TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Underpass pertama di Surabaya sebelumnya bukan direncanakan sebagai Underpass Mayjen Sungkono, melainkan Underpass Jl Ahmad Yani.
Pembicaraan soal pembangunan Underpass A Yani sudah muncul sejak 2016, dan direncanakan dibangun 2017 oleh Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) VIII Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
• Dishub Kota Surabaya Mulai Survei Efektivitas Underpass Mayjen Sungkono pada 10 Juni 2019
• Underpass Mayjen Sungkono Diresmikan, Risma Minta Ditambah Pohon Tabebuya, Langsung Tanam 100 Pohon
• H-5 Lebaran Underpass Karanglo Terpantau Ramai Lancar
Harapannya, pembangunan underpass bisa mengurai kemacetan yang sering terjadi di Bundaran Dolog akibat persimpangan kendaraan yang melaju dari arah Sidoarjo menuju Jl Jemursari.
Namun, hingga kini, proyek tersebut belum terwujud, dan digantikan oleh Underpass Mayjen Sungkono.
Usai pembukaan Underpass Mayjen Sungkono, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Eri Cahyadi, mengatakan Pemkot Surabaya akan mempersiapkan pembangunan Underpass A Yani.
"Nanti koordinasi lagi sama teman-teman investor, mungkin mereka mau berkontribusi lagi. Mulai pembangunannya nanti koordinasi lagi sama teman-teman," tuturnya, Sabtu (8/6/2019).
Meski begitu, ia mengatakan Pemkot Surabaya sudah menetapkan underpass akan selesai pada tahun 2020.
"Rencana selesai 2020, insyaallah 2020," ujarnya.
Sebelumnya, proyek ini akan didanai APBN dengan anggaran yang awalnya Rp 350 miliar, ditekan menjadi Rp 273 miliar.
Panjang underpass tersebut mencapai 860 meter dengan kedalaman 8 meter dan terdiri dari dua jalur.
Pengerjaannya diperkirakan memakan waktu hingga 2,5 tahun.
Underpass dimulai sebelum lampu lalu lintas arah Jl Jemursari, dan berakhir di depan frontage Jl Ahmad Yani.
Menurut pakar transportasi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Putu Rudy Setiawan, pembangunan underpass dibutuhkan bila bundaran tak lagi efisien.
"Sebagai pemecahan karena waktu itu traffic masih sedikit, pakai bundaran. Bentuknya tidak harus bulat, pokoknya masih bisa diputari. Kalau sudah tidak efisien, baru menggunakan persimpangan tidak sebidang, bisa pakai underpass, overpass, atau flyover," jelasnya.
Implikasinya, kapasitas jalan bertambah besar dan meningkatkan kinerja jalan, dengan harapan kemacetan mengecil.
Meski sudah dibangun frontage, dosen Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota ini menyebut itu bukan solusi penguraian kemacetan Bundaran Dolog, karena yang jadi permasalahan adalah persimpangan Jl. Ahmad Yani menuju Jl. Jemursari.
"Kalau kapasitas persimpangan semakin parah tapi traffic tinggi, kan menjadi tidak ideal. Kapasitasnya 100, tapi yang lewat 150, kinerja jalan menurun. Tidak ada solusi lain lagi. Permasalahan bukan di jalannya, tapi di persimpangan," paparnya.
Selain keamanan konstruksi, Putu berharap Pemkot berkaca pada pembangunan Underpass Mayjen Sungkono yang selama konstruksi menimbulkan kemacetan.
Sehingga, bila nanti Underpass A. Yani jadi dibangun, yang harus diperhatikan adalah traffic management.
"Supaya pembangunan itu seminimal mungkin menimbulkan dampak pada jalan. Mestinya bisa juga dengan mengurangi kendaraan yang lewat, bisa dialihkan ke jalan sekitar Ketintang, atau sekitar Jemursari dan Siwalankerto. Manfaatkan jalan-jalan kecil," tutupnya.