Berita Jatim
Tiga Kali P19, Anak Pengasuh Ponpes Jombang Gugat Kapolda Jatim karena Jadi Tersangka Pencabulan
Sidang gugatan praperadilan yang dilayangkan MSAT anak pengasuh pondok pesantren di Jombang kepada Kapolda Jawa Timur digelar di ruang Tirta 2
Penulis: Firman Rachmanudin | Editor: Januar
Laporan wartawan Tribun Jatim Network, Firman Rachmanudin
TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Sidang gugatan praperadilan yang dilayangkan MSAT anak pengasuh pondok pesantren di Jombang kepada Kapolda Jawa Timur digelar di ruang Tirta 2 Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (13/12/2021) pagi.
MSAT menggugat Kapolda Jatim lantaran telah menetapkannya sebagai tersangka atas pencabulan dan kekerasan seksual terhadap santriwatinya.
Dalam sidang itu, MSAT menghadirkan tiga orang sebagai saksi.
Ketiganya yakni, Aji dan Basyit yang merupakan santri, serta dr. Ngesti Lestari, ahli dari forensik Universitas Brawijaya Malang.
Saksi Basyit yang dimintai keterangan pertama menjelaskan, bahwa dirinya mengaku mengenal M yang diduga menjadi korban kekerasan seksual atau pencabulan yang dilakukan oleh pemohon MSAT.
"Saya mengenal M, sekitar tahun 2016 saat dihalaman pesantren dan waktu itu dikenalkan oleh penjual es, tapi hanya sekedar menyapa saja dan tidak akrab," ucapnya.
Disinggung dirinya pernah diminta mengantarkan saksi Aji menemui M oleh MSAT, saksi mengaku tidak pernah, dan menyatakan juga tidak pernah melihat MSAT dengan korban berduaan di Gubuk Cokro yang berada di Desa Puri.
"Saya tidak pernah melihat beliaunya berada di gubuk berduaan dengan L, ditempat lain juga tidak pernah melihatnya," saksi Basyit yang mengaku sudah 20 tahun menjadi santri.
Namun saat ditanya terkait hal pemeriksaan di Polres Jombang, saksi mengaku sudah pernah diperiksa sekali, dan lupa pertanyaan yang diajukan oleh penyidik.
" Lupa, ditanyakan terkait yang bapak (pemohon) tanyakan kesaya, masalah Mas Subchi," ungkapnya.
Saat ditanya terkait kolam Muhammad, yang awal akan dijadikan ritual penyembuhan bagi pelaku koruptor, saksi mengaku mengetahui karena dirinya sebagai relawan pembangunan.
"Saya tahu kolam Muhammad, karena dulu saya sebagai relawan pembangunan, tapi fungsinya untuk apa saya tidak tahu. Disana juga terdapat kolam ikan yang digunakan untuk ritual (berendam) bagi santri, untuk membersihkan sifat nakalnya," ucapnya lebih lanjut.
"Digubuk Cokro juga sering diadakan pengajian dan yang memimpin doa adalah Mas Subchi, tapi sekarang sudah lama tidak digunakan," paparnya.
Sementara Aji saat dimintai keterangannya mengatakan, dirinya mengenal korban M saat adanya rekrutmen tenaga kesehatan program dari pemohon.
" Saya mengenal M waktu ada program rekrutmen tenaga medis kesehatan," katanya.
Saksi menceritakan, pada 2015 tersebut, pesantren S yang diasuh oleh ayah MSAT membutuhkan tenaga medis kesehatan, sehingga dilakukan rekrutmen dan korban M satu dari 10 orang yang akan direkrut.
"Itu program dari Mas Subchi, waktu itu butuh tenaga kesehatan sehingga dilakukan wawancara kepada 10 santri yang bersedia. Saya sendiri sebagai ketua dan penanggung jawab." Ungkapnya.
Wawancara itu dilakukan secara terbuka di teras gubuk Cokro.
Selain tim yang berjumlah 15 orang, wawancara juga dilakukan langsung oleh MSAT kepada 10 santri yang akan direkrut menjadi tenaga kesehatan.
"Wawancara dimulai dari pukul 07.00 WIB, hingga menjelang Dzuhur, dan dilakukan diteras bukan didalam kamar, gubuk. Saya juga melihat Mas Subchi wawancara dengan M tapi ya didepan," imbuhnya.
Disinggung apakah dirinya pernah diperlihatkan ponsel korban M oleh penyidik yang diduga adanya chating dengan pemohon MSAT, saksi mengaku tidak pernah ditunjukan.
Saksi juga mengaku, bahwa dibukanya terapi kesehatan di Gubuk Cokro Puri yang berjarak sekitar 7-8 KM dari pusat (Pondok) karena di Puri masyarakatnya masih banyak yang tertinggal.
"Disana kan masyarakatnya masih tertinggal dan masih banyak yang miskin, makanya dibuka disana. Selain pasien pria juga menerima pasien perempuan, saya juga ikut menerapi (perempuan) kalau Mas Bechi tidak pernah hanya mengarahkan," ujarnya lebih lanjut.
Sementara pasca wawancara yang dilakukan menjelang Idul Fitri itu, lima calon tenaga kesehatan yang dinyatakan memenuhi syarat, saat pulang tidak pernah kembali juga susah dihubungi.
"Setelah pulang Idul Fitri , mereka menghilang termasuk M, saat dihubungi HP nya juga tidak aktif," pungkasnya.
Aji juga sama sekali tidak mengetahui apakah MSAT telah melakukan perbuatan seperti yang dilaporkan oleh M ke polisi.
Sementara itu, dr. Ngesti Lestari ahli forensik dari Universitas Brawijaya Malang dalam keterangannya mengatakan, bahwa forensik atau visum merupakan tindakan medis sebagai alat bukti yang sah, atas peristiwa kekerasan.
"Semua dokter boleh membuat visum, baik itu dokter ahli ataupun dokter umum," ucapnya.
Terkait robeknya selaput darah seeprti hasil visum, Ngesti mengaku semua wanita bisa mengalami hal tersebut, meski tidak dengan dilakukan persetubuhan.
" Wanita yang bergerak dengan berlebihan atau terjatuh bisa robek, dan kalau terjadinya persetubuhan robeknya sampai ke dasar." Pungkasnya.
Usai sidang, Setijo Busono selaku tim kuasa pemohon mengatakan, gugatan pra peradilan yang diajukan kepada Polda Jatim, karena penetapan tersangka terhadap MSAT yang sudah berjalan 2 tahun namun belum P21.
Bahkan, Setijo menyebut, Jaksa telah tiga kali melakukan pengembalian berkas hingga adanya koordinasi internal sebanyak tiga kali pula.
"Penetapan tersangka itu harusnya dilengkapi oleh dua alat bukti, sehingga kami dan tim mengakaji adanya fakta bahwa P19 yang dilakukan oleh penuntut umum yang isinya meminta untuk dilengkapi," ujar Busono.
Dilakukanya P19 hingga 3 kali yang dilanjutkan dengan rapat koordinasi dan konsultasi hingga tiga kali juga, membuat MSAT tak mendapat kepastian hukum terkait statusnya.
"Kami tidak tahu terkait detail penyidikannya karena saya bukan penasehat hukumnya. Namun dari berkas yang saya ketahui terkait P19 hingga tiga kali itu, sehingga kami uji disini," tambahnya.
"Kami juga menyertakan Kejati Jatim turut termohon karena jaksa ini yang melakukan koordinasi dan konsultasi dengan penyidik dan mereka yang membuat P19 dan memberikan petunjuknya." ujarnya lebih lanjut.
Praperadilan sendiri ditempuh oleh pemohon karena atas dilakukannya P19 hingga tiga kali dan adanya peraturan bersama antara Mabes Polri, Jaksa Agung, Mahkamah Agung dan Kemenkumham tahun 2010 nomor 4, apabila dilakukan P19 berulang ulang dalam lampiran ke-8.
"Kalau itu tidak dilaksanakan, maka ada sanksinya. Jadi wajar kalau kami lakukan uji peraturan tersebut, karena hingga saat ini peraturan itu hingga saat ini belum dicabut," tandasnya.
Kumpulan berita Surabaya terkini