demonstrasi besar-besaran di Israel pada Sabtu malam, yang dipimpin oleh keluarga sandera yang ditahan oleh Hamas, mendesak pemerintah untuk bertindak sekarang.

Mediator AS, Mesir, dan Qatar menekan Israel dan Hamas, dengan mengatakan bahwa kesepakatan yang diusulkan “menawarkan peta jalan untuk gencatan senjata permanen dan mengakhiri krisis” dan memberikan bantuan segera kepada para sandera dan penduduk Gaza.

Namun Menteri Keuangan sayap kanan Bezalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir mengatakan, mereka akan membubarkan pemerintah jika pemerintah menerima kesepakatan tersebut.

Hal ini dapat membuat Netanyahu dihadapkan pada pemilu baru, pengawasan ketat atas kegagalan keamanan yang menyebabkan perang, dan – jika ia kehilangan jabatan perdana menteri – tuntutan atas tuduhan korupsi yang sudah berlangsung lama.

Pernyataan Netanyahu mengatakan bahwa “kondisi Israel untuk mengakhiri perang tidak berubah: penghancuran kemampuan militer dan pemerintahan Hamas, pembebasan semua sandera dan memastikan bahwa Gaza tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel”.

Berdasarkan proposal tersebut, kata Netanyahu, Israel akan terus bersikeras bahwa persyaratan ini harus dipenuhi sebelum gencatan senjata permanen diberlakukan.

Kompas.com

Berita Terkini