TRIBUNJATIM.COM - Fenomena warga di Jakarta Pusat sampai harus ada yang tidur bergantian sekeluarga menarik perhatian.
Hal ini karena padatnya penduduk tak dibarengi dengan luasnya lahan hunian.
Bahkan sampai warga bergantian tidur di Balai RW setempat.
Baca juga: Maratun Janjikan Anak Bos Pemilik Rumah Makan Lulus Seleksi Polisi Bayar Rp1 M, Kini Ditangkap
Kisah ini terjadi pada warga RW 12 Kelurahan Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat.
Wilayah ini memiliki luas sekitar 3,5 hektar dan dihuni oleh sekitar 1.600 kepala keluarga, dengan total populasi 2.200 jiwa.
Padatnya penduduk ini tidak berbanding lurus dengan hunian yang layak.
Ketua RW 12, Imron Buchori mengatakan bahwa warganya terpaksa tidur bergantian karena sempitnya lahan hunian.
"(Tidur) shift-nya ganti-gantian. Kenapa? Kalau bapaknya ada, anaknya ada, cucunya yang paling diprioritaskan," ujar Imron, Senin (28/10/2024) lalu.
Imron menuturkan, ada satu rumah yang berukuran 2x3 meter di wilayahnya yang dihuni oleh 14 jiwa.
Menurut Imron, kondisi warganya tersebut sangatlah jauh dari kata ideal.
"Ini salah satu bentuk contoh, rumah ukuran 2 x 3 meter dihuni sampai 14 jiwa. Dari nenek sampai cucu," kata dia.
Dengan kondisi tersebut, kata Imron, warga pun memanfaatkan tempat-tempat umum yang ada.
Seperti halaman Balai Sekretariat RW 12 untuk beristirahat.
Terkadang, ada warga yang tidur pada pagi hari karena bekerja pada malamnya, maupun sebaliknya.
Untuk beristirahat, warga memanfaatkan sekitar empat kursi panjang sebagai alas tidur mereka di Balai Sekretariat RW 12.
Beberapa di antaranya juga tidur di lantai beralas terpal.
"Setiap malam ada, pagi, siang. Jadi memanfaatkan ruang-ruang yang ada," kata dia, dikutip dari Kompas.com.
Balai Sekretariat RW 12 juga dilengkapi dengan kamar mandi umum yang bisa menampung 12 pria dan 12 wanita.
"Mandi tinggal mandi di belakang, airnya bersih," ujar Imron.
Baca juga: Dulu Viral Jualan Kue di Sekolah sampai Rela Bangun Jam 1 Pagi, Derlin Kini Sukses sampai Bisa Umrah
Salah satu warga, Agusyadi (50) menuturkan bahwa dirinya terpaksa menginap di balai tersebut karena rumahnya tidak cukup menampung anggota keluarga.
"Saya terpaksa tidur di sini (Balai Sekretariat RW 12), setiap malam tidur di sini," kata Agus.
Selama lima tahun terakhir, ia memilih tidur di balai sekretariat karena rumahnya yang berukuran 4 x 6 meter tidak cukup menampung 15 anggota keluarganya.
"Jadi saya memilih mengalah saja sama adik, tidurnya di sini," ungkap Agus, yang bersama warga lainnya menjalani kehidupan berbagi dalam kondisi yang penuh tantangan.
Meskipun situasi sulit, solidaritas di antara mereka tetap terjaga, menciptakan ikatan yang kuat di tengah kepadatan dan keterbatasan ruang hidup.
Kejadian serupa yakni satu rumah di Kota Cimahi, Jawa Barat, yang ditinggali 46 orang dan ada 14 KK, juga sempat viral di media sosial.
Rumah tersebut ada di Kampung Cisurupan, RT 02/07, Kelurahan Citeureup, Kecamatan Cimahi Utara.
Suasana sumpek langsung terasa saat memasuki sebuah rumah tersebut.
Rumah tersebut tambah terasa begitu sesak karena kondisinya sangat berdempetan dengan rumah lain.
Akses dari jalan raya menuju rumah tersebut hanya berupa gang sempit yang bisa dilalui satu sepeda motor.
Rumah sederhana tersebut memiliki dua pintu masuk, di bagian depan dan samping, tepatnya di sebuah gang yang lebih sempit.
Sedangkan di bagian dalamnya, atap rumah sudah banyak yang lapuk dan dindingnya kusam.
Selain itu terdapat satu kamar tidur yang berada di lantai dua rumah.
Tetapi hanya ada satu kamar mandi yang berada di bagian belakang.
Kamar mandi ini berukuran sekitar 1x1,5 meter beserta kloset kecil serta jerigen penampung air.
"Rumah ini sudah ada sejak tahun 1982, ditempati sama adik, anak, dan cucu saya," ujar salah satu penghuni rumah, Sri Aminah (64), saat ditemui pada Senin (8/7/2024).
Berdasarkan data Kelurahan Citeureup, dari total 18 KK atau 64 jiwa, kini rumah tersebut ditempati oleh 14 KK atau 36 jiwa termasuk anak-anak kecil.
Sedangkan 4 KK sisanya mengontrak di dekat lingkungan tersebut.
Dengan ditempati 36 jiwa, kata dia, tentu rumah yang hanya berukuran 5,5 tumbak atau sekitar 70,7 meter persegi tersebut harus dibagi-bagi dengan cara disekat.
Baca juga: Mengintip Rumah Gunawan Sadbor Hasil Joget di Live TikTok, Tak Peduli Dihujat, Sehari Dapat Rp1 Juta
Sementara untuk satu sekatnya bisa ditempati oleh 4-5 anggota keluarga.
Sri Aminah pun pasrah tinggal di rumah tersebut karena sudah dari dulu kondisinya seperti itu.
"Sudah sejak dulu tinggal di sini, kondisinya memang begini. Jadi, ada yang tinggal di atas dan kamar. Kalau saya tidur cuma ngampar di ruang tengah," katanya, melansir Tribun Jabar.
Dengan kondisi itu, tentu banyak keterbatasan yang dirasakan oleh masing keluarga.
Seperti harus tidur berdempetan hingga ke kamar mandi bergantian.
Namun mereka tetap bertahan karena keterbatasan ekonomi.
Masing-masing kepala keluarga yang tinggal di rumah ini hanya bekerja serabutan.
Sehingga mereka tak mampu untuk merenovasi karena pendapatan pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja.
"Rumah ini sudah tua, kadang bocor, ingin direnovasi, tapi enggak punya uang," ucap Sri.
Bahkan kebutuhan air bersih untuk mandi dan minum pun, kata dia, selama ini hanya mengandalkan sumber air bersih yang disediakan pihak RW.
Dan itu pun lokasinya cukup jauh dari rumah tersebut.
Sri mengatakan, untuk mengangkut air tersebut hanya menggunakan jerigen dan galon bekas.
Lantaran selama ini ia dan kepala keluarga yang lain tak mampu membeli pipa atau membuat bak mandi.
"Mending angkut pakai galon karena enggak ada uang untuk beli pipa," katanya.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di GoogleNews TribunJatim.com