Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Penambang Pasir Tradisional di Ngunut Tulungagung Tetap Bertahan

Menjelang sore hari, Misdi dan Kukuh mengayuh perahunya mengikuti aliran Brantas ke arah barat.

Penulis: David Yohanes | Editor: Yoni Iskandar
Surya/David Yohanes
Kakak beradik penambang pasir tradisional di Sungai Brantas Desa/Kecamatan Ngunut, Misdi dan Kukuh mendaratkan perahu berisi pasir hasil kerja mereka. 

TRIBUNJATIM.COM, TULUNGAGUNG - Sambil menahan dingin, kakak adik Misdi (42) dan Kukuh (30) terus mengeruk pasir di dalam aliran Sungai Brantas, Desa/Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung.

Sesekali kepala mereka masuk ke dalam air untuk mendapatkan pasir yang diinginkan. Pasir yang berhasil dikeruk kemudian dilemparkan ke dalam perahu logam untuk wadah sementara.

Menjelang sore hari, Misdi dan Kukuh mengayuh perahunya mengikuti aliran Brantas ke arah barat.

Sekitar 150 meter kemudian, perahu merapat di sisi selatan sungai untuk menurunkan muatannya. Seorang manol disewa untuk menurunkan pasir tersebut.

Lokasi penurunan pasir tersebut layaknya sebuah dermaga. Dalamnya lebih dari tiga meter. Ada sekitar 9 perahu penambang pasir yang beroperasi di sini.

“Dulu ada 12 perahu, yang tiga pindah ke lokasi lain. Karena di lokasi ini sudah dianggap sulit mendapatkan pasir lagi,” ucap Misdi.

Ada puluhan penambang pasir tradisional di pinggir Sungai Brantas yang masuk wilayah Lingkungan X, Desa/ Kecamatan Ngunut ini.

Setiap perahu biasanya dioperasikan empat orang. Perahu ini juga disewakan Rp 10.000 untuk mengangkut pasir seukuran satu truk engkel.

Tidak ada yang tahu pasti, sejak kapan penambangan pasir tradisional Ngunut ini mulai beroperasi.

Namun diperkirakan sudah ada lebih dari 10 tahun. Mereka beroperasi sebelum tambang pasir ilegal dengan mesin penyedot, atau tambang mekanik beroperasi.

Mereka bertahan dengan cara legal ini, meski di sekitar mereka mesin-mesin penyedot beroperasi. Di sisi barat, di tepi utara tempat para penambang ini terlihat mesin penyedot menderu dengan suara keras. Meski dilarang dan dianggap ilegal, mesin menyedot tersebut bebas beroperasi di wilayah Gandekan, Kecamatan Wonodadi.

“Kami memilih yang begini saja (cara tradisional) dari pada takut kena razia. Lebih baik dapat sedikit tetapi hati tenang,” ujar seorang penambang lain.

Untuk satu truk engkel, pasir dari para penambang tradisional ini dijual Rp 480.000. Harga tersebut sudah termasuk biaya menaikkan pasir ke atas truk. Ada pula potongan untuk manol yang menaikan pasir ke atas truk.

Biasanya seorang manol yang menaikkan pasir dibayar Rp 75.000. Para penambang ini biasanya turun ke aliran Brantas sejak pagi. Jika suhu sedang dingin seperti saat ini, mereka mulai bekerja setelah matahari bersinar.

Kukuh menuturkan, untuk mendapatkan pasir seukuan truk engkel diperlukan waktu seharian. Kadang sehari bisa dapat hingga dua perahu, atau seukurna dua truk engkel. “Tapi biasanya kalau sudah dapat dua kali, besoknya tidak bekerja. Karena capainya luar biasa,” ucapnya.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved