Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Tagar Boikot Trending di Twitter, Berikut Kronologi Gugatan RCTI yang Ancam Kebebasan Live di Medsos

Trending di Twitter hashtag #BoikotRCTI, bagaimana sebenarnya kronologi gugatan RCTI yang mengancam kebebasan publik siaran live di media sosial?

Penulis: Alga | Editor: Sudarma Adi
via Tribunnews.com
Ilustrasi 

Pengajuan uji materi perihal UU Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 1 angka 2 diajukan RCTI dan iNews pada Juni 2020 lalu dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.

Sidang pendahuluan dilakukan pada Senin, 22 Juni 2020, di Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, yang dihadiri kuasa hukum pemohon, dalam hal ini RCTI dan iNews.

Sidang kedua dilakukan pada 9 Juli, dan berlanjut pada sidang ketiga pada 26 Agustus di tempat yang sama.

Pada sidang terakhir, turut hadir perwakilan pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serta Kementerian Hukum dan HAM.

Santi Istri Denny Cagur Kulik Ponsel Suami, Pergoki Ganti Nama Wanita di Ponsel Hani Jadi Herman

Gugatan dan permohonan

Dalam gugatannya, RCTI dan iNews menyoalkan Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran yang berbunyi:

"Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yag bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran."

"Dengan demikian, berbagai macam layanan OTT khususnya yang masuk kategori konten/video on demand/streaming pada dasarnya juga memproduksi konten-konten siaran, sehingga seharusnya masuk ke dalam rezim penyiaran.

Hanya saja, perbedaannya dengan aktivitas penyiaran konvensional terletak pada metode pemancarluasan/penyebarluasan yang digunakan," tulis gugatan tersebut.

RCTI dan iNews juga menilai Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran bersifat ambigu dan menciptakan ketidakpastian hukum.

Dalam Pasal 1 angka 22 UU Penyiaran tertulis:

"Penyiaran adalah (kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran."

"Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet, seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran," kata kuasa hukum pemohon, Imam Nasef, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Senin (22/6/2020) di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal.

Misalnya, dalam melakukan kegiatan penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia, hingga memperoleh izin siaran.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved