Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Tak Lagi Dompleng Agama Lain, Begini Luapan Ratusan Penganut Aliran Kepercayaan di Mojokerto

Putusan MK membuat para penganut aliran kepercayaan bernafas lega dan tak lagi harus mendompleng agama lain.

Penulis: Rorry Nurmawati | Editor: Mujib Anwar
SURYA/RORRY NURMAWATI
Penganut aliran kerohanian Sapta Darma di Kabupaten Mojokerto, Senin (13/11/2017). Mereka akhirnya bisa bernafaskan lega, setelah putusan MK karena tak lagi mendompleng ke agama lain. 

TRIBUNJATIM.COM, MOJOKERTO - Penganut aliran kerohanian Sapta Darma di Kabupaten Mojokerto akhirnya bisa bernafaskan lega. Ini setelah permintaan pengakuan aliran kepercayaan dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Setelah keputusan itu, kini penghayat kepercayaan tak lagi mendompleng agama lain untuk bisa masuk ke dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) maupun Kartu Keluarga (KK). 

Selama ini, penghayat kepercayaan seakan belum mendapatkan pengakuan dari pemerintah terkait pencatatan agama dalam administrasi negara.

Untuk itu, selama ini para penghayat kepercayaan memilih mendompleng agama lain yang telah diakui oleh undang-undang. Meski dalam keyakinan, mereka hanya meyakini adanya satu Tuhan Yang Maha Esa (YME). 

"Keputusan ini merupakan sejarah baru bagi kami penganut aliran kepercayaan. Sekarang, kepercayaan kami telah diakui setara dengan agama lain sehingga ke depan tak perlu mendompleng ke agama lain saat pengurusan administrasi lainnya," tegas Tuntunan Kerohanian Sapta Darma, Tamirin, Senin (13/11/2017). 

Selama ini, keputusan untuk mendompleng ke agama lain dipilih lantaran tak ingin terjadi masalah dikemudian hari.

Terlebih saat mendaftarkan anak sekolah, melamar pekerjaan, hingga pencatatan perkawinan sesama penganut aliran kepercayaan.

Namun setelah adanya keputusan dari MK, para penghayat kepercayaan tak lagi khawatir dalam pengurusan administrasi lainnya.

Kerohanian Sapta Darma sendiri bukanlah jebolan dari agama tertentu, melainkan agama yang berdiri sendiri tanpa bersandar pada agama apapun yang diakui negara.

Kepercayaan ini telah ada sejak sekitar 1952, yang kemudian berkembang di wilayah Mojokerto sekitar tahun 1980.

"Untuk jumlah keseluruhan lebih dari 200 penganut di Mojokerto," imbuh Tamirin.

Harapan baru pun juga muncul dari para penghayat kepercayaan. Parman misalnya, dia minta agar pemerintah tidak hanya memperhatikan dari sisi administrasi negara saja.

Melainkan juga dari sisi pendidikan agama bagi anak keturunan.

"Selama ini belum ada pendidikan khusus untuk kepercayaan kami. Contohnya anak saya yang masih SD, dia harus keluar kelas jika waktunya agama lain dan baru masuk kembali ketika jam pelajaran agama itu selesai," kata pria 65 tahun ini. (Surya/Rorry Nurmawati)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved