Penolakan Revisi UU Pilkada

Kenapa Peringatan Darurat Viral? Kini Mahasiswa hingga Artis Demo ke Gedung DPR, Protes RUU Pilkada

Editor: Olga Mardianita
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Massa dari lapisan kalangan, seperti mahasiswa hingga artis, berdemo dan menyuarakan peringatan darurat di depan gedung DPR RI, Kamis (22/8/2024). Demo ini bertujuan mengawal putusan MK tentang revisi UU Pilkada yang diduga ditabrak oleh DPR RI.

TRIBUNJATIM.COM - Peringatan Darurat beserta gambar burung garuda berlatar belakang biru belakangan tengah viral di media sosial.

Berbagai kalangan menyuarakan tren tersebut, mulai dari masyarakat biasa, mahasiswa, hingga artis.

Kini, Kamis (22/8/2024), massa berkumpul di Gedung DPR RI, Senayang, Jakarta, untuk melakukan demo Peringatan Darurat.

Usut punya usut, hal tersebut merupakan bentuk protes masyarakat mengenai revisi Undang-Undang Pilkada yang dilakukan oleh DPR RI.

Dalam rapat kerja, Rabu (21/8/2024), para 'wakil rakyat' itu diduga menganulir keputusan MK yang menetapkan ambang batas pencalonan kepala daerah serta batasan usia para calon pada Pilkada 2024.

Rapat dilakukan secara cepat; dimulai pada pukul 13.00 WIB, namun keputusan sudah diambil pada pukul 19.00 WIB di hari sama.

Sebab itu, massa berkumpul demi mengawal putusan MK.

Lebih lanjut, berikut ini adalah informasi lengkap mengenai Peringatan Darurat yang viral di media sosial.

Informasi berita menarik lainnya di Google News TribunJatim.com

Baca juga: Deretan Komika yang Serukan Peringatan Darurat Garuda Biru, ada Raditya Dika Hingga Rigen

2 keputusan MK tentang UU Pilkada yang ditabrak DPR RI

1. Usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah

Dilansir dari Kompas.id (22/8/2024), MK menegaskan penghitungan syarat usia minimal calon kepala daerah dilakukan sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan calon, bukan sejak pelantikan calon terpilih.

Namun, Baleg DPR dan pemerintah menyepakati aturan baru terkait syarat usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam rapat membahas revisi UU Pilkada, Rabu (21/8/2024).

Norma baru dalam rumusan Pasal 7 Ayat (2) Huruf d RUU Pilkada adalah:

”Berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih”.

Hal ini berbeda dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada aturan lama, tidak ada kalimat ”terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih”.

2. Ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah

MK pada Selasa (20/8/2024) telah memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Partai Buruh dan Gelora.

Dikutip dari Kompas.com (21/8/2022), dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada yang mengatur tentang ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah hasil pemilu tak berlaku.

Dan threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai.

Namun, Baleg DPR memilih menghidupkan kembali ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Berdasarkan revisi yang disepakati di Rapat Panitia Kerja Revisi UU Pilkada itu, Pasal 40 UU Pilkada terdiri dari dua ayat.

Pasal 40 Ayat (1) menyatakan ”Partai politik atau gabungan partai politik yang telah memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.

Selanjutnya, Pasal 40 Ayat (2) mengatur syarat ambang batas pencalonan kepala daerah bagi parpol atau gabungan parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD.

Untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah, parpol nonparlemen tersebut harus memperoleh suara sah berkisar 6,5-10 persen, bergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut.

Baca juga: Reza Rahadian Geram Lihat Sikap Pemerintah, Kini Ikut Demo Peringatan Darurat: Anda Ini Wakil Siapa

Putusan MK tidak bisa dibatalkan oleh DPR

Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Oce Madril menegaskan, putusan MK bersifat final dan mengikat.

Putusan lembaga pengawal konstitusi ini juga memiliki kekuatan eksekutorial begitu dibacakan oleh hakim konstitusi.

"Maknanya tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan untuk mengubah putusan MK, termasuk oleh DPR," kata dia, saat dihubungi Kompas.com, Rabu.

Oce turut mengatakan, putusan MK bersifat erga omnes atau bermakna mengikat untuk semua pihak tanpa terkecuali.

Oleh karena itu, dia menilai, semua pihak termasuk dalam hal ini DPR, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), partai politik, maupun masyarakat luas, harus mematuhi isi putusan MK.

"Apabila ada pihak-pihak yang tidak mematuhi putusan MK, maka tindakan tersebut termasuk perbuatan melawan hukum," tuturnya.

Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi dan Pemerintahan (Pushan) ini mengingatkan, akan ada dampak serius jika putusan MK terkait pilkada tidak ditaati.

Salah satunya, pemilihan kepala daerah serentak yang akan berlangsung rawan melanggar hukum.

Tidak hanya itu, hasil pilkada juga dapat dibatalkan oleh MK, mengingat lembaga tinggi negara ini memiliki kewenangan dalam memutus perkara hasil pemilihan umum.

"Hasil pilkada tersebut dapat dibatalkan oleh MK. Sebab, di ujung tahap pilkada, MK berwenang mengadili hasil pilkada," ujarnya.

Senada, pakar hukum tata negara dan Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Jakarta, Bivitri Susanti mengatakan, putusan MK terkait pilkada tidak bisa dibatalkan oleh DPR.

"Tidak bisa dibatalkan," tegasnya, saat dihubungi Kompas.com, Rabu.

Dia menjelaskan, undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tidak dapat mengubah putusan MK.

Bivitri pun menilai, tindakan pemerintah dan DPR hari ini yang mendadak merevisi UU Pilkada melalui rapat Baleg serupa dengan pembangkangan terhadap konstitusi.

"Kalau ini dilakukan, ada pembangkangan konstitusi menurut saya. Ini semua sudah dagelan lah, menurut saya, pembangkangan konstitusi yang luar biasa," paparnya.

Pembangkangan konstitusi harus dilawan

Di sisi lain, Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menilai, Presiden Joko Widodo beserta segenap partai politik pendukung tengah mempertontonkan pembangkangan konstitusi.

Presiden juga dinilai tengah memamerkan kekuasaan yang eksesif tanpa kontrol dari lembaga legislatif.

"Rezim yang otokratis ini kembali melanggengkan otokrasi legalisme untuk mengakumulasikan kekuasaan dan mengonsolidasikan kekuatan elit politik hingga ke level pemerintahan daerah," kata CALS dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu.

Menurutnya, upaya mendelegitimasi Pilkada 2024 tampak sejak awal, seiring aturan main yang kerap diakali untuk meminimalisasi kompetitor.

Misalnya, dengan menutup ruang-ruang kandidasi alternatif, memborong dukungan koalisi gemuk partai politik, serta memunculkan kandidat boneka agar mengesankan kontestasi pilkada berjalan secara bebas, adil, dan setara.

"Masih lekat di benak masyarakat bagaimana Pemilihan Umum 2024 dibangun dengan pondasi manipulasi, pelanggaran hukum, dan pelanggaran etika yang terstruktur, sistematis, dan masif," tulis CALS.

Presiden Joko Widodo dan partai pendukung pun dinilai menggunakan cetak biru serupa untuk melanggengkan dinasti politik yang dilanjutkan oleh putranya.

Baca juga: Wanda Hamidah Mundur dari Golkar, Posting Konten Peringatan Darurat yang Viral: I Love My Country

Caranya, melalui perombakan hukum secara instan dengan menyalahgunakan institusi demokrasi, dalam hal ini mengotak-atik syarat usia calon kepala daerah agar sesuai dengan figur yang akan diusung.

"Pembangkangan konstitusi oleh Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya harus dilawan demi supremasi konstitusi dan kedaulatan rakyat," tuturnya.

Oleh karena itu, Constitutional and Administrative Law Society selaku forum independen pembelajar hukum konstitusi dan hukum administrasi negara di Indonesia menyerukan beberapa hal.

Pertama, presiden dan DPR menghentikan pembahasan revisi UU Pilkada dan mematuhi Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tertanggal 20 Agustus 2024.

Kedua, KPU menindaklanjuti Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tertanggal 20 Agustus 2024.

Ketiga, jika revisi UU Pilkada dilanjutkan dengan mengabaikan putusan MK, pihaknya mengancam akan memboikot pilkada.

"Jika revisi UU Pilkada dilanjutkan dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi, maka segenap masyarakat sipil melakukan pembangkangan sipil untuk melawan tirani dan autokrasi rezim Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya dengan memboikot Pilkada 2024," pungkasnya.

----

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Berita Jatim dan berita viral lainnya.

Berita Terkini