“Mungkin kelompok kelima ini yang paling cocok disebut ‘peranakan’,” duga Ariel. Mereka adalah sosok sosial yang sangat campur-aduk dengan sebuah sosok identitas yang khas dalam bidang berbusana, masak-memasak, bahasa, perabot, dan tata-gaul.
Jumlah Peranakan jenis kelima ini relatif besar pada paruh pertama abad 20. Namun kini mereka nyaris punah. Yang menarik, kepunahan budaya Peranakan Tionghoa dalam setengah abad terakhir, terjadi bersamaan dengan semakin gencarnya hibridisasi identitas pada lingkup global.
Semua orang di mana pun semakin menjadi peranakan, dalam pengertian berselera budaya gado-gado, campur-aduk, blasteran atau hibrid.
Begitu cuplikan ulasan Ariel Heryanto yang ditulisnya dalam buku Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya yang diterbitkan Komunitas Lintas-Budaya Indonesia dan Intisari.
Buku ini adalah edisi ketiga setelah sebelumnya pernah terbit edisi pertama pada 2009 dan kedua (berbahasa Inggris) pada 2012.
Buku ketiga yang terbit tahun 2018 ini, merupakan edisi yang diperbarui dan diperluas.
Akan diluncurkan di Semarang Contemporary Art Gallery (Galeri Semarang), Semarang pada Jumat (13/8) pukul 17.30. Dibuka oleh Gubernur Jawa Tengah (terpilih) Ganjar Pranowo dan Walikota Semarang Hendrar Prihadi. (Intisari/Tjahjo Widyasmoro)
Artikel ini sudah tayang di Intisari, dengan judul: Siapa Sebenarnya Tionghoa Peranakan?