Pesan Bu Tien Jelang Kekuasaan Soeharto Tumbang, Seorang Menteri Sampai Terkejut Saat Tahu
Satu kalimat ini seolah menjadi penanda sebuah peristiwa besar akan terjadi. Andaikata didengarkan, mungkin endingnya berubah
TRIBUNJATIM.COM - Sosok Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto memang memiliki banyak kisah menarik.
Termasuk cerita dari para keluarganya.
Dalam sebuah upacara Golkar tahun 1996, Ny. Mien Sugandhi yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Peranan Wanita duduk berdampingan dengan Ny. Tien Soeharto. Tiba-tiba Ibu Tien berkata, "Tolong katakan kepada ... (ia menyebut salah seorang petinggi Golkar), agar Pak Harto jangan menjadi presiden lagi. Sudah cukup, sudah cukup. Beliau sudah tua."
"Lo, kalau begitu siapa yang mumpuni untuk menggantikan beliau?" Mien Sugandhi terkejut dan bertanya.
"Biarlah itu diserahkan dan ditentukan oleh Pemilu saja. Aku sudah tidak mau lagi. Aku mau pergi, aku lungo (pergi). Pokoke aku lungo," kata Ny. Tien.
Baca: Akibat Khofifah Effect, Suara Muslimat NU Jawa Timur Diprediksi Jadi Rebutan di Pemilu 2019
Baca: Arthur Cunha Akui Tak Takut Hadapi Barito Putera
Mien Sugandhi menyampaikan pesan itu kepada orang yang dimaksud, tetapi orang itu tak percaya. April 1996 Ny. Tien benar-benar pergi untuk selama-lamanya. Maret 1998 Pak Harto tetap dipilih menjadi presiden. Perubahan memaksa Soeharto berhenti.
Mien membatin, "Seandainya orang-orang yang dulu diberi pesan oleh Ibu Tien mendengarnya."
Dilansir dari Intisari, tak selamanya Ny. Tien serius. Brigjen Eddie M. Nalapraya, mantan wagub DKI, bercerita tentang pengalamannya sewaktu mendampingi Pak Harto memancing di Pelabuhan Ratu. Ketika mobil hendak berangkat, sang nyonya mengetuk kaca persis di posisi Eddie duduk.
"Siap! Saya Bu," kata Eddie setelah kaca diturunkan.
Baca: Pembangunan Underpass Mayjen Sungkono Dianggap Mangkrak, ini Jawaban REI Jatim
Baca: Menristek : Unair Harus Lahirkan Inovasi Baru di Bidang Farmasi
"Jangan memancing ikan yang rambutnya panjang ya!" pesan Ny. Tien.
Hubungan Eddie dan keluarga Soeharto terbilang dekat. Anak-anak Soeharto mudah merajuk kepadanya untuk memintakan izin bepergian kepada ayahnya. Ketika Eddie melaporkan kenaikan pangkatnya, Ny. Tien Soeharto langsung mengambil sapu tangan dan mengelap bintang di pundak Eddie. "Sungguh, saya terharu. Tidak ada pengawal lain yang diperlakukan seperti itu."
Lain kisah bersumber dari Des Alwi, tokoh pergerakan asal Bandaneira, Maluku. Des mengenal Soeharto ketika ditugasi oleh ayah angkatnya, Sutan Syahrir, untuk melakukan konsolidasi dengan sesama pemuda perjuangan setelah Indonesia merdeka.
Tahun 1949, saat di Yogyakarta, ia sering berdiskusi dengan para pemuda yang bermarkas di Pathuk. Di situlah ia mengenal Soeharto.
Baca: Dampak Kekeringan, Petugas BPBD Tuban Mulai Droping Air Bersih
Baca: Jalan Depan Galaxy Mall Surabaya Ditutup Hingga Siang, Lima Ambulan Ikut Terjebak Macet
"Soeharto cukup akrab dengan pemuda setempat, Faisal Abdaoe, yang kala itu berusia 15 tahun. Saya mendengar suatu saat Soeharto mengajak Faisal naik mobil dan memarkirnya untuk mengamati gerak-gerik tentara Jepang di markas mereka di Malioboro.
Tiba-tiba mendekat tentara Jepang yang mencurigai mereka. Segera Soeharto melilitkan kain scarf yang dibawanya, lantas memeluknya seperti orang pacaran. "Ha, ona aremaska (Hah, ada perempuan ya)?!' teriak serdadu itu sambil berlalu dari tempat itu," cerita Des Alwi.
Soal bahasa, Maftuh Basyuni menceritakan bahwa Pak Harto memiliki kemampuan bahasa Inggris yang bagus. "Jangan salah. Memang kalau di PBB berbahasa Indonesia demi kebanggaan bangsa." Hal yang sama dikatakan oleh Amoroso Katamsi saat mengikuti aktivitas Pesiden Soeharto untuk melakukan pengamatan sebelum memerankan tokoh itu dalam Pengkhianatan G30S/PKI (Arifin C. Noer, 1984).
Baca: Arthur Cunha Akui Tak Takut Hadapi Barito Putera
Baca: Berikut Penyesalan Soeharto Usai Kekuasaannya Tumbang, Semua Karena Abaikan Teguran Benny Moerdani
"Saat menjelaskan soal peternakan sapi di Tapos kepada tamu-tamu dari Australia, ternyata Pak harto berbicara sangat lancar dalam bahasa Inggris," kata Laksamana Pertama TNI ini.
Pak harto pun rajin mencatat. Setiap kunjungan ke daerah ia melengkapi diri dengan buku catatan. Seperti yang diceritakan Try Sutrisno saat melakukan kunjungan incognito selama dua pekan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. "Tak banyak yang tahu. Bahkan Panglima ABRI pun tidak. Hanya Komandan Paspampres, Komandan Pengawal, dr. Mardjono, dan seorang mekanik."
Baca: Akibat Khofifah Effect, Suara Muslimat NU Jawa Timur Diprediksi Jadi Rebutan di Pemilu 2019
Baca: Pembangunan Underpass Mayjen Sungkono Dianggap Mangkrak, ini Jawaban REI Jatim
Rombongan tidak menginap di rumah kepala desa atau rumah penduduk. Namun tidur seadanya dan tidak ingin diketahui orang. "Sangat prihatin tapi saya melihat Pak harto sangat menikmati perjalanan keluar masuk desa itu," cerita Try. Seluruh hasil kunjungan dicatat di buku yang selalu dibawa Pak Harto.
Masih banyak kisah-kisah menarik dan humanis dalam buku setebal 603 halaman dari tuturan 113 narasumber ini.