Sulawesi Utara
Selamat Datang di Superhub PDIP Jatim

Berita Viral

Kisah Penjual Balon Rela Dibayar Seikhlasnya, Malu Usahanya Bangkrut, Tak Ada Keluarga yang Tahu

Sebelum menjadi badut cepot penjual balon, ia mengaku sempat dagang martabak keliling, tapi bangkrut.

Penulis: Alga | Editor: Mujib Anwar
Instagram/bangrizky_goww
Penjual balon malu, keluarga tak tahu usahanya bangkrut 

Pasalnya saat ini, peminat koran sudah tidak sebanyak dulu.

Bahkan, lanjut Djajam, beberapa perusahaan media telah tutup dan tak lagi memproduksi koran.

"Mungkin udah banyak saingannya, karena online juga. Sekarang jenisnya jadi tinggal sedikit," tutur Djajam.

"Zaman dulu tahu sendiri ada di lampu merah, di terminal-terminal banyak, sekarang mah jarang," lanjutnya.

Kini ia mengaku berjualan koran hanya untuk kehidupannya sehari-hari.

Pasalnya sejak sang istri meninggal dunia, Djajam berjuang untuk menafkahi dirinya sendiri.

Sembari sesekali, ia memberi uang jajan untuk cucu-cucunya tatkala sedang mendapat rezeki lebih.

"Ya buat nafkahin diri sendiri, buat jajan cucu aja," katanya sedikit terkekeh.

Mbah Djajam berjualan koran, akui punya kenangan manis selama menjadi loper koran
Mbah Djajam berjualan koran, akui punya kenangan manis selama menjadi loper koran (Warta Kota)

Lebih lanjut Djajam bercerita bahwa tak semua koran yang distoknya di hari tersebut habis terjual.

Menurutnya, setiap hari ada saja koran yang tak laku terjual.

Sehingga harus ia kumpulkan dan putar otak agar barang tersebut tetap bisa menjadi uang.

Alhasil, Djajam banyak menjual murah untuk berbagai koran yang sudah lewat edisi. 

Biasanya, ia melepas koran-koran tersebut kepada orang-orang yang memerlukannya untuk mengecat atau alas pakaian.

"Kalau sekarang saya enggak kiloin kalau enggak laku. Tali, yang lama-lama udah lewat bulannya, saya jual murah," kata Djajam.

"Saya jual Rp2.000 untuk koran Kompas dan Rp1.000 untuk Warta Kota dan Pos Kota," imbuhnya.

Sementara untuk majalah, Djajam menyebut jika jumlah peminatnya sekarang sangatlah sedikit.

Oleh karena itu, ia jarang menyetok majalah untuk dipasarkan kepada publik.

Beberapa koleksi majalahnya saja nampak sudah usang dan merupakan edisi lama.

"Karena mikir lah orang beli, daripada keluar Rp50 ribu (buat majalah)."

"Mending koran kan Rp5.000 bisa dapat 10 tiap hari-hari beli," ucap Djajam.

"Dulu pas masih murah majalah Tempo Rp15.000, Rp20.000, masih banyak yang beli, sekarang enggak," pungkasnya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved