TRIBUNJATIM.COM, MADIUN - Sekitar tahun 60'an, Desa Sewulan, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur ternyata pernah menjadi sentra batik tradisional yang terkenal. Namun, seiring perkembangan zaman, para perajin batik di Desa Sewulan mulai berkurang dan akhirnya hilang.
Pada pertengahan 2018, delapan warga Desa Sewulan mengikuti pelatihan membatik yang dibiayai Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Mesem Guyu, Desa Sewulan, Kecamatan Dagangan.
Hasilnya, nama Desa Sewulan sebagai desa sentra di Kecamatan Dagangan kembali terangkat. Desa Sewulan kini dikenal dengan batik motif Song Song.
"Dulu ada belasan perajin batik di Desa Sewulan. Banyak home industry, batik tradisional motif klasik untuk jarik. Tapi, seiring waktu, generasi penerusnya kurang, akhirnya mati suri," kata Kepala Desa Sewulan, Sukarnokepada Tribunjatim.com, Rabu (2/9/2019) kemarin.
Hingga akhirnya, kata Sukarno, Bumdes Mesem Guyu mencoba mengembalikan kejayaan batik di Desa Sewulan, dengan memberdayakan anggota kelompok PKK Desa Sewulan.
Sukarno menuturkan, tidak mudah untuk mengajak warga agar mau mengikuti pelatihan membatik. Apalagi, untuk bisa menjadi perajin batik dibutuhkan keuletan dan ketekunan.
• Pemuda Asal Jombang Edarkan Sabu-sabu di Wilayah Nganjuk Diringkus Polisi
• Bebby Fey Rival Atta Sindir Kubu yang Membencinya, Isu Viral Video Syurnya Terjawab: Jangan Ngegas
• Dua Toko Rusak Parah Akibat Tertimpah Pohon Tumbang Karena Diterjang Angin Kencang
"Awalnya masyarakat memandang sebelah mata, mereka belum tahu bahwa ini bisa menjadi sumber penghasilan. Tapi sekarang setelah banjir pesanan, banyak yang melirik," katanya.
Saat ini, bahkan delapan perajin Batik Song Song di bawah binaan Bumdes Mesem Guyu kewalahan melayani pemesanan konsumen. Para pembelinya mayoritas adalah pejabat di Pemkab Madiun dan sejumlah perusahaan swasta di Kabupaten Madiun.
"Tahun depan rencananya seragam sekolah anak-anak di Kevamatan Dagangan menggunakan batik Song Song. Makanya, kami akan kembali mengadakan pelatihan, untuk menambah tenaga produksi," jelasnya.
Ia menuturkan, berbeda dengan batik tradisional yang dahulu diproduksi perajin batik di Desa Sewulan, batik tradisional yang diproduksi oleh perajin batik binaan Bumdes Mesem Guyu, memiliki motif atau corak khusus, yakni Song Song atau Payung.
Setiap batik Song Song terdapat motif payung, yang dikombinasikan dengan motif gambar berbagai macam hasil pertanian di Kecamatan Dagangan.
Semisal, kata Sukarno, ditambah motif gunung, percikan air, buah durian, bunga cengkeh, cokelat atau kakao, manggis dan berbagai gambar lainnya.
Selain karena terdapat motif payung, Batik Song Song juga dipilih menjadi nama batik khas Desa Sewulan, untuk melestarikan sejarah berdirinya Desa Sewulan.
"Kami beri nama Song Song, karena kami ingin melestarikan sejarah berdirinya Desa Sewulan," katanya kepada Tribunjatim.com.
Sukarno menceritakan, pada abad 17M, ada seorang putra Adipati Ponorogo, bernama Raden Mas Bagus Harun, yang belajar di Pondok Pesantren Tegalsari Jetis, milik Kyai Ageng Tegalsari.
Bagus Harun merupakan murid yang tekun dan giat, sehingga menjadi murid yang disayangi, dan diangkat sebagai anak angkat oleh Kyai Ageng Tegalsari.
Pada saat itu, Pakubuwono II yang kalah dalam pemberontakan dan meminta tolong kepada Kyai Ageng Besari untuk membantunya.
Kyai Ageng Tegalsari, kemudian mengutus Bagus Harun untuk ikut ke Kartasura guna membantu meredakan konflik. Akhirnya, Bagus Harun berhasil meredam keadaan dan mengembalikan kejayaan Pakubuwono II.
Atas jasa tersebut, sejatinya Bagus Harun hendak diberi pangkat Adipati di Banten. Namun, Bagus Harun menolak, kemudian memilih untuk pulang ke pesantren tempat ia belajar guna mengabdi kepada gurunya.
Pakubuwono II mengijinkan Bagus Harun untuk kembali kepada gurunya, dan memberi hadiah berupa songsong (payung) dan lampit (tikar).
Kemudian, pulanglah Bagus Harun ke Tegalsari. Setibanya di Tegalsari, Bagus Harun menghadap gurunya dan menyampaikan keinginan hatinya.
Memudian Kyai Ageng Hasan Besari menyuruh Bagus Harun untuk meletakkan payung ke salah satu grojogan Bang Pluwang, Nglengkong, Sukorejo, Ponorogo.
Kemudian, Bagus Harun diperintah untuk untuk mengelilingi hutan dan tidak berhenti sebelum menemukan payung tersebut.
Namun, tidak mudah untuk menemukan payung tersebut. Meski sudah berbulan-bulan mengelilingi hutan, namun Bagus Harun belum juga menemukannya.
Hingga akhirnya, masuk bulan Ramadhan. Pada suatu malam, ia bertafakur dan munajat kepada Allah.
Kemudian, tiba-tiba dia mencium bau harum dan melihat sinar yang terang benderang. Setelah diamati tampak sebuah Song Song dengan tanda H yang berdiri tegak tetapi tinggal kerangkanya saja.
Songsong tersebut ditemukan bertepatan dengan turunnya Lailatul Qodar yang merupakan malam yang lebih utama dari seribu bulan (Sewu Wulan).
Songsong yang ditemukan itu segera ia bawa ke Kyai Ageng Besari. Oleh gurunya, ia diminta mendirikan masjid, dan memberi nama temoat itu Sewulan.
karena Songsong tersebut ditemukan bertepatan dengan turunnya Lailatul Qodar.
Batik Song Song Angkat Perekonian Warga Desa Sewulan
Keberhasilan Bumdes Mesem Guyu mengangkat Batik Song Song mendatangkan rejeki bagi para perajin batik yang berasal dari kalangan ibu rumah tangga.
Seorang warga Desa sewulan, yang merupakan perajin Batik Song Song, bisa meraup omset Rp 5 juta dalam sebulan. Tentu saja, ini sangat membantu meningkatkan perekonomian keluarganya.
"Sebulan bisa jual sekitar 25 potong, kira-kira sekitar Rp 5 jutaan," kata ibu dua anak ini.
Para pembeli atau konsumen batiknya, bukan berasal dari Kabupaten Madiun saja, tetapi juga dari luar pulau.
Siti mengatakan, dahulu ibunya juga seorang perajin batik di Desa Sewulan. Dengan adanya Batik Song Song kini ia bisa meneruskan pekerjaan yang dilakukan oleh ibunya dahulu.
Bahkan, kini ia juga diminta untuk mengajari para pelajar membatik di sebuah sekolah di Kecamatan Dagangan, sebagai upaya regenerasi perajin batik.(rbp/Tribunjatim.com)