TRIBUNJATIM.COM - Sempat putus selama 10 tahun, jalan yang menghubungkan dua dusun kini dibangun lagi.
Adapun jalan tersebut lama hilang akibat terjangan ombak.
Kini jalan dibangun lagi demi anak bisa sekolah.
Baca juga: Gaji Relawan Makan Siang Gratis Ternyata di Bawah UMK, Pasutri Kini Berhenti Imbas Tak Ada Kejelasan
Jalan tersebut berada di Desa Tugu, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Desa ini dulu terkenal akan hasil pertanian yang melimpah.
Namun semua itu kini hanya sisa kenangan.
Abrasi telah mengubah wilayah tersebut menjadi tambak dan serupa lautan ketika gelombang air laut pasang.
Tak hanya area sawah, abrasi terus mengikis ke pemukiman hingga rumah dan infrastruktur rusak, desa dikepung banjir rob.
Salah satunya jalan yang menghubungkan Dukuh Bokapayung ke Dukuh Dempet, Desa Tugu, yang putus diterjang ombak sejak tahun 2015.
Jalur ekonomi dan akses siswa sekolah selebar empat meter tersebut menyisakan tumpukan batu dan hanya bisa dilalui pejalan kaki sewaktu banjir rob sudah surut.
Total panjang jalan yang mencapai dua kilometer, separuhnya kini tengah dibangun ulang pemerintahan desa setempat dengan dana desa (DD) mulai ujung selatan Dukuh Dempet.
Kepala Desa Tugu, Hartono mengatakan, pembangunan jalan dilakukan secara bertahap dari tahun 2021 hingga 2024 dan diproyeksikan berlanjut.
"Yang kita bangun 1,5 kilometer dengan target 2,5 kilometer," kata Hartono, ditemui di Desa Tugu, Kamis (30/1/2025) sore.
"Sementara untuk total biayanya bertahap (tahun) 21 sampai 2024 ini penganggaran kita bertahap," imbuhnya.
Dia mengungkapkan, jalan tersebut sangat dibutuhkan warga sebagai lalu lintas ekonomi dan anak sekolah.
"Ini jalan akses ekonomi juga jalan sekolah yang musti kita bangun. Alhamdulillah, dengan adanya dana desa ini kita bisa perbaikan jalan," ucapnya.
Lebih lanjut, Hartono mengungkapkan, pembangunan jalan cor tersebut juga dimanfaatkan untuk tanggul laut supaya Desa Tugu tidak tenggelam.
Sebab banjir rob hampir menggenangi seluruh pedukuhan di Desa Tugu dan merusak rumah warga hingga fasilitas umum.
"Hampir menyeluruh tenggelam juga, fasilitas umum yang tadi kita lihat tenggelam juga, jadi kita bertahap untuk membangun," katanya.
Hartono menambahkan, sebagian rumah warga kurang mampu yang terdampak banjir rob juga telah diberi bantuan renovasi rumah.
Dia mencontohkan, terdapat 30 unit rumah yang dianggarkan untuk tahun 2024.
"Bedah rumah karena banyak warga yang datang ke kantor untuk minta, bawah rumahnya itu tenggelam," katanya.
Baca juga: Teriakan Terakhir Ayuni sebelum Ditemukan Tewas Dicor Suaminya Dalam Drum, Edi sempat Beli Semen
Warga setempat, Fathur (35), mengaku senang jalan penghubung Dukuh Dempet ke Bokapayung kembali dibangun.
"Sangat membantu untuk akses jalan ke desa sebelah, untuk akses sekolah, aktivitas warga," ujarnya.
Fathur menyebutkan, Desa Tugu yang sebelumnya bebas dari rob kini juga berdampak abrasi.
Oleh karenanya, ia berharap pembangunan jalan pedukuhan tersebut segera terealisasi untuk meminimalisir terjangan banjir rob.
"Dampak abrasi sangat parah, kalau musim penghujan itu ombaknya sudah sampai di daerah-daerah yang jauh dari laut."
"Tapi ini dengan adanya pembangunan bisa membatasi lah," tandas Fathur.
Hal serupa juga dialami siswa SMA di Pulau Bontu-Bontu yang harus melewati perjuangan tak mudah demi menempuh pendidikan.
Pasalnya anak-anak di Pulau Bontu-Bontu, Kecamatan Towea, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, harus seberangi lautan.
Bahkan mereka juga sampai melepas sepatu dan celana saat pergi ke sekolah.
Memang perjalanan yang tidak mudah untuk mencapai SMAN 1 Napabalano di Kabupaten Muna.
Setiap hari, puluhan siswa dari pulau ini harus menyeberangi lautan dengan menaiki perahu.
"Ya, setiap hari kami, anak-anak di sini (Pulau Bontu-Bontu), kalau pergi sekolah harus naik perahu.
Setiap hari menyeberangi laut, baik pergi sekolah maupun pulang sekolah," ungkap seorang pelajar asal Pulau Bontu-Bontu, Ali Sahar, saat ditemui di rumahnya pada Kamis (10/10/2024).
Sebelum menaiki perahu, Ali dan teman-temannya berkumpul terlebih dahulu.
Namun jika air surut, mereka harus melepas sepatu, dan para siswa laki-laki harus membuka celana mereka.
"Ini karena air surut. Kalau air surut, harus lepas sepatu dan celana supaya tidak basah. Lebih suka kalau air laut sedang pasang," katanya.
Setelah melewati pasir, mereka melangkah ke laut dengan air setinggi lutut.
Setelah itu, Ali dan teman-temannya menaiki perahu yang disewa dengan harga sekitar Rp2.000 per siswa.
Perjalanan menyeberangi lautan memakan waktu sekitar 20 menit hingga mereka tiba di Pelabuhan Tampo, Kabupaten Muna.
"Kalau ombaknya keras, kami semua masuk ke dalam tenda perahu. Kalau musim hujan, biasanya kami tidak bisa pergi ke sekolah karena basah," beber Ali lagi.
Setelah tiba di pelabuhan, para siswa ini harus berjalan kaki sekitar 300 meter menuju sekolah mereka.
Meskipun perjalanan yang mereka tempuh sangat berat, semangat untuk bersekolah tetap tinggi.
Ali juga berharap agar pemerintah dapat membangun sekolah SMA di desa tempat tinggalnya.
"Saya harap kepada pemerintah supaya dapat membangun sekolah SMA Negeri di desa tempat tinggal saya," ujarnya, mencerminkan harapan yang besar bagi kemajuan pendidikan di daerahnya.
Kisah perjuangan siswa-siswa ini bukan hanya sekadar tentang perjalanan fisik.
Tetapi juga tentang semangat dan tekad untuk meraih cita-cita mereka meskipun harus menghadapi rintangan yang cukup berat.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com