TRIBUNJATIM.COM - Hakim akhirnya menyatakan tak ada pemerkosaan terhadap Putri Candrawathi yang dilakukan oleh Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Diketahui, Brigadir J tewas dalam kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo.
Ferdy Sambo mengatakan telah terjadi pelecehan seksual terhadap istrinya, Putri Candrawathi yang dilakukan oleh Yosua.
Cerita Putri Candrawathi mengenai pelecehan seksual yang ia alami menyulut emosi Ferdy Sambo.
Atas dasar peristiwa tersebutlah, terjadi pembunuhan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh Brigadir J ini dipertahankan sampai akhir persidangan oleh Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.
Namun berdasarkan penyelidikan, hakim menyatakan bahwa tuduhan Brigadir J sebagai pelaku pemerkosaan terhadap Putri Candrawathi tidak masuk akal.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com
Hal itu disampaikan Hakim Ketua PN Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso, saat membacakan amar putusan di PN Jaksel, Senin (13/2/2023).
Ia menyampaikan, korban kekerasan seksual biasanya akan bergantung secara ekonomi kepada pelakunya.
Pelaku akan memberikan sejumlah uang kepada korban agar korban tidak melaporkan tindak pidana yang dialaminya.
Karena itu, hasil pemeriksaan rekening bank menjadi salah satu alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pelecehan seksual.
"Bahwa hasil pemeriksaan rekening bank almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat diketahui uang yang berada di rekening tersebut adalah milik Putri Candrawathi," ujar Wahyu saat membacakan amar putusan di PN Jaksel, Senin (13/2/2023).
Baca juga: Pakar Kuak Hal Lain di Balik Vonis Ferdy Sambo, Dibahas Persepsi Hukum Indonesia: Selama ini Kacau
Karena itu, Wahyu menyatakan bahwa tuduhan Yosua merupakan pelaku kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi dinilai tidak masuk akal.
"Sangatlah tidak masuk akal apabila almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat didalilkan sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi.
Karena faktanya almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat yang bergantung secara ekonomi kepada Putri Candrawathi," jelas Wahyu.
Lebih lanjut, Wahyu menuturkan bahwa kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi juga dinilai tidak bisa dibuktikan secara pembuktian tindak pidana.
"Dengan menggunakan logika sebagaimana dalam pembuktian tindak pidana kekerasan seksual tersebut sangatlah tidak masuk akal jika korban Yosua Hutabarat melakukan kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi," tukasnya.
Baca juga: Reaksi Orang Tua Brigadir J Jelang Sidang Vonis Ferdy Sambo, Pakai Ulos Hitam Dekap Foto Yosua: Adil
Baca juga: SOSOK Jaksa Penuntut Hukum Bharada E 12 Tahun, Putri Candrawathi 8 Tahun, Harta Tak Sampai Rp 1 M
Terlebih tidak ada bukti pendukung bahwa Putri Candrawathi telah dilecehkan.
"Majelis hakim tidak memperoleh keyakinan yang cukup bahwa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah melakukan pelecehan seksual atau perkosaan atau bahkan perbuatan yang lebih dari itu kepada Putri Candrawathi," kata Wahyu dalam dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (13/2/2023).
Selain itu, hakim menambahkan, bahwa tidak ada fakta bahwa Putri Candrawathi mengalami gangguan berupa stres pasca-trauma akibat pelecehan seksual atau pun perkosaan yang menimpanya.
"Sehingga, motif yang lebih tepat menurut majelis hakim karena adanya perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, di mana perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrawathi," tuturnya.
Apalagi terkait dengan konteks relasi antar-gender, menurut Wahyu, Putri Candrawathi yang saat itu merupakan istri dari Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo memiliki posisi yang lebih unggul dan juga dominan dibandingkan dengan Yosua.
"Sehingga, karena adanya ketergantungan relasi kuasa dimaksud, sangat kecil kemungkinannya korban melakukan kekerasan seksual atau pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi," ujar Wahyu.
Baca juga: VIRAL TERPOPULER: Ibu Norma Risma Keceplosan Zina? - Putri Candrawathi Dituntut 8 Tahun Penjara
Dengan demikian, majelis hakim menyatakan bahwa adanya alasan pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi patut dikesampingkan.
"Sehingga, terhadap adanya alasan demikian patut dikesampingkan," ucap Wahyu.
Sebagai informasi, dalam perkara ini jaksa penuntut umum (JPU) telah menuntut seluruh terdakwa.
Mantan Kadiv Propam Polri sekaligus otak dari rencana pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup.
Sementara sang istri yakni Putri Candrawathi dituntut pidana 8 tahun penjara.
Baca juga: Isi Pleidoi Putri Candrawathi, Istri Ferdy Sambo Harap Bisa Tebus 1 Kegagalan Ini: Saya Seorang Ibu
Kepada Ferdy Sambo, jaksa tidak menemukan adanya hal yang meringankan serta tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf dalam diri mantan Kadiv Propam Polri itu.
"Bahwa dalam persidangan pada diri terdakwa Ferdy Sambo tidak ditemukan adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat menghapus sifat melawan hukum serta kesalahan Terdakwa Ferdy Sambo," kata jaksa dalam tuntutannya yang dibacakan pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Selasa (17/1/2023).
Atas hal itu, terdakwa Ferdy Sambo harus diwajibkan menjalani pertanggungjawaban pidananya atas kasus tersebut.
Sehingga menurut jaksa, tidak ada dasar dari penuntut umum untuk membebaskan Ferdy Sambo dari jerat hukum.
"Bahwa Terdakwa Ferdy Sambo tersebut dalam kesehatan jasmani dan rohani serta tidak diketemukan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf yang membebaskan dari segala tuntutan hukum atas perbuatannya sebagaimana pasal 44 sampai 51 KUHP maka terhadap Terdakwa Ferdy Sambo SH, S.iK MH harus lah dijatuhi pidana yang setimpal dengan perbuatannya," tukas jaksa.
Sementara kepada terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, jaksa menuntut pidana 12 tahun penjara.
Selanjutnya untuk kedua terdakwa lainnya yakni Bripka RR dan Kuat Ma'ruf sama-sama dituntut delapan tahun penjara.
Jaksa menyatakan, seluruh terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama yang membuat nyawa seseorang meninggal dunia sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tuntutan-tuntutan itu kemudian disanggah oleh para terdakwa melalui sidang agenda pembacaan pleidoi.
Secara umum, pleidoi para terdakwa memuat bantahan-bantahan atas kesimpulan JPU yang tertuang di dalam materi tuntutan.
Mereka juga memohon agar Majelis Hakim membebaskannya dari tuntutan.
Terkait pleidoi itu, jaksa juga melayangkan bantahan dalam replik.
Secara garis besar, jaksa menolak pleidoi para terdakwa karena dianggap tidak memiliki dasar yuridis yang kuat.
"Uraian pledoi tersebut tidaklah memiliki dasar yuridis yang kuat yang dapat digunakan untuk menggugurkan surat tuntutan tim penuntut umum," kata jaksa dalam persidangan pada Jumat (27/1/2023).
Artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com
Berita tentang Ferdy Sambo dan pembunuhan Brigadir J lainnya