Hikmah Ramadan 2025
Meluruskan Orientasi Hidup di Dunia
Orientasi hidup saat di dunia tidaklah berhenti sampai pada batas kematian atau meninggal dunia, tetapi jauh ke depan yakni kehidupan akhirat.
Oleh: H Ainul Yaqin, M.Si, Ketua MUI Jatim
TRIBUNJATIM.COM - Bulan Ramadan bulan istimewa dengan keutamaan-keutamaannya yang banyak.
Keutamaan itu yang menyebabkan keberadaan bulan ini selalu ditunggu kehadirannya, tentu oleh siapapun yang mengetahui dan menyadari eksistensi keutamaan-keutamaan itu.
Dalam suatu hadits disebutkan: "Seandainya hamba-hamba (Allah) mengetahui apa (keutamaan) yang ada pada bulan Ramadan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun itu adalah bulan Ramadan seluruhnya." (HR Abu Ya’la; dikutip dalam Lathaif al-Ma’arif hlm 347).
Sehubungan dengan itu, kita bisa menilik kebiasaan yang ada pada generasi shalaf al-shaleh.
Perkataan dari kalangan mereka sebagaimana dikutip oleh Ibn Rajab al-Hanbali: “Dahulu para salaf berdoa kepada Allah selama enam bulan agar mereka disampaikan pada bulan Ramadan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan berikutnya agar Allah menerima (amalan mereka di bulan Ramadan).” (Latha’if al-Ma’arif hlm 475).
Umar bin Abdul Aziz Ra tatkala memberi khutbah pada Hari Raya Idulfitri menyampaikan, "Wahai sekalian manusia, kalian telah berpuasa selama tiga puluh hari. Kalian pun telah melaksanakan salat tarawih tiga puluh malam. Kini (di Idulfitri) kalian keluar, memohon pada Allah agar amalan kalian diterima.” (Latha’if al-Ma’arif hlm 475).
Jika para shalaf al-shaleh serasa mencurahkan keseluruhan hidupnya untuk Ramadan, semua ini karena mereka mengetahui dan menyadari bulan ini adalah momentum Allah mencurahkan nafahat (embusan) yang banyak, yakni curahan rahmatNya.
Sedangkan embusan rahmat adalah suatu yang jadi dambaan. Sebagaimana dalam hadits disebutkan: “Sesungguhnya Allah memiliki nafahat yang akan dicurahkan sepanjang masa, karena itu berusahalah untuk mendapatkannya. Bisa jadi di antara kalian ada yang mendapatkan satu nafahat, sehingga dia tidak akan celaka selamanya.” (HR al-Thabarani dalam al-Awsath Juz III/hlm 180).
Jika direnungkan lebih mendalam lagi, apa yang dilakukan oleh para shalaf al-shaleh adalah cerminan dari orientasi hidupnya yang tidak hanya sebatas duniawi.
Mereka mendambakan keselamatan dan kebahagiaan tidak sebatas di dunia, tetapi yang justru lebih penting adalah keselamatan dan kebahagiaan di akhirat nanti.
Bahkan bisa jadi apa yang dirasakannya seperti yang tergambar dalam syair puji-pujian bahasa Jawa yang biasa dilantunkan menjelang salat lima waktu: “rugi ndonya gak dadi opo, rugi akhirat bakal ciloko (rugi dunia tidak masalah namun jika rugi akhirat akan celaka).”
Hal ini karena kehidupan akhirat adalah kehidupan yang kekal selamanya.
Meskipun dambaannya tetap fii al-dunyaa hasanah, wa fii al-akhirati hasanah (di dunia baik, di akhirat juga baik), namun jika yang enak hanya di dunia tetapi di akhirat sengsara selamanya amatlah rugi.
Kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat bergantung pada rahmat Allah SWT.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.