Sulap Sampah Warga jadi Kostum Mempesona di Trawas Trashion Carnival, Beratnya Puluhan Kilo Hingga

Penulis: Rorry Nurmawati
Editor: Mujib Anwar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Para model dari Trawas Trashion Carnival saat berlenggak lenggok di jalan, dalam acara perlombaan, beberapa waktu lalu.

TRIBUNJATIM.COM, MOJOKERTO - Limbah sampah, terkadang membuat beberapa orang menjadi jengkel dan kesal.

Namun, ditangan para kreator muda yang tergabung dalam Trawas Trashion Carnival (TTC), limbah sampah justru disulap menjadi kostum yang indah.

Bahkan, kostum yang identik dengan Kerajaan Majapahit tersebut telah menembus hingga ke berbagai daerah di luar Kota/Kabupaten Mojokerto.

Tri Mulyono yang tidak lain adalah Presiden Trawas Trashion Carnival, mencoba bermain dengan memanfaatkan limbah sampah rumah tangga untuk kostum carnaval.

Sampah plastik, kardus, dan beberapa limbah lainnya digabungkan menjadi sebuah mahakarya yang luar biasa.

"Semua kita manfaatkan, karton susu, rokok, kita manfaatkan semua. Kami menampung semua limbah sampah dari masyarakat," kata Tri saat ditemui Surya.

Tahun 2014, adalah awal dimulainya karya-karya itu dilahirkan. Satu persatu karya diikutkan lomba. Perlombaan awal dimulai dengan kategori tingkat Kecamatan Trawas, di Kabupaten Mojokerto.

Tidak mudah awalnya ketika membuat satu buah kostum yang lengkap dengan aksesorisnya. Kendala pun mulai ditemui, seperti rangka yang mudah patah, aksesoris yang mudah lepas.

"Awal sekali tidak pakai sayap-sayapan gitu, tapi kostum yang benar-benar polos," imbuhnya.

Baru di tahun 2015, TTC mulai mengembangkan sayap untuk membuat kostum karnaval menjadi lebih indah dan menawan. Bahkan, pria 27 tahun ini bersama teman-teman lainnya mencoba belajar hingga ke daerah Jember dan Banyuwangi.

Dari sanalah, mereka kemudian menjajal menambahkan aksesoris berupa sayap, mahkota hingga ekor.

"Kostum kami paling berat sampai 30 kilogram, dan itu tidak pakai tambahan bantuan roda untuk menariknya. Padahal jalanan di Trawas kan naik turun, itu yang membuat beberapa pengunjung salut dengan karya TTC," kata pria yang juga anggota dari Wahana Edukasi Harapan Alam Semesta (Wehasta).

Dalam pembuatan kostum, tim TTC membutuhkan waktu hingga tiga minggu. Itu diawal tahun mereka berdiri.

Kini, mereka hanya membutuhkan waktu kurang dari satu pekan.

"Kalau dulu kita masih bongkar pasang, jika dirasa pakai triplek terlalu berat, kota ganti dengan spon sandal. Lalu pernah pakai besi, dan ternyata berat sekali kemudian kota ganti gavalum. Kita ingin membuat kostum yang bagus dan elegan meskipun bahan dasarnya adalah limbah sampah," papar Tri.

Halaman
12

Berita Terkini