Hikmah Ramadan
Ramadan dan Penguatan Ketahanan Keluarga di Era Digital
Pada bulan Februari 2024 lalu Badan Pusat Statistik kembali merilis data kependudukan Indonesia tahun 2023, termasuk angka kasus perceraian.
Terdapat empat pilar penting yang menopang terwujudnya ketahanan keluarga adalah religi dan spiritual, kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan, dan keadilan. Pemahaman dan perilaku beragama menjadi pilar pertama yang perlu dimiliki keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa menikah dan membangun keluarga harus dilandasi niat beribadah, wawasan pengetahuan agama dan kebiasaan beribadah yang baik dan istiqomah.
Sangu utama tersebut sangat penting untuk menguatkan mentalitas pasangan dalam menjalani dinamika, fluktuasi dan romantika kehidupan berkeluarga yang sangat menantang. Pengetahuan agama dan kebiasaan beribadah akan sangat membantu pasangan dalam menjalani amanah pernikahan dengan penuh keimanan dan rasa syukur pada Allah. Segala persoalan yang dihadapi akan “dikonsultasikan” dan dimunajatkan pada Allah SWT dan segala kondisi akan dihadapi sikap acceptance atau nrimo.
Tiga pilar lainnya yaitu kesejahteraan baik ekonomi maupun psikologis, keamanan dan kenyamanan serta keadilan dapat diwujudkan dengan kerja keras, kerja cerdas dan pola komunikasi yang bijak dan penuh respek. Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi keluarga, tentu suami sebagai iman dan pemimpin keluarga perlu menunjukkan ikhtiyar terbaik untuk menjemput rizki dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan keluarganya dengan sebijak mungkin.
Istri dapat mendukung usaha suami dengan usaha yang positif disertai pola komunikasi yang sehat dan respectful. Disamping cara-cara yang digunakan bersifat halal, baik dan legal, pengelolaan dan pemanfaatan rizki juga harus mengikuti ketentuan agama.
Budaya konsumtif, hedonis, maniak barang bermerk, persaingan antar individu dan kebiasan flexing atau pamer kekayaan melalui media sosial menjadi salah satu tantangan kehidupan keluarga di era digital.
Tantangan yang hanya dapat dihadapi dengan pemikiran sehat dan waras bahwa flexing hanya kesenangan sesaat namun akan menjadi candu yang tak berkesudahan. Pelakunya tidak akan pernah puas, terus tertantang dan menjadi pribadi yang kurang sejahtera secara psikologis.
Pasangan suami istri perlu memiliki mindset bahwa rizki adalah karunia dan amanah dari Allah SWT perlu dimanfaatkan menjadi infrastruktur ibadah untuk mencapai kesejahteraan hakiki berupa keberkahan keluarga dan Ridho Ilahi. Jangan sampai harta yang berlimpah menjadi boomerang bagi pasangan, memicu pertengkaran apalagi perpisahan.
Pilar keamanan, kenyamanan dan kedilan nampaknya lebih banyak bertumpu pada pola komunikasi antar pasangan dan anggota keluarga. Proses komunikasi yang penuh respek akan menguatkan ketahanan keluarga. Keluarga yang membangun pola komunikasi saling terbuka, memberikan kesempatan anggotanya untuk menyampaikan pendapat secara terbuka, memberikan respon emptik dan respek akan menghadirkan kehangatan dan kenyamanan.
Banyak ahli menyebutkan bahwa sebagian besar kehidupan berkeluarga berupa proses komunikasi. Hal ini melibatkan upaya untuk saling memahami, menghargai, dan berempati terhadap keunikan pasangan. Hal ini relevan dengan pandangan yang menyatakan bahwa sejatinya, pernikahan adalah persandingan dua pribadi yang berbeda baik pandangan, kebiasaan maupun karakter. Kedua pribadi berkompromi atas dasar cinta dan kasih yang membuat keduanya saling menerima dan menghormati kekurangan masing-masing. Tentu diperlukan proses penyesuaian yang terus menerus sepanjang kehidupan pernikahan.
Konflik dapat tersulut mana kala salah satu memiliki cara pandang, sikap dan perilaku yang berbeda pada pasangannya. Teori konseling Analisis Transaksional yang dicetuskan Eric Berne dapat digunakan untuk menganalisis kondisi ini. Terdapat tiga pola relasional yang mungkin terjadi yaitu (1) I am Ok- You are Ok, (2) I am Ok-You are Not Ok dan (3) I am not Ok-You are Ok. Pola relasi pertama akan melahirkan relasi penuh hormat, respek dan empati karena masing-masing memandang pasangannya secara positif. Pola relasi tidak seimbang terjadi pada pola kedua dan ketiga, pada pola ketiga salah satu bersikap superior sehingga berpotensi memunculkan sikap merendahkan, melecehkan dan tidak menghormati pasangan, sedangkan pada pola ketiga berupa sikap inferior atau rendah diri pada salah satu pasangan.
Pola komunikasi yang kurang empatik dan respek akan menjadi bom waktu yang mengancam ketahanan keluarga. Persoalan sepele seperti kebiasaan menaruh handuk basah, rasa makanan, cara menata meja makan, memasak sayur, menu makanan hingga soal perbedaan kebiasaan sehari-hari, kerap menjadi biang masalah antara suami dan istri.
Ketidakcocokan kecil meluas manakala tindak tanduk salah satunya menjadi bahan gosip yang kemudian meluas hingga terdengar oleh banyak orang. Masalah ini tidak saja rentan terjadi pada perkawinan antar ras atau suku, perkawinan dalam konteks budaya yang samapun tidak bebas dari masalah ini.
Pembenahan pola komunikasi antar pasangan bahkan penguatan ketahanan keluarga menemukan momentumnya di bulan Ramadhan. Banyak sekali hikmah ramadhan yang dapat digapai oleh keluarga-keluarga muslim Indonesia bahkan di seluruh dunia untuk mengokohkan relasi kasih sayang di dalam keluarga.
Momentum Ramadan dan Ketahanan Keluarga
Banyak ahli menyarankan agar komunikasi keluarga dibangun dengan cara menguatkan komitmen, kejujuran dan rasa saling menghargai, saling mengendalikan diri, dan sering meluangkan waktu untuk bersama. Cinta dan kasih sayang harus dipupuk melalui kebersamaan yang indah dan komunikasi yang saling menghargai. Momen kecil makan bersama adalah kebiasan positif yang perlu dibiasakan. Begitu saran para ahli.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.