TRIBUNJATIM.COM - Banyak yang tak tahu sebelum naskah Proklamasi dibacakan, para tokoh kemerdekaan harus melewati malam panjang.
Suasana malam tersebut juga penuh ketegangan hingga akhirnya 17 Agustus 1945 menjadi momentum bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Rupanya malam panjang tersebut bertepatan dengan bulan Ramadan.
Mereka berpuasa harus menyiapkan sahur di tengah perjuangan besar.
Proses perumusan teks Proklamasi berlangsung di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda hingga menjelang subuh.
Lantas seperti apa menu sahur para tokoh kemerdekaan saat perumusan teks proklamasi?
Berikut penjelasannnya mulai dari menu sahur Bung Hatta, Soebardjo, dan tokoh lainnya.
Dari roti hingga nasi goreng, setiap hidangan sederhana itu menjadi saksi lahirnya kemerdekaan Indonesia.
Baca juga: Kisah di Balik Bendera Pusaka Merah Putih: Dijahit Fatmawati saat Hamil di Ruang Makan
Sahur di Rumah Laksamana Maeda
Rapat perumusan teks proklamasi dilakukan di rumah dinas Laksamana Muda Tadashi Maeda, seorang perwira Jepang yang bersimpati pada perjuangan Indonesia.
Rumah inilah yang menjadi tempat aman bagi Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo menyusun kalimat bersejarah “Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.”
Proses rapat berlangsung hingga dini hari, sementara fajar semakin dekat.
Karena saat itu umat Muslim menjalani ibadah puasa Ramadan, makanan sahur menjadi penting untuk mereka yang berpuasa.
Menu Sahur Bung Hatta
Dilansir dari artikel Intisari via Kompas.com, dalam buku Sekitar Proklamasi (1969), Mohammad Hatta mengenang bahwa menu sahurnya kala itu sangat sederhana: roti, telur, dan ikan sarden.
Tak ada hidangan mewah, semuanya disiapkan sepraktis mungkin di rumah Maeda.
Kesederhanaan menu itu justru memperlihatkan fokus para tokoh pada perjuangan, bukan pada kenyamanan pribadi.
Sahur sekadar mengisi tenaga sebelum melanjutkan puasa di hari bersejarah yang akan mengubah arah bangsa.
Baca juga: Sosok Penyelamat Naskah Asli Proklamasi Tulisan Tangan Soekarno yang Nyaris Terbuang
Soekarno Tidak Berpuasa
Presiden Soekarno sendiri tidak ikut berpuasa saat itu karena kondisi kesehatannya terganggu.
Ia masih menderita malaria dan membutuhkan tenaga ekstra untuk memimpin jalannya perumusan teks proklamasi.
Meskipun begitu, kehadiran Soekarno tetap vital, terutama ketika memimpin diskusi terkait kalimat pembuka hingga penutup proklamasi.
Baca juga: Fakta di Balik Pembacaan Teks Proklamasi, Rencana Lokasi Berubah, Soekarno Beri Kalimat Pembuka
Nasi Goreng untuk Achmad Soebardjo
Selain roti dan sarden, nasi goreng juga hadir sebagai menu sahur.
Hidangan sederhana ini dimasak oleh Satsuki Mishima, staf Maeda yang juga membantu meminjamkan mesin ketik untuk naskah proklamasi.
Nasi goreng hangat itu disantap oleh Achmad Soebardjo dan beberapa tokoh lain yang ikut berjaga malam.
Menariknya, nasi goreng yang kini dianggap makanan sehari-hari justru pernah menjadi bagian penting dari momen monumental bangsa.
Filosofi di Balik Sahur Sederhana
Menu sahur yang sederhana ini seakan menjadi simbol semangat pengorbanan.
Para tokoh bangsa tidak memikirkan kemewahan, bahkan di tengah momen paling menentukan sekalipun.
Fokus mereka hanya satu: memastikan Indonesia merdeka.
Roti, sarden, telur, dan nasi goreng bukan sekadar makanan pengisi perut, melainkan saksi bisu perjuangan yang mengiringi lahirnya sebuah bangsa.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com