Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Umur 7 Tahun Tak Bisa Jalan, Nadila Anak Pungut Pemulung Tinggali Gubuk Reyot, Ibu Nangis Tiap Hari

Inilah kisah Nadila, anak seorang pemulung atau pencari rongsokan dan pembantu rumah tangga. Nadila kini berusia 7 tahun.

Penulis: Ani Susanti | Editor: Mujib Anwar
KOMPAS.COM/TAUFIQURRAHMAN
Umur 7 Tahun Tak Bisa Jalan, Nadila Anak Pungut Pemulung Tinggali Gubuk Reyot, Ibu Nangis Tiap Hari 

TRIBUNJATIM.COM - Inilah kisah Nadila, anak seorang pemulung atau pencari rongsokan dan pembantu rumah tangga.

Nadila kini berusia 7 tahun.

Namun ia belum bisa berjalan.

Kehidupan Nadila pilu lantaran ia tinggal di gubuk reyot.

Nadila diketahui juga belum bisa berbicara layaknya anak pada umumnya.

Tiap hari ia digendong oleh ibu angkatnya, Umi Kalsum karena di usia 7 tahun ia belum juga mampu berjalan.

"Nadila ini lahir kembar yang saya pungut dari kakak saya. Saudara kembarnya saat ini sudah sekolah kelas 1 SD. Nadila sendiri sejak usia 3 tahun sudah mengalami gangguan saraf hingga tidak bisa bicara dan berjalan," kata Umi Kalsum saat ditemui di rumahnya, Rabu (8/5/2024), melansir dari Kompas.com.

Umi Kalsum tinggal berempat di sebuah gubuk tua yang sudah nyaris roboh.

Muhammad Ikhwan, suaminya bekerja sebagai pencari rongsokan.

Anak kandungnya, Camelia Agustin (15) sudah duduk di bangku SMP kelas VII.

Baca juga: Tinggal di Gubuk Reyot, Mbah Hotipah & Putriya Tak Tersentuh Bansos, Takut Rumahnya Roboh: Tabah

Penghasilan keluarga ini tak menentu.

Kadang seminggu Rp 50.000.

Sedangkan Umi sendiri, jadi pembantu rumah tangga panggilan.

Tinggal di sebuah rumah yang sudah reyot, membuat keluarga ini selalu dihantui ketakutan.

Genting-gentingnya mulai berjatuhan.

Kayu-kayu penyanggah genting dan dinding banyak yang lapuk. Bahkan ada yang sudah patah.

"Yang paling menakutkan, saat hujan dan angin. Rumah ini seperti mau roboh karena sambil goyang-goyang," ujar Umi.

Baca juga: Mbah Jumadi Tinggal di Gubuk Rapuh, Tak Bisa Kerja Tapi Anak Ingin Jadi Tentara, Makan dari Tetangga

Pada bagian atap yang bolong, saat panas, cahaya matahari masuk ke dalam ruangan.

Saat hujan, air masuk membasahi ruangan.

"Kalau hujan, airnya saya tadahi pakai ember agar tidak membanjiri kamar," terang Umi.

Sehari-hari, Umi selalu dirundung kesedihan dan tangisan melihat kondisi rumahnya. Kondisi ekonomi yang minus, belum mampu memperbaiki rumahnya.

"Sudah berkali-kali pemerintah desa mengajukan bantuan ke pemerintah kabupaten, tapi mungkin karena belum rejeki saya sehingga belum ada sampai sekarang," ungkapnya.

Selain bertahan di gubuk reyot, Umi dan suaminya masih punya beban merawat anak angkat.

Mereka mengangkat anak dari saudaranya yang punya anak kembar.

Namun setelah anak angkatnya berusia 3 tahun, mulai ada kelainan fisik.

Setiap hari kalau menangis, sulit untuk dihentikan.

"Anak angkat saya Nadila ini, dulu kalau nangis berjam-jam karena sulit untuk dihentikan," kenang Umi.

Berdasarkan petunjuk tetangganya, Nadila dibawa ke tukang pijat.

Namun tidak mampu menyembuhkan kebiasaan menangisnya.

Bahkan berpindah-pindah tukang pijat, juga tidak sembuh.

Akhirnya, Nadila dibawa ke rumah sakit dan dokter memvonis bahwa ada kerusakan saraf pada tubuh Nadila.

Kerusakan saraf itu berdampak pada perkembangan fisik yang menyebabkan Nadila tidak bisa bicara dan tidak bisa berjalan alias lumpuh.

Baca juga: Sering Kena PHK Perusahaan, Iwan Terpaksa Tinggal di Gubuk Tengah Kebun Jati Bareng Anaknya: Musibah

Pemerintah Desa Murtajih, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, telah membantu keluarga Umi sebagai penerima program bantuan Pendamping Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial RI. Bahkan dapat tambahan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT).

Sekretaris Desa Murtajih, Sudahnan membenarkan bahwa rumah Umi sudah diajukan untuk mendapatkan bantuan rumah tidak layak huni ke pemerintah Kabupaten Pamekasan. Namun sampai saat ini belum ada informasi.

"Ekonomi keluarga Umi ini sangat memprihatinkan. Bantuan rehab rumah yang kami ajukan belum terealisasi sampai rumahnya mau ambruk ini," kata Sudahnan.

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) Kabupaten Pamekasan, Muharram meminta agar pihak desa mengajukan ulang. Untuk anggaran tahun ini sudah ada calon penerimanya. Kemungkinan, akan dimasukkan dalam perubahan anggaran.

"Kami upayakan dalam Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) 2024 rumah Umi bisa dapat bantuan," ujar Muharram.

Baca juga: Nasib Kakek Sebatang Kara di Bojonegoro Tinggal di Gubuk, Lama Menghilang Ditemukan Mengenaskan

Sebelumnya juga viral kisah dua nenek yang tinggal di Desa Brakas Dajah, Desa Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

Nenek tersebut bernama Putriya (70) dan Hotipah (64).

Tempat tinggal mereka adalah sebuah gubuk reyot sebesar 7x7 meter dan hanya berlantai tanah.

Setiap malam, mereka tidur hanya beralaskan tikar. 

Tempat tidur mereka pun jadi satu dengan tempat memasak.

Selama puluhan tahun, mereka bertahan dalam keterbatasan di Desa Brakas Dajah, Desa Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep.

Meski kondisi keduanya memprihatinkan, dua nenek itu luput dari perhatian pemerintah setempat.

Nenek bersaudara itu mengaku tak pernah sekali pun menerima bantuan sosial (Bansos) baik dari pemerintah daerah Kabupaten Sumenep atau pun dari pemerintah pusat.

"Sejak dulu sampai sekarang saya tidak pernah mendapatkan bantuan (sosial) dari pemerintah. 

Biasanya bantuan dari warga sekitar," kata Hotipah di kediamannya, Senin (22/4/2024).

Derita nenek Hotipah dan Putriya berlanjut saat hujan datang. 

Atap gubuk reyotnya tak sanggup menahan air hingga menyebabkan kebocoran.

Keduanya selalu dihantui rasa khawatir atas ketahanan tempat tinggal yang mereka tempati.

Gubuk reyot berukuran 7x7 juga tak sempurna. 

Penyangga hingga dinding yang terbuat dari bambu terlihat bolong dan rapuh.

"Kalau angin kencang selalu khawatir takut roboh," kata dia.

Baca juga: Dulu Artis Nekat Nikahi Pesepakbola Miskin, Tak Malu Suami Tinggal di Gubuk, Hidup Kini Beda Drastis

Kendati hidup dalam keterbatasan, keduanya tetap menunjukkan ketabahan yang luar biasa. 

Keduanya tetap berusaha bekerja semampunya untuk bisa bertahan hidup.

Mereka berdua harus mengandalkan bekerja sebagai buruh tani, yang upahnya sangat minim.

Bahkan, biasanya mereka hanya mendapatkannya jika ada warga yang membutuhkan bantuan di ladang.

"Kalau ada tentangga minta tolong agar sawahnya dibabat atau bantu memanen padi, saya bantu. 

Biasanya langsung dikasih upah," tuturnya.

Hotipah mengaku, ia hanya hidup berdua dengan Putriya. 

Anggota keluarga yang lain sudah meninggal dunia dan beberapa lagi memilih merantau ke luar daerah.

Mereka mengaku sudah lama tak saling bertukar kabar.

"Semoga pemerintah masih peduli dengan nasib orang-orang seperti kita," pungkasnya.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved