Kisah Wayang Potehi Jombang, Ketika Warisan Tionghoa Menyatu dengan Jiwa Jawa di Kota Santri
Wayang Potehi bukan sekadar peninggalan etnis Tionghoa, melainkan bagian dari kebudayaan Indonesia yang perlu dirawat bersama.
Penulis: Anggit Puji Widodo | Editor: Dwi Prastika
Ringkasan Berita:
- Museum Potehi Gudo Jombang padukan warisan Tionghoa dan kearifan lokal dalam harmoni yang indah.
- Kesenian Potehi sudah tumbuh di Gudo sejak tahun 1920-an, dibawa oleh para perantau dari Tiongkok Selatan.
- Potehi bukan sekadar peninggalan etnis Tionghoa, melainkan bagian dari kebudayaan Indonesia yang perlu dirawat bersama.
Laporan Wartawan TribunJatim.com, Anggit Puji Widodo
TRIBUNJATIM.COM, JOMBANG - Museum Potehi Gudo di Desa Gudo, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menjadi bukti denyut seni tradisi masih berdetak di tengah derasnya modernisasi dan gempuran budaya populer.
Di tempat ini, warisan Tionghoa dan kearifan lokal Jawa berpadu indah dalam harmoni yang langka.
Berada di kompleks Kelenteng Hong San Kiong, museum ini bukan sekadar ruang pamer boneka wayang.
Namun ruang waktu mengajak pengunjung menelusuri jejak sejarah, kisah leluhur, dan nilai kebersamaan lintas budaya yang telah bersemi sejak hampir seabad silam.
Menelusuri Jejak Teater Boneka Klasik
Begitu melangkah ke dalam museum, pengunjung disambut oleh deretan boneka berwarna mencolok.
Wajah-wajah mungil dengan riasan tegas itu seakan hidup di balik kaca, menatap balik seolah siap bercerita.
Setiap boneka membawa kisah dari legenda klasik Tiongkok hingga cerita-cerita modern yang kini dikemas lebih segar untuk generasi muda.
“Potehi ini berasal dari kata ‘Po’ artinya kain, ‘Te’ berarti kantong, dan ‘Hi’ bermakna pertunjukan. Jadi maknanya adalah wayang kantong,” ucap Toni Harsono, pendiri museum sekaligus Ketua Kelenteng Hong San Kiong, saat dikonfirmasi pada Sabtu (1/11/2025).
Menurut Toni, kesenian Potehi sudah tumbuh di Gudo sejak tahun 1920-an, dibawa oleh para perantau dari Tiongkok Selatan.
Ia sendiri merupakan generasi ketiga dari keluarga dalang yang menjaga warisan budaya ini.
“Kakek saya datang dari Cwancu dan membawa Potehi ke Gudo. Sejak kecil saya sudah hidup di kelenteng dan jatuh cinta dengan wayang ini,” ujarnya.
Seni yang Sempat Tertidur
Perjalanan Potehi tidak selalu mulus.
Toni bercerita, sempat ada masa ketika seni ini hampir punah, terutama saat Inpres Nomor 14 Tahun 1967 diberlakukan membatasi ekspresi budaya Tionghoa di Indonesia.
Namun, hubungan baik masyarakat Gudo dan Kota Santri, sebutan Kabupaten Jombang, dengan komunitas kelenteng membuat seni ini tetap bertahan, meski dalam ruang yang terbatas.
Museum Potehi Gudo
Kecamatan Gudo
Jombang
Kelenteng Hong San Kiong
TribunJatim.com
Berita Jombang Terkini
Tribun Jatim
berita Jatim terkini
| Sosok Zubaedah Bisa Bangun Sekolah Gratis Meski Tak Lulus SD, Aset dari Bisnis UMKM Miliaran Rupiah |
|
|---|
| Tarif Listrik PLN November 2025 dari Kementerian ESDM, Beli Rp 100.000 Dapat Berapa kWh? |
|
|---|
| Pantas Pedagang Patungan Rp 40 Juta untuk Perbaiki Jalan Pasar Sendiri, Muak 32 Tahun Menunggu |
|
|---|
| Tiap Hari Siswa Jalan Kaki 2 Jam untuk ke Sekolah hingga Lewati Hutan, Sudah Berlangsung 25 Tahun |
|
|---|
| Daftar Liga 4, Bumi Wali FC Diperkuat Pemain Musim Lalu, Persatu Tuban Siapkan Seleksi Terbuka |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jatim/foto/bank/originals/museum-Potehi-Gudo-Jombang-pamerkan-berbagai-wayang-potehi.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.