3 Kasus Krusial Kekerasan Anak Indonesia, Eksploitasi Seksual di Sektor Wisata hingga Radikalisme
Isu mengenai kekerasan pada perempuan dan anak-anak sedang marak. Mulai dari eksploitasi seksual di tempat wisata hingga radikalisme.
Penulis: Melia Luthfi Husnika | Editor: Arie Noer Rachmawati
Laporan Wartawan TribunJatim.com, Melia Lutfhi Husnika
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Isu mengenai kekerasan pada perempuan dan anak-anak sedang marak.
Kasus-kasus tersebut tak jarang terjadi di ruang pendidikan bahkan sektor wisata.
Yuliati Umrah, seorang aktivis hak-hak perempuan asal Jawa Timur melihat isu kekerasan terhadap anak dan perempuan semakin kritis.
• Pengakuan Warga Inggris yang Terjangkit Virus Corona, Awalnya Dikira Flu Biasa, Tubuhku Sakit
Menurutnya, banyak ruang yang seharusnya menyediakan keamanan bagi anak dan perempuan untuk berproses justru menjadi tempat terjadinya kekerasan, seperti sekolah dan institusi pendidikan lain.
"Saya menyoroti tiga hal utama dalam kasus yang menimpa perempuan dan anak-anak yang kini semakin parah. Hal ini jika tidak segera ditindak akan menimbulkan dampak yang buruk bagi masa depan anak," ujarnya saat mengisi acara di Konsulat Jendral Amerika Serikat Surabaya, Kamis (5/3/2020).
Tiga kasus tersebut yang pertama soal kekerasan seksual di sektor wisata atau yang biasa disebut dengan sexual exploitation of children in travel and tourism (SECTT).
Indonesia, menurut Yuliati Umrah menjadi satu di antara tujuan wisata seksual tertinggi.
"Kenapa bisa begitu? Karena faktanya penegakan hukum pada eksploitasi seksual di sektor pariwisata ini masih minim. Selain itu juga karena mudahnya turis asing maupun domestik masuk ke kawasan wisata di mana background mereka adalah pedofil. Tanpa pengawasan dan penegakan," ujarnya.
Di sisi lain, lanjutnya, banyak anak-anak sekolah menengah melakukan praktik kerja industri atau PKL yang terlibat dalam proses-proses yang tidak diinginkan karena tidak adanya pengawasan.
• Bahaya Tisu Basah Dijadikan Masker, Video Telanjur Viral, Imbas Fatal ke Paru-paru Wajib Diwaspadai
"Harusnya ada pengawasan dari pemerintah. Bagaimana sekolah dan industri justru memicu anak-anak masuk dalam dunia SECTT, karena tidak ada monitoring sama sekali," paparnya.
Kasus kekerasan kedua, lanjut Yuliati Umrah adalah dalam ruang lingkup pendidikan dan agama.
Selama 2019, Yuliati mengungkapkan ada 235 kasus kekerasan seksual pada anak dan 123 di antaranya terjadi di ruang agama dan pendidikan.
• Curhat Pilu Tetangga Pasien Positif Corona Dibongkar Najwa, Hari-hari Sulit, Jokowi Dapat Pesan
"Ini menjadi masalah. Ketika ruang yang dipercaya oleh keluarga untuk membentuk anak-anak malah menajdi ruang yang gelap. Bila dua ruang yang terbaik ini membuat anak menjadi kehilangan kepercayaan pada semua pihak, maka akan menjadi masalah yang buruk," katanya.
Ditambah lagi akses anak-anak ke sekolah dan ruang agama semakin tahun semakin meningkat.
Namun, menurut Yuliati jika kepercayaan terhadap pendidikan dan agama tersebut hilang, keduanya akan menjadi hal yang paling dihindari oleh anak.
• Perjuangan Zaskia-Irwansyah Ikut Program Bayi Tabung, Tak Sabar Tunggu Setelah Lebaran: Istikharah
Hal ini, menurutnya dipengaruhi oleh kemampuan orang tua dalam pengasuhan.
Yuliati Umrah juga menyoroti perilaku orang tua yang seakan acuh pada anaknya setelah masuk ke instansi pendidikan atau agama.
Mereka dinilai tidak melakukan pengawasan dan pendekatan secara baik pada anak hingga terjadi kasus-kasus kekerasan.

"Sebagai orang tua harusnya tetap mengawasi anak dan perilakunya di sekolah. Jangan memberikan wewenang 100 persen pada guru untuk mendidik anaknya. Mereka (prang tua) berhak tau apa yang dilakukan anak selama mengenyam pendidikan di sekolah, tugas apa yang diberikan guru, serta kegiatan anak selama di sekolah," ujarnya.
Menurutnya, dengan pengawasan primer yang selalu dilakukan orang tua, anak akan terhindar dari perilaku kekerasan di sekolah maupun instansi lain.
Karena, anak akan semakin terbuka pada orang tua ketika terjadi sesuatu.
• Cerita Pilu Keluarga, Pengantin Sejenis Nyamar, Penghulu Syok Pasca Ijab Kabul, ‘Sudah Nikah Sehari’
Yuliati Umrah menuturkan, perilaku yang terjadi saat ini cenderung menutupi kekerasan atau perlakukan tidak menyenangkan yang terjadi.
"Alih-alih melaporkan perbuatan menyimpang, anak justru dibuat bungkam oleh kebijakan sekolah atau instansi yang berkedok ingin menjaga nama baik. Kalau sudah begini, anak menjadi korban. Karena orang tua tidak tahu dan anak takut untuk mengatakan," tutur Yuliati.
Kasus ketiga, Yuliati Umrah memaparkan mengenai kasus radikalisme dan ekstrimisme yang terjadi di ruang pendidikan.

"Tercatat pada 2019 lalu, bahwa 52 persen siswa Indonesia dari SD-SMA terpapar paham radikalisme. Bagaimana cara mereduksinya, itu yang paling penting. Karena awal masalah ini adalah kasus seperti bullying, body shaming, diskriminasi yang sering terjadi di semua sekolah," jelas dia.
Untuk merespons ketiga permasalah utama tersebut, Yuliati Umrah bersama koalisi berharap para ibu dan para perempuan yang punya kewenangan pengasuhan yang legal lebih banyak melakukan monitor.
"Jadi tidak percaya begitu saja dan menyerahkan begitu saja pada institusi pendidikan maupun agam. Boleh tetap disekolahkan tapi tetap monitor dengan sering berdialog dengan pihak sekolah. Jadi tidak membuat keputusan sekolah adalah keputusan seumur hidup untuk anak," pungkasnya.
Penulis: Melia Lutfhi Husnika
Editor: Arie Noer Rachmawati