Tradisi Rebo Wekasan memang bukan bagian dari Syariat Islam, akan tetapi merupakan tradisi yang positif karena
(1) menganjurkan shalat dan doa;
(2) menganjurkan banyak bersedekah;
(3) menghormati para wali yang mukasyafah (QS. Yunus : 62). Karena itu, hukum ibadahnya sangat bergantung pada tujuan dan teknis pelaksanaan. Jika niat dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan syariat, maka hukumnya boleh.
Tapi bila terjadi penyimpangan (baik dalam keyakinan maupun caranya), maka hukumya haram.
Bagi yang meyakini silahkan mengerjakan tapi harus sesuai aturan syariat dan tidak perlu mengajak siapapun. Bagi yang tidak meyakini tidak perlu mencela atau mencaci-maki.
Mengenai indikasi adanya kesialan pada akhir bulan Shafar, seperti peristiwa angin topan yang memusnahkan Kaum ‘Aad (QS. Al-Qamar: 18-20), maka itu hanya satu peristiwa saja dan tidak terjadi terus-menerus. Karena banyak peristiwa baik yang juga terjadi pada Rabu terakhir Bulan Shafar, seperti penemuan air Zamzam di Masjidil Haram, penemuan sumber air oleh Sunan Giri di Gresik, dll.
Kemudian, betapa banyak orang yang selamat (tidak tertimpa musibah) pada Hari Rabu terakhir bulan Shafar, meskipun mereka tidak shalat Rebo Wekasan. Sebaliknya, betapa banyak musibah yang justru terjadi pada hari Kamis, Jum’at, Sabtu, dll (selain Rabu Wekasan) dan juga pada bulan-bulan selain Bulan Shafar. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya musibah atau malapetaka adalah urusan Allah, yang tentu saja berkorelasi dengan sebab-sebab yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Mengenai cuaca ekstrim yang terjadi di bulan ini (Shafar), maka itu adalah siklus tahunan. Itu adalah fenomena alam yang bersifat alamiah (Sunnatullah) dan terjadi setiap tahun selama satu bulanan (bukan hanya terjadi pada Hari Rabu Wekasan saja). Intinya, sebuah hari bernama “Rebo Wekasan” tidak akan mampu membuat bencana apapun tanpa seizin Allah Swt. Wallahu a’lam
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com
Berita Viral dan arti kata lainnya