Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, M Romadoni
TRIBUNJATIM.COM, MOJOKERTO - Suara gamelan terdengar sayup dari rumah warga di Dusun Talunsudo, Desa Gunungan, Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto.
Ternyata suara gamelan jawa berasal dari pemutar musik yang mengiringi seorang bocah cilik untuk memainkan wayang kulit.
Bocah kelas IV SDN Banyulegi itu adalah Pasha Raskha Syailendra atau yang akrab disapa Sarijo.
Diusia 10 tahun, Sarijo begitu serius berlatih dan totalitas menekuni bidang pewayangan menjadi dalang cilik.
Baca juga: Nopol Motor Jadi Petunjuk Polisi Mojokerto Kuak Pelaku Pengeroyokan di Jembatan, 2 Pria Masih Remaja
Siang itu cukup terik namun tak menyurutkan niat dalang cilik, Sarijo untuk berlatih memainkan wayang kulit.
Ia tampak mengenakan baju kebaya hitam lengkap dengan blankon, duduk bersila sembari memainkan wayang kulit dengan lakon Pandawa Lima. Kisah pewayangan menampilkan cuplikan Perang Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa.
Ia juga fasih melafalkan bahasa jawa kuno dalam pertunjukan wayang kulit tersebut.
Usai pulang sekolah, Sarijo tetap giat berlatih memainkan wayang kulit di sebuah pentas mini sederhana, yang dilengkapi Kelir atau layar wayang kulit sekitar tiga meter dan satu batang Debog pisang di ruang tamu.
"Sejak umur 3 tahun sudah tertarik dengan wayang kulit karena suka ikut ayah dalang keliling," ucap Sarijo saat dijumpai di rumahnya, Minggu (23/7/2023).
Ia mengungkapkan memang keluarganya secara turun- temurun sudah dikenal sebagai dalang wayang kulit di Dawarblandong.
Baca juga: Armada Band hingga Nella Kharisma Siap Meriahkan HUT Kota Kediri ke-1.144
"Saya diajari ayah untuk menjadi dalang wayang kulit. Ya belajar dari orang-orang juga," jelasnya.
Menurutnya, awal tertarik dengan pewayangan saat diajak ayahnya menyaksikan pertunjukan kesenian wayang di gedung kesenian Surabaya. Setelah itu, ia menyukai wayang kulit dan menekuni untuk menjadi dalang cilik.
"Nah, suka wayang pas diajak ayah nonton pertunjukan kesenian di taman budaya Surabaya dulu, terus saya suka dan belajar. Awalnya itu saya belum mengerti pewayangan dan saat usia 6 tahun mulai belajar hingga sekarang usia 10 tahun," ungkapnya.
Dikatakannya, saat memainkan wayang kulit ia paling suka membawakan lakon Pandawa Lima. Ia juga mengikuti pertunjukan wayang kulit dan beberapa kali sesaat pernah menggantikan ayahnya menjadi dalang.
"Suka membawakan Pandawa perang dengan kurawa. Kalau karakter wayang yang saya suka, Gatotkaca, Antareja dan Antasena," terangnya.
Ia mengaku bahasa jawa kuno dalam pewayangan juga cukup sulit sehingga menjadi motivasi untuk semakin giat berlatih.
"Kalau bahasa jawa (Pewayangan) ya sudah bisa masih belajar terus, yang cukup sulit itu suluk wayang," ujar Sarijo.
Tak hanya berlatih di rumah, kedepannya Sarijo juga bergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler dalang wayang kulit di sekolahnya.
Dia bercita-cita ingin menjadi dalang kondang sebagai generasi penerus keluarga seniman.
"Saya ingin menjadi dalang dan menggantikan ayah," pungkasnya.
Kedua orang tuanya terlihat antusias menyaksikan anak sulungnya berlatih wayang kulit.
Didik Sasmito Aji (43) sang ayah menuturkan menjadi dalang wayang kulit merupakan murni keinginan puteranya. Keluarga juga tidak pernah menyuruh maupun memaksa lantaran semuanya itu adalah atas kemauan anak.
"Sejak awal semuanya saya serahkan ke anak tidak pernah memaksa.
Jadi dalang memang keinginan anak dan saya sangat mendukung karena bisa meneruskan keluarga dalang," bebernya.
Sebagai orang tua, Didik yang merupakan dalang juga selalu mensupport untuk mewujudkan keinginan dan cita-cita anaknya. Ia juga membuatkan pentas wayang kulit mini dari kelir atau layar tiga meter dan Debog pisang lengkap dengan alat musik gamelan jawa di ruang tamunya.
"Kalau latihan di ruang tamu, saya berikan wayang kulit dan pentas mini supaya bisa giat berlatih setiap hari usai sekolah untuk menjadi dalang wayang. Tentu saya mendukung dan punya anak generasi penerus," ungkapnya.
Ditambahkannya, memang ia mengenalkan berbagai kesenian ke Sarijo sejak anaknya usia dini.
“Saya dulu sekolah di SMKI Perdalangan Surabaya dan ibunya ini juga sinden, kakak perempuan penari sudah menikah. Dia dulu sejak masih usia tiga tahun sudah saya ajak ikut kalau saya ada pentas (Wayang kulit)," jelasnya
Tak jarang saat Didik pentas wayang kulit, ia sengaja meminta anaknya untuk menggantikannya saat adegan peperangan wayang kulit.
“Tampil itu terkadang saya pas pentas, anaknya saya suruh pegang saat peperangan sekitar setengah sampai satu jam. Banyak yang suka lihat ia dalang, saya ajak saat sekolah libur agar tidak mengganggu," tandasnya.
Denok Agustina (41) sang ibu yang juga merupakan sinden menambahkan bakat anaknya turun dari keluarga yang memang berlatar belakang seniman. Apalagi, ibunya atau nenek dari Sarijo adalah maestro Seni Tari Tledek Timbe asal Blitar dan kakek seniman gendang.
"Kalau saya selalu mendukung apa yang diinginkan anak dan kita sebagai orang tua juga bangga," tutupnya.