Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Pilu Ciuman Perpisahan Ayah Keluarga Lompat Bersama di Apartemen, Semua Jatuh dengan Kondisi Terikat

Lewat rekaman kamera CCTV, polisi mengetahui gerak-gerik mereka sebelum melompat. Mereka dengan sengaja naik ke lantai 22 apartemen tersebut.

KOMPAS.com/RIZKY SYAHRIAL
Kondisi apartemen setelah kejadian sekeluarga lompat di Penjaringan, Jakarta Utara. Sang ayah yang berinisial EA sempat mencium istrinya AIL dan kedua anaknya, JWA dan JL, saat hendak masuk lift. 

"Ingat, pada kejadian yang menyedihkan dan mengerikan itu ada dua orang anak-anak," ucap Reza dalam keterangannya kepada Kompas.com, Senin (11/3/2024).

Seperti diketahui, satu keluarga berinisial EA (51), AIL, JWA (13), dan JL (18), bunuh diri dengan terjun dari lantai 22 apartemen pada Sabtu (9/3/2024).

Lebih lanjut Reza menjelaskan, empat orang itu baru bisa dikatakan bunuh diri bersama-sama hanya jika bisa dipastikan bahwa ada kehendak dan kesepakatan (konsensual) bersama untuk melakukan perbuatan sedemikian rupa.

"Implikasinya, anggapan bahwa anak-anak berkehendak dan bersepakat, dalam peristiwa semacam ini serta-merta gugur," ucap Reza.

Baca juga: Nasib Mujur Rochmadi Dapat Rp 10 Juta dari Bersihkan Makam, Tak Ada Tarif, 29 Tahun Gantikan Kakak

Dalam situasi apa pun, ucap Reza, anak-anak secara universal harus dipandang sebagai manusia yang tidak memberikan persetujuannya bagi aksi bunuh diri.

Hal ini, kata dia, sama jika dianalogikan dengan kekerasan seksual yang mana anak-anak harus selalu didudukkan sebagai individu yang tidak ingin dan tidak bersepakat melakukan aktivitas seksual.

Terlepas apakah anak-anak pada peristiwa itu mau atau tidak mau untuk bunuh diri, Reza berujar, tetap mereka harus diposisikan sebagai orang yang tidak mau dan tidak setuju.

"Aksi terjun bebas tersebut, dengan demikian, mutlak harus disimpulkan sebagai tindakan yang tidak mengandung konsensual," ucap Reza.

Karena tidak konsensual, Reza menilai, maka anak-anak itu harus disikapi sebagai manusia yang tidak berkehendak dan tidak bersepakat, melainkan dipaksa untuk melakukan aksi ekstrem tersebut.

Atas dasar itu, anak-anak itu sama sekali tidak bisa dinyatakan melakukan bunuh diri. Karena mereka dipaksa melompat, ucap Reza, maka mereka justru korban pembunuhan.

"Pelaku pembunuhannya adalah pihak yang harus diasumsikan telah memaksa anak-anak tersebut untuk melompat sedemikian rupa," kata dia.

Kendati kejadian tersebut berubah menjadi bunuh diri dan pembunuhan, polisi tidak bisa memrosesnya lebih lanjut karena terduga pelaku sudah tewas.

Pasalnya, kata dia, Indonesia tidak mengenal posthumous trial atau proses pidana terhadap pelaku yang sudah mati.

Namun, Reza menenkankan bawa dalam pendataan polisi, peristiwa memilukan itu seharusnya tetap dicatat sebagai kasus pidana.

"Yakni terkait pembunuhan terhadap anak dengan modus memaksa mereka untuk melompat dari gedung tinggi," tutur Reza.

Sumber: Kompas.com
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved