Mengenang Seribu Hari Wafatnya Mbah Muchith, Diminta Gus Dur Tinggal di Jakarta Tapi Pilih di Jember
Mbah Muchith, ulama sepuh ini wafat di usia 90 tahun, pada 6 September 2015 lalu. Seribu hari wafatnya, semua orang mengenang keteladannya.
Penulis: Erwin Wicaksono | Editor: Mujib Anwar
Kiai Abdul Muhith Muzadi adalah sosok santri-kiai par excellence.
Sebagai kiai, beliau selalu berusaha melihat berbagai persoalan dengan
pendekatan solutif. Hal yang rumit dijadikan sederhana. Hal yang sulit
dicarikan jalan keluarnya. Meski demikian, karakter santri masih
melekat kuat dalam diri beliau hingga akhir hayatnya. Tetap tawadhu'
dan sederhana, meski sudah menjadi figur yang dijadikan panutan di
mana-mana.
Pada 2011, saya sowan beliau untuk mengantarkan undangan pernikahan
putri KH. Abdul Hakim Mahfudz (sekarang Wakil Pengasuh Pesantren
Tebuireng). Setelah saya jelaskan bahwa undangan tersebut berasal dari
salah satu putra KH. Mahfudz Anwar Seblak, dengan mata berkaca-kaca
beliau dawuh, "Kiai Mahfudz itu guru idola saya. Lha, saya ini siapa,
kok sampai putra guru saya masih ingat dan mau mengundang di
pernikahan anaknya?"
Begitulah Mbah Mucith, disamping kita kenal sebagai seorang kiai
ternyata beliau adalah seorang santri yang dikenang oleh gurunya
bahkan oleh putra gurunya. Mbah Muchith tetap seorang santri meski
telah menjadi kyai, santri saklawase,"
Baca: Lorenzo Pecah Telur Bareng Ducati, Podium Rossi di MotoGP Italia Disambut Bagai Raja
Anak Lanang & Anak Wedok
Oleh Moh. Subhan, Wakil Ketua LTN PBNU
Sungguh sebuah kehormatan yang luar biasa bila saya diberi kesempatan
untuk turut memberi kata pamungkas dalam buku Yasin dan Tahlil ini.
Bukan apa-apa, pertama karena saya bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah
orang biasa-biasa saja. Bukan tokoh. Bukan orang penting.
Syukur alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat
yang diberikan kepada saya. Salah satu kenikmatan yang selalu saya
syukuri dan sampai sekarang tidak pernah saya lupakan adalah dapat
berhubungan batin dalam waktu cukup lama dengan almarhum KH Abdul
Muchith Muzadi.
Kedekatan hubungan batin kami dapat digambarkan dari
kalimat putra-putri beliau manakala kami membezuk beliau saat sedang
sakit. Biasanya mereka menggoda, “Lha.. iki anak lanange teko…!” (Ini
anak lanang nya datang - red) lalu mereka meninggalkan kami berdua.
Baca: 7 Dokumen Penting dari Komputer Osama bin Laden Dirilis CIA, Nomor 2 Isinya Lucu Banget
Biasanya saya menerima pesanan tugas dari mereka untuk menghibur dan
merayu mbah Muchih agar kerso dahar dan beristirahat sejenak dari
berpikir yang berat-berat, dan itu hampir selalu tentang NU.
Dalam kesempatan lain, mereka sempat berkelakar bahwa Mbah Muchith
masih punya dua anak lagi, selain dari kedelapan anaknya yang selama
ini saya kenal. Lho, siapa kedua anak itu? Kok saya tidak pernah
tahu dan tidak penah kenal. Ternyata kedua anak itu adalah saya
sendiri, yang dijuluki sebagai anak lanang; dan Ibu Khofifah Indar
Parawansa sebagai anak wedok.
Meski saya tahu itu hanya sebuah kelakar, namun tetap saja membuat
saya senang. Karena inilah kehormatan kedua, telah dianggap sebagai
bagian Keluarga Besar mbah Muchith, dan kehormatan ketiga saya
disejajarkan dengan Ibu Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum PP
Muslimat NU yang juga Calon Gubernur Jawa Timur. Arti lain dari
kelakar ini adalah hubungan batin kami sudah masuk sedemikian dalam.
Dan kini, bertambahlah kehormatan saya dari putera-puteri mbah
Muchith, karena dalam buku ini saya disejajarkan dengan Prof. Mahfudz
MD yang pernah menjadi Ketua MK dan Menteri Pertahanan jaman Presiden
Gus Dur.
Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari Mbah Muchith. Terutama
yang kaitan dengan menata hati dan berkhidmat dalam perjuangan. Dalam
kekecewaan yang mendalam, biasanya beliaulah yang mengarahkan saya.
Berkali-kali saya mengucap syukur kepada Allah SWT telah dipertemukan
dengan guru sekaliber Mbah Muchith.
Saya pernah merasakan kualitas seorang Mbah Muchith dalam proses
penulisan buku Antologi NU jilid pertama. Kala itu tidak ada dana sama
sekali; dan saya belum banyak kenal para tokoh yang harus saya
hubungi. Padahal mereka tinggal di berbagai pelosok Jakarta, Bogor,
Bekasi, Blitar, Surabaya, dlsb, yang jelas butuh banyak dana. Ternyata
semua itu dapat teratasi dengan kalimat ‘salam dari Mbah Muchith’
Jember dan buku yang diidamkan itupun akhirnya dapat terbit yang
sampai saat ini sudah jilid kedua.
Waakhiran, selain mengucap syukur, marilah kita mendo’akan beliau
almarhum Mbah Muchith Muzadi. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi
wa’fuanhu. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa beliau, menyayangi
beliau, dan menempatkan beliau di tempat mulia di sisi-Nya.
Amin,"
Baca: Hati-hati, Penipuan SMS Mengatasnamakan BPJS Ketenagakerjaan Kian Marak
KH Abdul Muchith, Konseptor Sekaligus Insipirator