"Ini negara demokrasi, kritik dan saran biasa. Senang dan tidak senang akan sebuah putusan juga pasti terjadi. Yang penting, semuanya sudah ada saluran masing-masing. Pansel sudah bekerja secara terbuka. Kemudian diputuskan oleh Komisi III. Memang ini proses seleksi yang ada subjektivitas di dalamnya," lanjutnya.
Ghufron tidak mau berkomentar banyak perihal tudingan pelemahan KPK melalui revisi UU KPK. Ahli hukum pidana tersebut hanya menuturkan kalau dari kaca mata hukum sebuah aturan hukum itu dibuat bukan atas dasar lemah atau kuat. Namun berdasarkan benar atau salah.
"Kalau revisi itu sesuai dengan aturan dan norma hukum, maka revisi itu benar. Bukan soal kuat dan lemah. Kalau itu cara pandangnya maka itu cara pandang politik. Sedangkan di hukum itu cara pandangnya, benar atau salah sesuai norma dan teori hukum," imbuhnya.
Dia mencontohkan perihal SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). KPK selama ini dikenal tidak pernah mengeluarkan SP3. Ghufron tidak sepakat dengan hal itu. Menurutnya, seseorang harus diberi kepastian hukum.
"Jangan menggantung. Kalau unsur tindak pidana terpenuhi maka harus dilanjutkan ke tahap selanjutnya, namun jika tidak memenuhi maka kenapa tidak dikeluarkan SP3. Jangan nasib seseorang digantung bertahun-tahun," tegas Ghufron.
Terakhir, Ghufron mengucapkan terimakasih kepada semua teman, kolega, dan siapapun yang telah memberikan dukungan kepada dirinya untuk mendaftar Capim KPK sampai akhirnya terpilih menjadi lima komisioner KPK periode 2019 - 2023.
"Terimakasih kepada semua sahabat, dan semua pihak yang telah turut membantu, mendukung, dan mendoakan saya dalam proses seleksi Capim KPK hingga mencapai sebagai pimpinan KPK terpilih periode 2019 - 2023. Tidak lupa, saya mohon doa, dan dukungannya semoga saya dikuatkan iman, diistiqomahkan, dan amanah dalam tugas mencegah dan memberantas korupsi," pungkasnya. (Sri Wahyunik/Tribunjatim.com)