Lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami habis dibabat
Sebelumnya, sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi protes dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference and Expo di Hotel Pullman, Jakarta, pada Selasa (3/6/2025).
Tiga aktivis Greenpeace bersama seorang perempuan asli asal Papua membentangkan spanduk saat Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno tengah menyampaikan sambutannya.
Mereka menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak buruk aktivitas tambang nikel di Raja Ampat terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat.
Greenpeace Indonesia menyebut, sejak tahun lalu, lembaganya menemukan pelanggaran aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, seperti di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Berdasarkan analisis Greenpeace, eksploitasi nikel di tiga pulau itu membabat lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi alami khas.
Selain itu, beberapa dokumentasi menunjukkan terjadinya limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir.
Akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah ratusan hektar itu berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat.
Baca juga: 14 Korban Jiwa Longsor Gunung Kuda, Dedi Mulyadi Soroti Aktivitas Tambang Berbahaya: Tutup Permanen!
Profil Pemilik tambang nikel Raja Ampat
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), ada empat perusahaan pemilik tambang nikel Raja Ampat dengan aktivitas operasi di Pulau Gag dan pulau-pulau di sekitarnya.
Keempat perusahaan telah mengantongi izin usaha pertambangan atau IUP.
Namun, hanya tiga perusahaan yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Berikut profil keempat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat.
1. PT Gag Nikel
Mengutip Harian Kompas, PT Gag Nikel adalah perusahaan pemegang kontrak karya sejak 1998.