Cerita Anak Para Jenderal Korban G30S/PKI, Putri Ahmad Yani Sekarang Berteman dengan Anak DN Aidit

Penulis: Januar AS
Editor: Yoni Iskandar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kolase Amelia Yani dan Ilham Aidit

TRIBUNJATIM.COM - Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, bulan September merupakan bulan yang punya banyak nilai historis.

Itu terkait adanya peristiwa Gerakan 30 September atau yang biasa dikenal G30S/PKI.

G30S/PKI adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada malam di tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965.

Pada peristiwa tersebut, ada tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha kudeta.

Satu dari ketujuh perwira tersebut adalah DI Panjaitan.

Awalnya Tak Digubris, Ucapan Soeharto ke Soekarno Sebelum Tumbang Terbukti Saat G30S/PKI Terjadi

Pria bernama lengkap Donald Isaac Panjaitan ini meninggal pada usia 40 tahun.

Usai menamatkan sekolahnya, Panjaitan masuk menjadi anggota militer dan turut dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).

Jabatan inilah yang terakhir diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.

Dilansir dari Wikipedia, Panjaitan dibunuh tanggal 1 Oktober 1965.

Pada peristiwa tersebut, ia dibunuh secara sadis.

Putrinya, Catherine Panjaitan menjadi saksi mata detik-detik peristiwa tersebut.

Dilansir dari Tribun-Video, berikut kesaksiannya :

1. Waktu penculikan

Sebelum dibunuh, DI Panjaitan diculik terlebih dahulu.

Kata Catherine, penculikan terjadi sekitar pukul 04.30 WIB, pada 1 Oktober 1965.

Ia juga mengatakan ada keributan di luar rumahnya, yang ternyata berasal dari kendaraan yang mengepung dan masuk begitu saja ke dalam rumahnya.

Ada tentara yang memanggil Panjaitan untuk segera turun dari lantai atas kamarnya.

Saat itu, anak-anak Panjaitan dan dirinya sedang berada di tempat tersebut.

2. D.I Panjaitan turun berseragam lengkap

Dengan berseragam lengkap, DI Panjaitan turun ke ruang tamu.

Sebelumnya, ia sempat memandang wajah anak-anaknya.

Setelah itu, terdengar beberapa dialog tentara yang mengajak Panjaitan agar ikut bersama mereka.

Seorang berseragam hijau dan topi baja berseru, "Siap. Beri hormat,"

Tapi Panjaitan hanya mengambil topi, lalu mengapitnya di ketiak kiri.

3. Sebelum ikut pergi, Panjaitan izin untuk berdoa

Panjaitanpun bersedia untuk ikut.

Namun sebelumnya, ia meminta izin untuk berdoa sebentar.

Iapun duduk lalu menangkupkan tangannya untuk berdoa.

4. Tiba-tiba dipukul

Dalam posisi menangkupkan tangannya untuk berdoa, seorang tentara kemudian tiba-tiba memukulnya dengan gagang senapan, hingga ia tersungkur.

5. Ditembak dua kali tepat di kepala

Setelah itu, kejadian bergulir cepat, Dor! Dor!

"Saya melihat kepala Papi ditembak dua kali," cerita Catherine.

"Dengan air mata meleleh, saya berteriak, 'Papi..., Papi....' Saya ambil darah Papi, saya usapkan ke wajah turun sampai ke dada."

6. Jasadnya diseret lalu dilempar

Usai menembak Panjaitan hingga tewas, para tentara tersebut kemudian menyeret jasad Panjaitan ke luar rumah.

Setelah itu, tubuh Panjaitan di lempar melalui atas gerbang rumahnya.

7. Lubang Buaya

Jasad Panjaitan kemudian dibuang ke dalam Lubang Buaya.

Lubang Buaya adalah sebuah tempat di kawasan Pondok Gede, Jakarta yang menjadi tempat pembuangan para korban Gerakan 30 September pada 30 September 1965.

Secara spesifik, sumur Lubang Buaya terletak di Kelurahan Lubang Buaya di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.

Amelia Yani, butuh 20 tahun mengobati luka batin

Wartawan Kompas.com, Widianti Kamil, berada di Sarajevo untuk mewawancara anak Pahlawan Revolusi Jenderal Achmad Yani (sering ditulis Ahmad Yani), yaitu Amelia Achmad Yani. Amelia mengisahkan bagaimana ia berusaha mengobati luka batin.

Ia sampai tinggal 20 tahun lebih di sebuah desa kecil, menepi dari keramaian kota.

Di desa sepi itulah ia baru bisa berdamai dengan keadaan. Perjalanan batinnya semakin kaya ketika ia mulai bertemu dengan para anggota keluarga keturunan PKI yang praktis berseberangan dengan kubu korban kekejaman PKI.

Sesulit apakah Amelia membawa lari dan berusaha menyembuhkan luka batinnya? Seperti apa pertemuan Amelia dengan keluarga keturunan PKI? Simak tulisan di bawah ini.

BAGI Amelia Achmad Yani (67), September setiap tahun merupakan bulan yang mengingatkan ia kepada peristiwa lalu yang kelam bagi dirinya, keluarganya, dan bangsa Indonesia.

Amelia Achmad Yani, yang sedang bertugas sebagai Duta Besar Republik Indonesia (RI) untuk Bosnia dan Herzegovina, merupakan anak ketiga dari delapan putri dan putra almarhum Jenderal Achmad Yani dan almarhumah Yayu Rulia Sutowiryo.

Achmad Yani merupakan salah seorang pahlawan revolusi yang gugur sebagai korban dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) PKI di Jakarta.

Pada 30 September 2017 siang waktu setempat, di kediamannya, Wisma Indonesia di Sarajevo, Bosnia dan Herzegovina, Amelia Achmad Yani mengadakan tahlilan bagi para pahlawan revolusi, terutama untuk almarhum ayahnya.

Selain itu, pada 1 Oktober 2017 pagi waktu setempat, Amelia Achmad Yani mengadakan upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila, juga di Wisma Indonesia, bersama staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sarajevo beserta keluarga mereka.

Wartawan Kompas.com, Widianti Kamil, berada di Sarajevo untuk melihat bagaimana prosesi mengenang peristiwa 30 September 1965 yang dilakukan Amelia.

Di Hotel Novotel Sarajevo Bristol, pada 3 Oktober 2017 petang waktu setempat, sebelum menjamu para tamu acara resepsi diplomatik dalam rangka 72 tahun Kemerdekaan Indonesia, Kompas.com mewawancarai langsung Amelia Achmad Yani.

Wawancara tersebut untuk menjawab banyak pertanyaan mengenai apa yang ada dalam dirinya tentang masa lalu dan kaitannya dengan masa kini dan masa mendatang. Simak wawancara di bawah ini.

Apa yang masih ada dalam pikiran dan perasaan Anda setiap kali 30 September tiba?

Bulan September, biarpun belum tanggal 30, pasti langsung teringat peristiwa yang sangat-sangat tidak bisa dilupakan, seperti sebuah potret yang berjalan.

Tiba-tiba lihat ayah saya diseret.

Tiba-tiba dengar suara tembakan yang menggelegar. Itu terus sampai tanggalnya (30 September). Setiap 30 September, di mana pun saya berada, pasti saya membuat tahlilan.

Dan, saya sesuaikan, kalau di sini (di Wisma Indonesia), di Sarajevo (Bosnia-Herzegovina), saya sesuaikan tanggalnya dengan di Jakarta, jamnya juga bersamaan.

Kodam (di Jakarta) membuat tahlilan setelah magrib, di sini jam satu (13.00 waktu Sarajevo).

Tanggal 1 Oktober memang peringatan secara nasional (Hari Kesaktian Pancasila di Indonesia).

Cuma, tahun ini, jauh berbeda, karena ada pemutaran kembali film Pengkhianatan Gerakan 30 September, yang mungkin lebih dari 15 tahun tidak pernah diputar lagi, membuat rakyat lupa bahwa pernah terjadi sebuah pengkhianatan terhadap negara.

Ketika Indonesia melancarkan Dwikora (Dwi Komando Rakyat, pada 1965), semua pasukan ada di perbatasan Kalimantan Utara, lalu ada yang menusuk dari belakang. Makanya, saya bilang, itu bukan pemberontakan, itu pengkhianatan. Jadi, berkhianat kepada Negara Republik Indonesia.

Sejak DI/TII, PRI/Permesta, merebut Irian Barat, TNI itu betul-betul melakukan perang dan perang, enggak pernah selesai, lalu Dwikora, dan situasi menjadi sangat tidak menentu.

Anda menulis buku tentang ayah Anda dan peristiwa G30S PKI mulai 1988 dan, pada era media sosial kini, juga menulis di Facebook. Tujuan Anda?

Saya ingin generasi muda belajar dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, sehingga mereka tahu bahwa negara ini dibentuk dari sebuah revolusi, dari sebuah kebersamaan, dengan landasan Pancasila.

Saya pikir tadinya, anak muda itu banyak yang terkait hal-hal yang negatif. Saya pikir seperti itu.

Ternyata, banyak sekali pemuda Indonesia, mahasiswa, yang sangat cinta, untuk mengetahui sejarah bangsa sendiri. Begitu mereka menghubungi saya lewat Facebook, saya menulis tiap malam, untuk mereka, seperti apa pengorbanan itu. Saya salah satu anak Pak Yani, yang mungkin, apa ya, merasakan betul secara hati nurani saya. ketika ibu saya selalu bilang begini, "Kenapa bapakmu dibunuh, salah apa dia?"

Setiap hari pembicaraannya itu terus, seperti tidak ada jawaban. Dan, kemudian, saya mencari jawaban itu dengan menulis. Saya mulai mewawancarai Pak Nasution (AH Nasution), Pak Sarwo Edhie, Pak Soemitro.

Semua saya wawancara. Saya tanya, seperti apa ayah saya sebetulnya, lalu kenapa harus dibunuh. Di situ saya (juga) mulai membuka agenda bapak saya. Di situ ada beliau mengatakan, "Kenapa saya jadi prajurit?

Karena saya patriot, karena saya cinta Tanah Air." Itu message, itu penting sekali. Pesan dari orangtua saya itu penting sekali untuk generasi muda. "Kenapa saya belajar? Untuk jadi apa? Kenapa saya jadi prajurit? Karena saya patriot." Tidak harus jadi prajurit, lho. Tapi, semangat itu ada.

Menulis sekaligus menjadi cara Anda mengatasi trauma yang Anda alami karena peristiwa kelam itu? Saya menulis buku itu, bercucuran air mata saya.

Sepertinya ayah saya datang, sepertinya beliau dekat sekali dengan saya, seolah-olah saya dibimbing untuk menulis.

Kan nulisnya bukan siang hari, saya nulisnya malam hari, jam tiga pagi, jam satu malam, ketika sepi, tidak ada siapa-siapa.

Saya seperti ada yang mendorong untuk menulis dan jawaban itu seperti ada di situ.

Meski (ketika itu) saya belum sembuh (dari trauma), lalu saya bekerja, saya belum sembuh. Tapi, kemudian, saya pindah ke desa, saya pindah ke sebuah dusun, dusun Bawuk namanya (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1988). Enggak ada listrik.

Ibu saya menangis waktu itu. Saya mencari jawaban bagi diri saya sendiri.

Tinggal di desa itulah yang menyembuhkan saya dari semua rasa dendam, rasa amarah, rasa benci, kecewa, iri hati, dengki. Itu hilang. Di desa, itu hilang. Lebih dari 20 tahun saya di sana. Jadi hampir seperempat abad, saya ada di desa. Ketika itu saya menyekolahkan (mulai SMA) Dimas (anak tunggal) ke Australia.

Saya sendiri di desa. Bangun pagi, jam enam saya sudah di sawah. Saya punya sawah, saya punya kolam ikan gurame, punya pohon buah-buahan, mangga, saya punya pepaya, pisang. Semua, semua saya punya, punya ayam, saya jualan telur ayam, tapi rugi terus, enggak pernah untung, enggak tahu kenapa.

Itulah belajar. Saya banyak bergaul dengan petani. Saya ke Bukit Menoreh. Kalau orang ingat (buku seri) Api di Bukit Menoreh, saya sudah sampai di ujungnya, di Puncak Suryoloyo itu. Waktu malam 1 Suro, mereka semua (warga) ke puncak gunung. Dan, saya sudah di sana, saya sudah ke mana-mana.

Dan setelah tinggal di desa 20 tahun lebih sedikit, anak saya manggil. Katanya, enggak cocok di situ. Jadi, saya meninggalkan dusun, balik lagi ke kota, Jakarta.

Di situ mulai satu jalan yang lain lagi. Partai politik (parpol), semua mulai masuk.

Mau jadi bupati (Purworejo, Jawa Tengah), ndak berhasil. Sudah menang, tapi dikalahkan dengan drastis.

Uang habis. Pokoknya, mengalami semuanya, yang membuat saya menjadi matang, mungkin. Lalu, menulis lagi, menulis lagi.

Ketika saya sendirian, saya menulis lagi, saya menulis lagi.

Sekarang Anda sudah sembuh dari trauma. Menurut Anda, para keturunan dari "pihak yang berseberangan" juga mengalami trauma?

Keluarga saya delapan bersaudara. Adik saya, Mas Untung, Mas Edi, mungkin belum bisa menerima (Achmad Yani menjadi korban gugur dalam peristiwa G30S PKI). Saya terbawa situasi di mana tiba-tiba ada teman-teman datang ngajakin saya ketemu anak (Brigadir Jenderal) Soepardjo (Wakil Ketua Dewan Revolusi Indonesia), anak (DN) Aidit, anak (Marsekal Madya) Omar Dhani, yang dalam Gerakan 30 September ada di seberang sana. Kami di sebelah sini. In a way, dalam hal tertentu, saya diuntungkan. Kan saya anak pahlawan revolusi.

(Di lain pihak) mereka mengatakan, "Kami (anak dari orangtua yang anggota PKI) anak pengkhianat, (selalu disebut), 'Kamu PKI, kamu PKI'.

" Mereka menceritakan kepada saya bagaimana sulitnya menjadi anak yang orangtuanya pengkhianat. Di situ saya mulai bisa mengerti, karena mereka (anak pelaku) bukan pelaku. Lalu saya pergi ke Pulau Buru (Maluku), saya melihat seberapa kehidupan di sana. Pulau Buru sudah menjadi lumbung padi di Maluku, kan orang Jawa banyak dipindah ke sana. Di Pulau Buru sebenarnya dulu memang sulit.

Siapa sih yang enggak sulit?

Semua mengalami kesulitan.

Bayangkan, inflasi sampai 600 persen. Kita miskin dan miskin.

Tapi, kita miskin lagi kemudian, tahun 1998. Jadi, saya ingin bangsa ini belajar darisemua kejadian yang pernah kita alami. Kalau mereka (generasi sesudah itu) tidak mengalami, kita tulis, supaya mereka tahu dalam sejarah.

Di situ saya mulai mengenal mereka. Memang, sebetulnya, kalau bertemu (dengan para keturunan dari pihak yang berseberangan), ketawa-ketawa ya.

Tapi, kalau (ada dari) mereka bilang, 'Lubang Buaya itu enggak ada, sejarah itu bohong semua', itu kami marah. Jadi, kapan kita mau damai? Tapi, kalau yang di Pulau Buru, (mula-mula) mereka takut melihat saya. Saya datang, (mereka) takut.

Orangtua mereka juga melihat. Tapi, ketika saya bilang, "Saya datang ke sini kan saya juga anak korban," langsung mereka keluar (rumah) semua, (suguhan minuman) teh keluar, tadinya mereka enggak mau keluar. Terus, saya lihat, anak-anak itu tidak berbuat apa-apa. Ada Karang Taruna, enggak punya apa-apa.

Lalu, saya belikan organ (keyboard) dan mereka mulai ngamen (main musik dan menyanyi), punya uang, terus cerita sama saya. Itu membuat saya senang. Itu yang harus dibuat secara nasional, bahwa rekonsiliasi bisa terwujud antarmanusia, antarindividu. Kami siap (untuk) rekonsiliasi, tapi tidak dengan campur tangan pemerintah. Kalau ada campur tangan pemeritah, malah ora dadi (tak jadi).

Saya bisa menerima itu. Entah orang lain berpendapat seperti apa. Kalau saya, bisa. Mereka mengalami lebih parah. Jadi, waktu kami (Amelia dengan salah seorang anak tokoh Dewan Revolusi Indonesia) bertemu untuk pertama kali, lain ya sorot matanya.

Terus dia bilang, "Saya kepingin ketemu sama Mbak Amelia," saya dengerin ceritanya. Saya pikir, kasihan juga. Tapi, saya mengalami (sebagai anak yang ayahnya menjadi korban).

Tapi, bapak kamu (tokoh Dewan Revolusi Indonesia itu) yang melakukan. Itulah yang terjadi.

Dan, dia menangis, bisa bercerita kepada saya. Waktu ayahnya tertangkap, dua jam sebelum ditembak mati, boleh ketemu keluarganya. Terus, dikubur di sebuah tempat, di hutan, hanya dikasih kotak semen (makamnya disemen berbentuk segi empat) dan tanpa nama.

Jadi, anak-anaknya terus mencari, kira-kira di sebelah mana (makam ayah mereka).

Apa pun, darah itu kan darah orangtuanya ya.

Di situ saya merasa bahwa sebagai anak pahlawan, orang di mana pun, parpol, menyambut saya seperti kedatangan Pak Yani gitu. (Padahal) Saya cuma anaknya. Tapi, seperti itulah keadaan kita.

Putri Ahmad Yani dan anak DN Aidit berteman

Era Reformasi yang ditandai dengan mundurnya Presiden RI, Soeharto pada Mei 1998, membawa angin segar bagi iklim politik di Indonesia.

Hawa sejuknya berhembus juga di kalangan anak-anak korban konflik masa lalu.

Sebagai anak manusia yang sudah merasakan pahitnya menjadi korban konflik, timbul keinginan untuk berkumpul dan melupakan masa lalu yang kelam.

Awalnya beberapa anak korban konflik seperti Sarjono Kartosoewirjo (anak tokoh DI/TII Kartosoewirjo), Nani Nurachman, dan Agus Widjojo (anak Letjen Sutojo), dan Sugiarto, mulai saling kontak dan menggagas suatu wadah silaturahmi.

Belakangan disepakati namanya Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB).

Perkumpulan ini merangkul keturunan dari pihak yang terlibat konflik-konflik lain seperti DI/TII Aceh dan PRRI/Permesta yang berasal dari keluarga militer, serta keturunan dari tokoh sipil seperti Syarifuddin Prawiranegara, HOS Tjokroaminoto, H Agus Salim, dan Yap Thiam Hien.

Dilansir dari Tribun Timur, Sabtu (30/9/2019) lalu, dalam ikrar perdamaian di Hotel Hilton Jakarta, 5 Maret 2004 lalu, FSAB antara lain menyatakan menghargai kesetaraan di antara mereka dan terhadap segenap bangsa Indonesia.

Sebuah kesetaraan tanpa diskriminasi diharapkan menjadi upaya awal menuju rekonsiliasi di antara semua pihak yang pernah bertikai.

Rekonsiliasi seperti apa?

Bentuknya memang masih terus dibicarakan.

FSAB ternyata membawa hikmah tersendiri bagi anak-anak korban konflik pada tahun 1965 hingga 1966.

Pertemuan-pertemuan rutin forum ini memecahkan kebekuan antara anak-anak Pahlawan Revolusi, antara lain Amelia Yani (putri Jenderaal Ahmad Yani) dengan anak-anak tokoh yang berseberangan, seperti Sugiarto, Ferry Umar Dhani (putra Marsekal Umar Dhani), dan belakangan Ilham Aidit (anak DN Aidit).

Mereka mampu duduk semeja, tertawa bersama, berpelukan, dan saling menyemangati.

Suatu keadaan yang sungguh sulit dibayangkan terjadi di masa lalu.

Memaafkan dengan tulus memang gampang diucapkan, tapi sungguh bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan.

Namun, Amelia Yani merasa perlu melakukannya karena tidak ingin mewariskan dendam kepada anak cucunya sehingga mereka tumbuh menjadi pembenci.

“Tapi mereka tidak tahu yang dibenci itu apa. Marah tapi tidak tahu marah pada siapa,” tutur ibu dari seorang putra, Dimas Tjahyono Dradjat.

Amelia mengakui belum seluruh anggota keluarganya sanggup melakukan itu.

Seorang adiknya, hingga sekarang masih bergetar dan menangis jika berbicara masalah pembunuhan ayahnya.

“Semua tergantung kepekaan masing-masing. Saya menghormati sikap adik saya,” katanya.

Sugiarto yang juga sempat mendapat pertanyaan dari keluarga soal keterlibatannya di FSAB, mengakui memang tidak mudah untuk melupakan kepedihan masa lalu.

Tapi karena menyadari bahwa semua ini adalah takdir dari Yang Maha Kuasa, ia dengan ikhlas bisa melakukannya.

“Saya tidak benci militer. Saya juga tidak ingin hidup ini tersiksa hanya karena dendam,” demikian prinsipnya.

Ia mengaku cukup bahagia jika FSAB bisa menjadi gerakan moral yang mampu mengajak semua berdamai, dan tidak perlu menuntut terlalu jauh.

Hingga hampir 40 tahun sejak peristiwa itu terjadi, tak satu pun anak-anak korban konflik 1965 - 1966 mengetahui latar belakang peristiwa hingga mereka harus kehilangan ayah tercinta.

Tak terkecuali anak-anak Pahlawan Revolusi. Yang mereka tahu hanyalah bentuk-bentuk kekerasan yang disaksikan dengan mata kepala sendiri.

Sungguh, suatu luka batin yang tak mudah dilupakan, namun dapat disembuhkan dengan kebesaran jiwa.

Berita Terkini