TRIBUNJATIM.COM, MALANG - 'Anak Sersan Jadi Panglima' demikian judul buku biografi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang ditulis oleh Eddy Suprapto.
Buku setebal 171 halaman itu diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
Buku itu berkisah tentang perjalanan hidup Hadi mulai dari Kompleks Perumahan Pagas (pancaran gas), berjarak lima kilometer dari Lanud Abdurrachman Saleh sampai diangkat sebagai Panglima TNI oleh Presiden RI Joko Widodo pada 8 Desember 2017 lalu.
Buku yang diberi kata pengantar oleh Sukardi Rinakit itu dilengkapi dengan galeri foto perjalanan Hadi, mulai dari kecil sampai menjadi anggota TNI dan Panglima. Fotonya bersama Presiden RI Jokowi menjadi pembuka buku tersebut.
Serahkan Sertifikat Tanah ke Warga Lamongan, ini Pesan Lengkap Presiden Jokowi
Kisah Hadi dimulai dari Pagas, kawasan yang dikenal sampai saat ini. Kisah tentang Pagas dan cerita anak kolong.
Hadi merupakan anak kolong (sebutan untuk anak tentara), namun bukanlah berasal dari keluarga tentara yang kaya.
Ayahanda Hadi Tjahjanto, Bambang Sudarso, merupakan anggota TNI AU yang ditugaskan di Lanud Abd Saleh.
Sersan merupakan pangkat sang ayah. Masa prihatin Hadi dan keluarga tertuang dalam bab 1 Cerita Anak Kolong.
Kemudian kisah perjalanan karir Hadi yang tertuang di bab 2, 3, 4, dan 5. Bab 6, atau bab terakhir berjudul Sang Panglima berkisah tentang diangkatnya Hadi sebagai komandan tertinggi TNI dan pemikiran Hadi.
Jumat Besok, Adik Kandung Gus Dur Akan Dikebumikan di Tebuireng Jombang
Buku 'Anak Sersan Jadi Panglima' ini bukan sekadar buku biografi, namun bisa disebut juga buku tentang sahabat.
Sang penulis, Eddy Suprapto merupakan teman sekelas Hadi di SMPP (Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan) atau yang kini dikenal sebagai SMA Negeri Lawang (Smanela).
"Saya sama Pak Hadi teman sekelas di kelas 2 dan 3 SMA," ujar Eddy saat bedah buku 'Anak Sersan Jadi Panglima' di gedung FISIP Universitas Brawijaya Malang, Kamis (8/3/2018).
Buku yang ditulis oleh sahabat tentang sahabat. Meski begitu, Eddy tidak mau disebut buku itu sekadar bentuk perkoncoannya dengan sang panglima.
Lelaki yang puluhan tahun berkecimpung di dunia jurnalis itu tetap mengedepankan insting jurnalisnya dalam memilih, kemudian menulis, dan membuat buku tersebut.
Dikendalikan Dari Toko Pakaian Dalam, Arisan Ce Nying-nying Tipu Member Hingga Miliaran
"Bagi seorang jurnalis, menulis kisah maupun sosok tentang Panglima, atau calon Panglima itu menarik. Sosoknya renyah dan menarik untuk ditulis. Jadi saya kira, market (pasar) akan menerimanya," imbuh Eddy.
Karenanya buku itu ditulis dengan gaya tulisan di media, ringan tetapi penuh penggambaran.
Eddy melengkapinya dengan penggalian dan riset ke lokasi yang pernah ditinggali dan disinggahi Hadi.
Sejumlah narasumber penting diwawancarai, termasuk narasumber kunci, sang panglima sendiri, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.
Mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini mengerjakan buku Anak Sersan Jadi Panglima selama tiga bulan.
"Saya menulisnya malam hari sampai dini hari, karena pagi sampai sore harus bekerja," lanjut Eddy yang kini bekerja di perusahaan non media itu.
Berita Viral - Dampingi KPK, Wali Kota Risma Marah dan Semprot Pegawai Kecamatan ini
Buku yang diluncurkan di Toko Buku Gramedia pada 12 Februari 2018 itu sudah terjual 3.000 eksemplar, dan akan menunggu cetak ulang kedua.
Malang dipilih sebagai kota pertama menjadi lokasi bedah buku tersebut. Sebab Malang, seperti dikatakan Eddy, memiliki nilai sejarah bagi lahirnya buku tersebut, dan bagi orang yang ditulis di buku itu.
"Hadi tumbuh kembang di sini, kami bersekolah di sini. Banyak teman-teman di sini. Hadi juga pernah bertugas di Lanud Abd Saleh. Jadi Malang memiliki nilai historical yang mendalam. Meskipun sebenarnya Panglima tidak ingin kisah hidupnya dibukukan," tegasnya.
Bedah buku tersebut menghadirkan pembicara adik kandung Hadi Tjahjanto, Kolonel Wahyu Tjahjadi dan Wakil Dekan FISIP UB Anang Sujoko, selain Eddy sendiri.
Wahyu menuturkan, sang kakak merupakan sosok yang sederhana.
Gara-gara Foto di Jalan Tol, Artis Syahrini Terancam Dihukum 18 Bulan Penjara
"Makanya awalnya, kakak saya tidak mau ditulis karena malu. Tidak ingin posisinya nanti dikira untuk cari popularitas. Namun ternyata buku ini memberikan sisi lain. Terutama bisa menjadi motivasi bagi mereka yang berasal dari keluarga yang kondisi seperti kondisi keluarga kami dulu. Ibu kami selalu berpesan, akan ada lebaran setelah puasa," ujar Wahyu.
Karena itu, membaca buku tersebut, kata Wahyu, bukan hanya membaca tentang kisah hidup Panglima yang berasal dari keluarga sederhana.
Namun bagaimana siapapun mereka, meskipun berasal dari keluarga sederhana atau tidak mampu, bisa mewujudkan mimpi untuk menjadi orang yang berguna dan berhasil.
Kirana, seorang pelajar SMA Negeri Lawang yang ikut dalam bedah buku itu mengaku bangga karena alumni sekolahnya bisa menjadi Panglima TNI.
"Tentunya sangat bangga, dan berharap bisa meniru untuk menjadi orang yang sukses," tegasnya. (Surya/Sri Wahyunik)