Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Sosok 7 Teroris yang Dikaitkan dengan Jamaah Islamiyah, ada Aktor Bom Bali Hingga Bom di Jakarta

Deretan 7 teroris yang penah dikaitkan dengan Jamaah Islamiyah (JI). JI sendiri punya serangkaian sejarah panjang yang dikaitkan dengan sejumlah aksi

Editor: Torik Aqua
Istimewa/ via Tribun Lampung
Ilustrasi Densus 88 - Simak deretan sosok teroris yang dikaitkan dengan organisasi Jamaah Islamiyah 

TRIBUNJATIM.COM - Deretan 7 teroris yang penah dikaitkan dengan Jamaah Islamiyah (JI).

JI sendiri punya serangkaian sejarah panjang yang dikaitkan dengan sejumlah aksi teror di Indonesia.

Hingga akhirnya JI resmi membubarkan diri, Minggu (30/6/2024).

Sepanjang periode 2000 hingga 2009 lalu, salah satu teror bom terkait JI dengan korban terbesar di Indonesia adalah Bom Bali I, pada 13 Oktober 2002.

Baca juga: Melihat Rumah Terakhir Gembong Teroris Noordin Mohd Top di Mojosongo Kota Solo

Sebagai informasi, sejumlah tokoh dan anggota senior JI resmi membubarkan organisasi mereka pada Minggu (30/6/2024).

Pembubaran JI diikuti deklarasi kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembubaran diri ini dipimpin langsung Abu Rusdan, pria yang dikenal sebagai pemimpin atau amir JI.

Abu Rusdan memimpin JI setelah organisasi itu ditinggalkan dua pendirinya, Abdullah Sungkar yang meninggal pada 1999, serta Abu Bakar Baasyir yang mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada 2000.

Salah satu tokoh senior Jamaah Islamiyah yang turut dalam deklarasi pembubarkan diri JI, Abu Fatih membantah teror bom bagian dari kebijakan organisasinya.

Menurut dia, JI tidak pernah atau belum pernah mengeluarkan fatwa tentang keabsahan jihad di Indonesia, apalagi memberikan perintah melawan aparat atau pemerintah.

"Dalam pengadilan, mereka (para pelaku Bom Bali) memang bisa disimpulkan menjadi splinter JI. Artinya menyempal, buat kelompok sendiri, menyempal, dan bawa misi sendiri yang berbeda dengan JI," ujar Abu Fatih saat diwawancara Kompas.com, Rabu (17/7/2024).

Meski dibantah menjadi bagian dari kebijakan organisasi JI, beragam aksi teror di Indonesia kerap melibatkan anggota, bahkan ada menjadi sosok penting di tubuh organisasi JI.

Mereka di antaranya Imam Samudra, Ali Gufron alias Mukhlas, dan Amrozi. Anggota JI lainnya juga tercatat terlibat sebagai dalang insiden pengeboman adalah Azahari bin Husin dan Noordin M Top.

Secara ideologi, Jamaah Islamiyah memang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir sebagai "pewaris" Darul Islam.

Berdiri pada 1 Januari 1993, JI bercita-cita untuk menegakkan negara Islam di Indonesia dan mengadopsi pemikiran Islam konservatif.

Karena dilekatkan dengan aksi terorisme, JI lantas dinyatakan sebagai organisasi terlarang, berdasarkan putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor: 2191/PID.B/2007/PN.JKT.SEL, 21 April 2008.

Pembubaran diri JI perlu diapresasi karena diharapkan bisa menjadi momentum dalam upaya deradikalisasi dan menghentikan aksi terorisme di Tanah Air.

Namun, kita perlu belajar dari sejarah dan mengetahui siapa saja pelaku teror yang dilekatkan dengan JI, agar catatan kelam itu tidak berulang.

Teroris yang dikaitkan Jamaah Islamiyah 

Berikut daftar sosok terkait Jamaah Islamiyah yang terlibat dan bertanggung jawab pada sejumlah aksi teror bom di Indonesia:

1. Amrozi

Amrozi bin H Nurhasyim adalah satu dari sederet tersangka Bom Bali I.

Ia merupakan pemuda yang berasal dari Jawa Timur.

Dikutip dari Kompas.com (2020), Amrozi direkrut oleh seorang perintis kelompok teroris JI, Zulkarnaen. Ia direkrut menjadi eksekutor pengeboman pada 2000.

Pria yang pernah dilatih di Afganistan ini bertugas mengamankan situasi dan bertanggung jawab di lapangan pada peledakan Sari Club, di Jalan Raya Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002.

Berdasarkan catatan Harian Kompas pada 2002, Kepala Kepolisian Negara RI (Polri) saat itu, Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar mengatakan, Amrozi mengaku dirinya melakukan peledakan di Bali atas dasar keyakinannya sendiri. Bom tersebut ditempatkan di Café Padi, Legian, Bali.

Dalam pengakuannya, Amrozi membeli bahan peledak dalam jumlah besar dari Surabaya untuk dibawa ke Denpasar.

Setelah melalui perburuan hampir sebulan, Amrozi ditangkap di Lamongan, Jawa Timur pada 6 November 2002. Ia dibawa ke Bali di hari yang sama menggunakan pesawat Bouraq, BO 789, dan mendarat pukul 21.00 Wita.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Bali memutuskan menghukum mati Amrozi lantaran keterlibatannya di kasus Bom Bali I. Aksi teror ini merupakan salah satu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Indonesia.

Putusan hukuman mati tetap bertahan hingga tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA). Amrozi pun sempat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) sebanyak 3 kali selama 2007-2008, tetapi semua PK ditolak.

Akhirnya, Amrozi dieksekusi di Bukit Nirbaya, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada 8 November 2008.

Sesuai amanat UU Nomor 2/PNPS/1964, eksekusi terpidana mati tetap dilakukan dengan cara ditembak mati.

2. Ali Imron

Ali Imron bin H Nurhasyim (54) merupakan adik Amrozi yang juga direkrut oleh Zulkarnaen untuk bergabung dalam kelompok teroris JI.

Dikutip dari laman MPR, Majelis Hakim PN Denpasar memvonis Ali hukuman penjara seumur hidup pada 18 September 2003, atas keterlibatannya pada kasus Bom Bali 2002.

Majelis hakim yang diketuai Mulyani menilai, adik Amrozi itu terbukti secara sah terlibat terorisme. Namun, Ali terhindar dari hukuman mati karena menyesali perbuatannya dan bersedia bekerja sama dengan polisi.

Vonis majelis hakim ini membuat Ali menjadi satu-satu pelaku Bom Bali yang masih hidup.

Dua dekade ditahan di penjara, Ali meminta pengampunan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Januari 2024.

Dalam sebuah wawancara bersama South China Morning Post (SCMP), pria yang sempat menjadi guru di pesantren itu mengaku ingin bebas dan bekerja dalam proyek deradikalisasi di Indonesia.

“Saya ingin bebas agar bisa menggarap program deradikalisasi di seluruh Indonesia. Dari sudut pandang pribadi, saya lebih baik berada di dalam ruangan di mana tidak ada risiko terhadap hidup saya," ujarnya, dikutip dari The Guardian.

Selama di bui, Imron mengaku terlibat dalam program deradikalisasi pemerintah, termasuk menjadi pembicara di sekolah untuk memperingatkan ekstremisme.

3. Ali Ghufron

Catatan Harian Kompas pada 2002 menunjukkan, Ali Ghufron ditangkap di Klaten, Jawa Tengah pada 3 Desember 2002.

Ali Ghufron alias Muklas adalah kakak kandung sekaligus tokoh JI Amrozi. Ia merupakan pejabat di jaringan peledakan tersebut. Jabatannya bahkan lebih tinggi dari Imam Samudra.

Intelijen menyakini, Muklas bertindak sebagai koordinator Jamaah Islamiyah (JI) wilayah Asia Tenggara.

JI, seperti pernah diungkap Ketua Tim Investigasi Bom Bali Irjen Made Mangku Pastika, mulanya dipimpin Hambali alias Riduan Isamuddin.

Tersangka teroris ini dicari-cari Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Singapura dan diyakini kabur dari Malaysia ke Pakistan setelah peledakan bom di Bali. Sepeninggal Hambali, posisi jabatan tersebut kemudian diisi Muklas.

Kepala Badan Reserse dan Intelijen Kepolisian Negara RI (Polri) Komisaris Jenderal Erwin Mapasseng kala itu menyatakan, Muklas memang selama ini menjadi target operasi polisi Indonesia, Malaysia dan Singapura, terkait posisinya yang penting di JI. Oleh karena itu, penangkapan Muklas sangat penting.

Atas keterlibatannya itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Muklas.

Warga asal Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur itu, terbukti menjadi perencana tindak pidana terorisme yang meletus di Pulau Dewata.

Hakim menyebutkan, Muklas adalah pemimpin atau koordinator umum teror bom di tiga lokasi di Bali pada 12 Oktober 2002.

Muklas sempat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). Namun, permohonan itu ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).

Ia akhirnya dieksekusi bersama dengan Amrozi dan Imam Samudra di Bukit Nirbaya, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada 8 November 2008.

4. Imam Samudra

Abdul Aziz alias Imam Samudra adalah salah satu sosok yang membantu pendirian Jamaah Islamiyah (JI) bersama dengan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir di Malaysia pada 1993.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Bali memutuskan vonis hukuman mati kepada Imam Samudra dan dua terdakwa lainnya, Amrozi dan Mukhlas atas keterlibatannya di aksi Bom Bali, 12 Oktober 2002.

Menurut catatan Harian Kompas, Imam merupakan otak peledakan Bom Bali yang menewaskan lebih dari 180 orang.

Ia ditangkap saat hendak menyebrang dari dermaga I Pelabuhan Merak, Banten pada 21 November 2002, pukul 17.30 WIB.

Saat itu, bus yang ditumpanginya tengah antre untuk memasuki kapal feri yang dijadwalkan berangkat menuju Lampung pukul 17.45 WIB. Imam kemudian dibawa ke Bali untuk menjalani pemeriksaan dan penyidikan.

Pada 7 Agustus 2003, majelis hakim menyatakan Imam terbukti bersalah dalam ledakan bom di Bali dan menjatuhkan vonis hukuman mati.

Salah satu pendiri JI itu sempat mengajukan banding, tetapi ditolak Pengadilan Tinggi Denpasar. Imam juga pernah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan ditolak.

Ia kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA. Lagi-lagi, PK tersebut juga ditolak. PK merupakan upaya hukum terakhir yang bisa diajukan terpidana, setelah terpidana menolak untuk mengajukan grasi ke presiden.

Berdasarkan UU Nomor 2/PNPS/1964, eksekusi terpidana mati tetap dilakukan dengan cara ditembak mati setelah keinginan Imam untuk dihukum mati dengan cara dipancung tak dikabulkan MA.

Eksekusi Imam Samudra akhirnya dilakukan di Bukit Nirbaya, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada 9 November 2008.

5. Hambali

Encep Hurjaman alias Hambali atau Riduan Isamuddin adalah pria asal Indonesia sekaligus pimpinan JI di Malaysia, kelompok teroris yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda.

Ia berperan sebagai otak serangan Bom Bali 2002 yang menewaskan 202 korban jiwa dan aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriott di Jakarta pada 2003.

Hambali bersama dua rekannya, Mohammed Farik bin Amin dan Mohammed Nazir bin Lep Nurjaman yang diduga bertindak sebagai perantara dalam transfer uang untuk mendanai operasi terorisme tersebut dibekuk di Thailand pada 2003.

Mantan kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Indonesia Ansyad Mbai mengatakan, Hambali sudah mengakui perbuatannya saat ditangkap. Polisi kemudian menyerahkan kesaksian pimpinan JI itu kepada FBI.

"Perannnya sangat besar, dia bukan saja dalang utama, dia yang melakukan eksekusi rencana, dan dia memberikan dana dari Al-Qaeda sehingga perannya begitu besar, tentu saja dia bersalah," kata Mbai, dikutip dari Kompas.com (2023).

Mbai mengatakan, Hambali pernah bertemu Azahari dan Imam Samudra pada Desember 2001 untuk mempersiapkan serangan yang menyasar Negara Barat, kedutaan asing, dan tempat yang banyak didatangi Warga Negara Asing (WNA).

Hambali juga mengakui bahwa Al-Qaeda memberikan dana sebanyak 52.000 dollar Australia atau sekitar Rp 520 juta yang disalurkan ke Imam Samudra.

Dia mengatakan, Imam Samudra juga memberikan 50.000 dollar AS kepada saudara laki-lakinya di Pakistan, serta 12.000 dollar AS ke Noordin N Top dan Azahari.

Laporan Komite Intelijen Senan yang dirilis pada 2014 dalam Kompas.com (2021) menyatakan, ketiga pelaku aksi pengeboman itu dipindahkan ke sel rahasia "situs hitam" CIA yang penuh dengan penyiksaan, sebelum akhirnya dipindah ke Guantanamo pada 2006.

Setelah 14 tahun ditahan di Guantanamo, Kementerian Pertahanan Amerika Serikat mengajukan serangkaian dakwaan kepada Hambali.

Rentetan dakwaan itu, seperti persekongkolan, pembunuhan, percobaan pembunuhan, sengaja melukai seseorang, terorisme, penyerangan warga sipil, perusakan properti, dan melanggar hukum perang.

Tidak dijelaskan apa yang menyebabkan militer AS menunda dakwaan Hambali hingga lebih dari satu dekade.

Namun, sidang Hambali tersebut dilakukan ketika pemerintahan Joe Biden mengatakan bakal menutup pusat penahanan Guantanamo, tempat 779 orang ditangkap terkait serangan 11 September 2001 atau Tragedi 9/11 yang meruntuhkan World Trade Center (WTC) di New York.

Belakangan, muncul laporan bahwa Hambali mendapat penyiksaan di tahanan Guantanamo. Ia disiksa dengan metode walling dan tidak mendapat makanan.

Pengacara utama Hambali, Jim Hodes mengatakan, penyiksaan itu membuat Hambali tidak mendapat peradilan yang adil.

Oleh karenanya, Hodes mengatakan, tim pembela akan mengusulkan agar persidangan dilakukan di Indonesia.

Ada peluang Hambali bebas jika salah satu sosok yang membantu pendirian JI itu disidang di Indonesia. Hal itu juga diungkap oleh Mbai, Mantan kepala BNPT Indonesia.

"Bila dia dibawa ke Jakarta lebih besar risikonya, dia akan bisa dibebaskan. Mengapa? Karena semua saksi utama sudah dieksekusi. Dan yang lain tewas dalam penangkapan," kata Mbai.

6. Azahari

Azahari bin Husin menjadi sosok penting dalam Kelompok Jamaah Islamiyah (KJI). Di organisasi tersebut, jabatannya berada di bawah Noordin M Top. Namun, nama Azahari justri lebih populer ketimbang Noordin.

Kedua pria ini menjadi pasangan sinergis dalam JI. Noordin bertindak sebagai idiolog yang merekrut calon eksekutor bom bunuh diri, sementara Azahari melengkapinya dengan pelatihan dan pembuatan bom.

Dalam bukunya yang baru terbit “Membongkar Jamaah Islamiyah”, Nasir Abas menulis, ketika ia ditunjuk sebagai ketua kirdas (peleton) di Johor Bahru, Malaysia, tahun 1997, Noordin M Top sebagai salah satu ketua fiah (regu) dan Azahari sebagai anggota fiah.

Saat itu, Noordin merupakan mahasiswa di Universiti Teknologi Malaysia, sedangkan Azahari adalah dosen di universitas tersebut.

Baik Noordin maupun Azahari bukan lulusan akademi militer KJI di Afganistan. Keduanya mengikuti kursus singkat kemiliteran di kamp Hudaybiyah, yang dikelola KJI di Mindanao Selatan, Filipina pada 1997.

Bersama dengan Noordin, Azahari menjadi otak serangkaian bom di Tanah Air. Keduanya menjadi sosok yang paling dicari.

Azahari juga ditetapkan menjadi salah satu tersangka Bom Bali I dan Bom Bali II. Ia menjadi sosok yang paling sulit dicari.

Lebih dari tiga tahun, Azahari bersama dengan Noordin menebar teror pengeboman dalam persembunyiannya yang menyebabkan Indonesia dicap sebagai sarang teroris oleh internasional.

Serangan bom Bali I dan II, Hotel Marriott Jakarta, dan serangan ke Kedutaan Besar (Kedubes) Australia di Jakarta sudah lebih dari cukup menjelaskan apa yang mereka perjuangkan dan siapa musuhnya.

Aktivitas Azahari dan Noordin tidak hanya membuat pemerintah kewalahan, Pemerintah AS, Inggris, dan Australia juga berulang-ulang menyiarkan peringatan dini kemungkinan terjadinya serangan teroris.

Catatan Harian Kompas, 2005 menunjukkan, penangkapan Azahari terbilang panjang dan berliku.

Belum pernah dalam sejarah Indonesia dilakukan mobilisasi aparat keamanan selama lebih dari tiga tahun hanya untuk menangkap dua buronan

Polri juga menyebarkan lebih dari 100.000 poster wajah kedua buronan tersebut. Selain itu, disediakan pula hadiah Rp 1 miliar bagi mereka yang menemukan Azahari.

Penangkapan Azahari sempat diwarnai dengan insiden salah tangkap. Puluhan warga bernasib sial hanya karena mirip Azahari atau Noordin M Top.

Di tengah kegemparan itu, Azahari justru berbaur dengan warga menyaksikan ketegangan pengepungan indekosnya oleh aparat di Bandung, Jawa Barat.

Pelarian Azahari menemui titik nadir ketika dirinya disergap puluhan aparat keamanan yang mengepung rumah tempat persembunyiannya di kawasan wisata dataran tinggi di Batu, Jawa Timur pada 9 November 2005.

Ia tewas setelah rentetan suara tembakan sahut menyahut di tengah udara sejuk Batu yang mendadak menjadi panas akibat bercampur dengan bau mesiu.

Dua jam kemudian, satu ledakan keras menjebol atap rumah dan mengakhiri letusan senjata api. Azahari tewas bersimbah darah.

Namun, sama seperti pelariannya yang penuh misteri, kematiannya juga meninggalkan banyak pertanyaan.

7. Noordin M Top

Noordin M Top ditengarai terlibat dalam ledakan bom yang terjadi di hotel JW Marriott di Jakarta pada 2003 dan hotel The Ritz-Carlton pada 17 Juli 2009.

Noordin diyakini polisi merupakan orang paling bertanggung jawab di balik insiden pengeboman Kedutaan Besar Australia di Kuningan Jakarta tahun 2004 dan tiga restoran di Denpasar, Bali pada 2005

Noordin adalah warga negara Malaysia yang lahir di Binan Kluang Johor, Malaysia pada 11 Agustus 1968.

Diberitakan Harian Kompas, 2009. Noordin adalah lulusan S1 di Universiti Teknologi Malaysia pada 1995.

Ia aktif di pondok pesantren (ponpes) Luqmanul Hakiem yang merupakan salah satu sekolah jaringan Jamaah Islamiyah (JI) di Malaysia.

Di JI, Noordin menganggap dirinya sebagai pemimpin sayap militer organisasi tersebut. Namun, tak sedikit anggota JI yang memandang sebelah mata kelompok Noordin.

Pada 2001, Noordin menjadi kepala pondok pesantren (ponpes) hingga ponpes tersebut berhenti beroperasi pada 2002.

Ia melarikan diri ke Riau, Sumatera dan sempat pindah ke Bukittinggi di Sumatera Barat pada 2002. Setahun kemudian, dia pindah ke Bengkulu dan mendapat ide untuk menggelar aksi teror pengeboman JW Marriott bersama kelompoknya pada 5 Agustus 2003.

Pasca-pengeboman Marriott, Noordin melarikan diri dan terus berpindah tempat. Ia bersama dengan Azahari sempat bersembunyi di Bandung, Jawa Barat kemudian pindah ke Solo, Surabaya, Blitar, Pasuruan, dan Jawa Timur.

Dalam pelariannya itu, Noordin sempat menikah dengan istri keduanya, Mufiatun pada Mei 2004.

Ia juga merencanakan pengeboman berikutnya yang menyasar Kedubes Australia di Jakarta pada 9 September 2004.

Kala itu, proyek pengeboman tersebut disusun bersama Azahari.

Teror pengeboman terus terjadi hingga insiden Bom Bali II pada 1 Oktober 2005 terjadi.

Bersamaan dengan itu, persembunyian Noordin terus berganti dari satu kota ke kota lainnya. Jejaknya kembali terdeteksi di Cilacap, Jawa Tengah.

Noordin berhasil dibekuk Detasemen Khusus (Densus) 88 di Kampung Kepoh Sari, Mojosongo, Jebres, Solo pada 17 September 2009.

Namun, penyergapan itu berujung baku tembak yang menewaskan empat orang, termasuk dalang di balik serangan Bom Bali I, Noordin M Top.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved