Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Entertainment

Sosok Gadis yang Pernah Dipeluk Nike Ardila, Ternyata Keluarga Orang Paling Berkuasa saat Itu

Inilah sosok gadis yang pernah dipeluk Nike Ardila. Ternyata gadis itu merupakan keturunan keluarga orang paling penting di Indonesia saat itu.

|
Editor: Januar
Kolase TribunStyle
Gadis yang dipeluk Nike Ardilla ini adalah sosok cucu mantan presiden Soeharto yang sempat jadi model dan penyanyi namun memilih fokus menjadi konglomerat. 

TRIBUNJATIM.COM- Inilah sosok gadis yang pernah dipeluk Nike Ardila.

Ternyata gadis itu merupakan keturunan keluarga orang paling penting di Indonesia saat itu.

Bahkan, dia juga pernah mengisi lagu sebuah sinetron.

Sementara itu, sosok Nike Ardilla menjadi salah satu diva paling terkenal di tahun 90-an.

Sosoknya bahkan dijuluki sebagai 'Ratu Rock Indonesia' dan 'Ratu Pop Remaja Indonesia' di eranya.

Parasnya yang cantik dan sosoknya yang ramah membuat banyak orang jatuh cinta pada Nike Ardilla.

Dilansir dari TribunStyle, di dunia hiburan, Nike Ardilla dikenal sebagai sosok yang supel dan memiliki banyak teman.

Beberapa di antaranya adalah penyanyi Melly Goeslaw, Tessa Mariska dan Eno Sigit.

Nike Ardilla telah berteman dengan Melly Goeslaw sejak kecil, sedangkan Tessa Mariska pernah menjadi teman mainnya dalam salah satu sinetron.

Selain itu, ada juga sosok Eno Sigit yang merupakan cucu Presiden Soeharto menjadi teman dekat Nike.

Baca juga: Sosok Artis yang saat Kecil Hidupnya Pas-pasan, Kini Namanya Sudah Tenar, Dinikahi Konglomerat

Eno Sigit, cucu presiden Soeharto berteman dengan Nike Ardilla.

Sosok Eno Sigit juga memiliki pesona yang tak kalah menarik dari Nike Ardilla.

Perempuan bernama lengkap Retnosari Widowati Harjojudanto sukses menjadi model dan pernah merilis sebuah lagu berjudul Jatuh Cinta.

Ia berduet dengan Harry de Fretes dan lagunya kemudian digunakan sebagai soundtrack Keluarga Cemara 2.

Meski hidup di dunia artis, Eno Sigit nampak tak ingin muncul aktif di depan layar.

Lagu Jatuh Cinta yang ia nyanyikan pun menjadi rilisan pertama dan terakhir untuknya.

Cucu presiden Soeharto ini memilih untuk menggeluti dunia bisnis seperti keluarga besarnya.

Dalam perjalanan hidupnya, Eno Sigit pernah dikaitkan dengan kabar kematian Nike Ardilla.

Namun tudingan Eno memiliki rencana buruk pada Nike Ardilla tidak terbukti.


Kehidupan Eno Sigit

Menjadi cucu mantan presiden Soeharto mau tak mau membuat Eno Sigit menjadi salah satu konglomerat di Indonesia.

Eno kini membawahi Grup Mahardika dan mengelola sejumlah bisnis properti, transportasi, dan telekomunikasi.

Selain itu, Eno Sigit mengelola bisnis hiburan di bawah PT Visi Mata Seni (VMS).

Ia juga telah mengakuisisi sekolah Pumpkins International Preschool pada 2010 lalu.

Eno Sigit kemudian menikah dengan Fahmi David pada 22 Septermber 2022 dan sekaligus menjadi ibu dari empat anak.

Ada juga sosok lainnya yang menarik untuk diketahui sisi kehidupannya yang tak begitu tampak.

Sosok Christine Ay Tjoe menjadi sorotan setelah karyanya berhasil dilelang bernilai miliaran rupiah di Singapura.

Karya pelukis asal Bandung yang dimaksud yakni 'The Team of Red' yang dilelang Balai Sothebys Asia di Singapura, Minggu (2/7/2023).

Begitu fantastis, harga lelangnya yaitu berkisar antara Rp7,2 sampai Rp14,5 miliar.

Lantas seperti apa sosok Christine Ay Tjoe?

Melansir Tribun Jabar, Christine Ay Tjoe merupakan pelukis kelahiran Bandung, 27 September 1973.

Ia juga dikenal sebagai seniman kontemporer berbakat di Indonesia yang menguasai berbagai media seperti di kanvas, kertas, patung, hingga instalasi besar.

Kepiawaiannya dalam seni lukis membawanya lulus sebagai Sarjana di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung pada tahun 1997.

Setelah lulus, Christine Ay Tjoe mulai meniti kariernya sebagai asisten perancang busana sebelum aktif berkarya sebagai seniman.

Ia membuka eksibisi solo pertamanya di Redpoint Gallery, Bandung, dengan judul 'Buka untuk Melihat' pada tahun 2001.

Pada tahun 2007, Christine Ay Tjoe mendapatkan penghargaan sebagai pemenang lima besar Philips Morris Indonesia Awards.

Di tahun yang sama, karya Christine Ay Tjoe berjudul 'Small Flies and Other Wings' pernah terjual dengan harga 11,7 juta dolar Hong Kong atau berkisar Rp22,5 M.

Selama berkarya menjadi seniman, Christine Ay Tjoe tidak hanya membuka pameran di Indonesia.

Ia pernah membuka eksibisi solo di Amerika Serikat, Hong Kong, Singapura, Inggris, China, hingga Korea Selatan.

Christine Ay Tjoe juga adalah pembuat rekor di dunia seni sebagai perempuan Indonesia pertama yang menggelar eksibisi tunggal bersama White Cube di negara Inggris.

Tak hanya itu, Christine Ay Tjoe juga pernah mengikuti berbagai pameran seni ternama di dunia.

Seperti Singapore Art Museum (2012); Royal Academy of Arts, London (2017); hingga Asia Society Triennal, New York (2020).

Namanya pun menjadi salah satu seniman yang diperhitungkan di Asia Tenggara.

Berikut beberapa penghargaan yang pernah didapatkan oleh Christine Ay Tjoe:

• Lima besar Philips Morris Indonesia Art Award (2007)

• Penghargaan atas pameran tunggal Interiority of Hope (2008)

• SCMP Art Futures Prize Winner, Hongkong Art Fair (2009)

• Prudential Eye Awards (2015)


Kisah seniman wanita yang juga menginspirasi lainnya juga datang dari sosok Shamsia Hassani.

Dia tercatat sebagai seorang wanita seniman jalanan pertama Afganistan yang terkenal dengan polesan grafitinya.

Ia mencurahkan semua emosinya tentang negerinya dalam karya seni yang indah, meski di baliknya tersimpan pilu yang mendalam.

Ada rasa takut dan khawatir yang menyelimuti benaknya ketika Taliban memegang kendali atas negara tempat kelahirannya.

Shamsia Hassani mencoba untuk mengungkapkan perhatiannya pada kaum wanita yang selalu berada dalam dominasi laki-laki seiring dengan kembalinya kekuasaan Taliban.

Ia mengubahnya menjadi serangkaian seni lukis jalanan yang memilukan, lalu menerbitkannya ke akun media sosial miliknya.

Seniman jalanan wanita pertama di Afganistan ini pernah menjadi pengungsi di Iran pada tahun 1998 saat Taliban masih memegang kekuasaan di Afganistan.

Selama di pengungsian, ia bertekad bahwa suatu hari nanti ingin membuat pencapaian dengan menciptakan karya seni seperti grafiti, ataupun mural yang mewakili perasaannya.

Sekembalinya dari pengungsian, pada tahun 2005, ia pun memulai untuk mewujudkan tekadnya ini di Afganistan.


Selesai mengadakan acara gelar seni rupa di Universitas Kabul, ia mulai menapaki awal impiannya dengan jadi dosen seni rupa dan patung.

Dari situlah ia mulai mengenalkan karya-karya seniman jalanannya, yang di antaranya bercerita tentang nasib perempuan kepada publik.

Aktivitasnya ini menjadi pusat perhatian, bahkan menuai pujian secara internasional.

Ia dicatat sebagai contoh dari generasi baru wanita Afganistan.

"Di masa lalu, wanita dikeluarkan dari masyarakat dan mereka ingin wanita hanya tinggal di rumah dan ingin melupakan wanita."

"Sekarang, saya ingin menggunakan lukisan saya untuk mengingatkan orang tentang perempuan," ungkapnya dalam sebuah wawancara pada tahun 2013, melansir National Geographic.

"Saya telah mengubah citra saya untuk menunjukkan kekuatan wanita. Dalam karya seni saya, ada banyak gerakan."

"Saya ingin menunjukkan bahwa perempuan telah kembali ke masyarakat Afganistan dengan bentuk baru yang lebih kuat."

"Bukan wanita yang tinggal di rumah. Ini adalah wanita baru. Seorang wanita yang penuh energi, yang ingin memulai lagi."

"Anda dapat melihat bahwa dalam karya seni saya, saya ingin mengubah bentuk wanita. Saya melukis mereka lebih besar dari kehidupan nyata."

"Saya ingin mengatakan bahwa orang-orang melihat mereka secara berbeda sekarang," demikian tekadnya.

Namun melihat situasi Afganistan saat ini, keadaan perempuan kembali genting.

Shamsia Hassani menuangkannya dengan warna-warna lukisan yang baru.

Seperti contoh dalam lukisannya berjudul 'Death to Darkness' dan 'Nightmare' yang sangat jelas sekali menunjukkan ungkapan perasaannya yang terdalam.

Dia melihat apa yang akan terjadi pada nasib perempuan di bawah kekuasaan Taliban.

Dalam salah satu karyanya, ia menggambarkan Taliban sebagai warna kegelapan, hitam, yang menyelimuti dalam bentuk sosok seram dan mengancam.

Sedangkan sosok yang mewakili wanita dalam karyanya ia melukiskannya dengan busana berwarna biru, berjilbab, dan membawa bunga dalam pot hitam.

Tampak bunga dandelion yang melayang tertiup angin, yang mengisyaratkan sebuah keinginan yang tertiup jauh keluar jangkauan.


Shamsia Hassani akan terus menerbitkan karya-karya barunya.

Ia berharap, suara hati dalam gambarnya itu dapat didengar oleh banyak orang.

Dia juga bercita-cita untuk dapat mewujudkan impiannya tentang nasib masa depan kaum wanita Afganistan.

 

 


Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

 

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved