Diskusi Islam Moderat Untuk Indonesia Damai: Kupas Wasathiyah Islam hingga Fenomena Islam Internet
Cangkir Opini bersama DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jawa Timur gelar diskusi kebangsaan bertema Islam Moderat Untuk Indonesia Damai.
Penulis: Erwin Wicaksono | Editor: Hefty Suud
Reporter: Erwin Wicaksono | Editor: Heftys Suud
TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Cangkir Opini bersama Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Jawa Timur menggelar diskusi kebangsaan bertema Islam Moderat Untuk Indonesia Damai.
Kegiatan tersebut digelar via aplikasi Zoom pada Kamis (18/2/2021).
Pembahasan membangun literasi Islam Moderat yang bermuara pada perdamaian secara hangat dibahas dalam diskusi kali ini.
Diskusi tersebut menghadirkan beberapa narasumber yang kompeten di bidang moderasi Islam.
Mereka adalah Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI periode 2020-2025, Prof Syafiq A Mughni, M.A; Penulis Buku, Dr Noor Huda Ismail, M.A; terakhir Asisten Stafsus Presiden RI periode tahun 2017 hingga 2019, Dr. Pradana Boy ZTF, M.A.

Jalannya diskusi dipandu oleh Randi S Latulumamina sebagai moderator.
Mengawali diskusi, Syafiq A Mughni menerangkan konsep Wasathiyah Islam. Konsep tersebut mutlak harus dipahami untuk mewujudkan Islam Moderat.
"Ciri-cirinya meliputi keadilan, moderasi, toleransi, keteladanan dan sebagainya. Ini menjadi penting ketika dihadapkan pada perkembangan Indonesia dan Dunia," beber Syafiq.
Syafiq mengkiaskan, Indonesia memerlukan sebuah realisasi penerapan Wasathiyah dalam kehidupan bernegara.
"Negara kita memerlukan pemikiran jernih, Wasathiyah Islam yang akan menjadi wajah Islam di Indonesia. Intinya adalah moderasi harus muncul dari umat Islam," bebernya.
Sementara itu, Dr Noor Huda Ismail memaparkan berbagai fenomena disinformasi tentang Islam yang berimbas pada munculnya tindakan terorisme.
Penulis buku Jihad Selfie Dying For Signifance ini mengungkapkan adanya sebuah kegalauan pemahaman yang menjadi pemicu seseorang terjerumus pada paham radikal.
Noor mencotohkan sebuah fenomena yang terjadi di Suriah dalam sebuah film dokumenter yang ia buat.
"Kebanyakan orang yang masuk ke aliran ekstrimis karena ada kegalauan dalam individu bukan soal teologis," paparnya.