TRIBUNJATIM.COM- Inilah sosok penemu fosil gajah purba berusia ratusan ribuan tahun.
Fosil tersebut ditemukan di kawasan Sragen.
Sang penemu hanya diberi imbalan Rp 1 juta.
Dilansir dari Intisari, penemuan fosil gading gajah purba Stegodon di Desa Ngebung, Kalijambe, Sragen, Jawa Tengah, masih mendapat sorotan.
Terlebih ketika beredar kabar kompensasi yang diberikan kepada penemu gading tersebut.
Kabarnya, sang penemu gading purba berusia 800 ribu tahun itu cuma mendapat Rp1 juta.
Penemu gading gajah purba itu adalah Rudi Hartono.
Baca juga: Cerita Ruangan di Kantor Desa Disulap Jadi Museum Mini Tulungagung, Ada Fosil Rusa hingga Gigi Gajah
Pria 35 tahun itu sehar-hari bekerja sebagai operator mesin perontok padi atau tukang tleser dalam kesehariannya.
Dia menemukan gading gajah purba tersebut sekira pukul 17.15 WIB.
Rudi menemukan fosil tersebut ketika membuat pondasi rumah.
Dia membuat itu atas inisiatifnya sendiri saat para pekerja yang membantu untuk itu sudah pulang.
Rudi kemudian melanjutkan dengan menggali tanah.
Saat itu, Rudi menggali tanah tersebut menggunakan bantuan alat linggis.
Baru menggali sedalam 40 centimeter, linggisnya mengenai suatu benda, yang terlihat seperti fosil.
"Saya dapat bantuan bedah rumah, ini rencana mau bangun rumah, menggali fondasi, sore itu pekerja sudah pulang, sekitar pukul 17.15 WIB, saya nerusin sendirian," kata dia kepada TribunSolo.com, Selasa (1/8/2023).
"Nah fosilnya itu kena linggis, pecah sedikit, saya lihat seperti serat batu purbakala," tambahnya.
Dia tidak melanjutkan pekerjaannya dan kembali mengubur benda tersebut dengan tanah.
Rudi lalu melaporkan temuannya tersebut ke satpam yang ada di Museum Ngebung, yang lokasinya tak jauh dari rumahnya.
Kemudian, ada 2 orang dari museum datang ke lokasi temuan, yang mana diketahui jika fosil tersebut adalah fosil gading gajah.
Kepala Unit Museum Dayu, dan juga Pamong Budaya Ahli Situs Sangiran, Suwita Nugraha mengatakan awalnya pihaknya mengira temuan itu adalah fosil tulang rusuk.
Namun, ketika semakin disingkap, ternyata ukurannya lebih besar.
"Awalnya diperkirakan itu fosil rusuk, setelah disingkap, ternyata lebih besar dari rusuk, ternyata itu fosil gading gajah," jelasnya.
Fosil tersebut kemudian diberi cairan poliuretana sebelum dipindahkan ke Museum Ngebung untuk dilakukan konsolidasi.
Petugas BPSMP Sangiran segera melakukan verifikasi dengan mendatangi lokasi temuan.
Mereka memutuskan bahwa fosil itu harus diselamatkan.
Tim BPSMP Sangiran juga melakukan penggalian di lokasi temuan tersebut.
Penggalian dilakukan selama satu hari.
Pj Penyelamatan Temuan dan Imbalan Monitoring Situs Terpadu Sangiran Suwita Nugraha mengatakan, fosil gading gajah purba itu diperkirakan berusia 800.000 tahun.
Hasil pemeriksaan fosil menyimpulkan bahwa fosil tersebut diduga merupakan jenis Stegodon dan Elephas.
"Kita temukan tuf atau bagian dari gabuh karena warnanya memang kuning, sekitar 800.000 tahun yang lalu, memang tua," ucapnya.
"Tapi kalau saya lihat ini cenderung 80 persen jenis Elephas, gajah purba waktu itu," imbuh Suwita.
Setelah dilakukan pemeriksaan, fosil gading gajah purba itu akan disimpan sementara di storage atau gudang Museum Ngebung.
Nantinya, fosil tersebut akan didaftarkan sebagai benda cagar budaya sehingga bisa dikomersialkan oleh penemunya.
Suwita melarang temuan gading gajah purba itu untuk dijual.
Sebagai gantinya, penemu bisa menjadikan fosil tersebut sebagai tontonan atau obyek wisata dengan memungut biaya.
Rudi dan warga sekitar akhirnya sepakat untuk menjadikan fosil tersebut sebagai obyek wisata setelah dikembalikan oleh museum.
"Biar desa ada ikon wisata, ada pemasukan buat desa dan pribadi, bisa menarik wisatawan ke Klaster Ngebung, karena museumnya sepi sekali," ujar Rudi, dilansir dari Kompas.com (5/8/2023).
Suwita menerima baik keputusan itu.
Sebab, menurut dia cagar budaya bisa menjadi lebih baik bila masyarakat memanfaatkannya sebagai obyek wisata.
Suwita memastikan bahwa Rudi, selaku penemu fosil gading gajah purba akan mendapat imbalan atau uang kompensasi Rp 1 juta.
"Uang kompensasi paling besar kalau menemukan fosil manusia purba, karena itu sakral," kata dia.
Namun, jumlah imbalan itu dinilai masih terlalu kecil oleh warganet di media sosial.
Mereka mengatakan bahwa nominal itu tdiak seberapa jika Rudi menjual fosil gading gajah purba termuannya.
Kisah serupa juga terjadi di tempat lain, beberpa waktu lalu.
Di Lamongan kerap ditemukan peninggalan bersejarah, termasuk situs yang akhirnya diketahui jejaknya setelah dilakukan ekskavasi.
Kini sebuah situs struktur bata putih tak jauh dari pusat pemerintahan Lamongan ditemukan dan mulai di survey oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) wilayah XI.
Struktur batu putih di sekitar Makam Mbah Supendem itu berada di di Kelurahan Jetis, Kecamatan/Kabupaten Lamongan.
Peninjauan terakhir pada Desember 2022 lalu kini akhirnya diputuskan untuk dilakukan survey penyelamatan menggunakan metode ekskavasi arkeologis terhadap dugaan struktur berbahan batu putih oleh BPK, Sabtu (24/6/2022).
Pada hari pertama ini, kegiatan yang dilakukan adalah pembuatan grade di sekeliling objek dengan luas 16 x 16 meter, Jumat (23/6/2023).
Baru kemudian dilanjutkan dengan ekskavasi di hari kedua ini dari sisi Selatan oleh 5 orang pekerja dengan didampingi 5 orang dar Tim BKP Wilayah XI.
Ketua tim survey dari BPK Wilayah XI, Muhammad Ichwan ditemui Surya.co.id di lokasi mengungkapkan, survey penyelamatan tersebut merupakan tindak lanjut dari temuan dan peninjauan awal yang dilakukan beberapa waktu lalu.
Pertama adalah merespon informasi dari Ketua Rumah Sejarah Lamongan, Supriyo. Bahwa ada struktur batu putih di Kelurahan Jetis Lamongan.
Kemudian BPK wilayah XI mengunjungi lokasi. Dan perlu dilakukan tindak lanjut.
"Kegiatan kali ini adalah survey penyelamatan, yang merupakan tindak lanjut kami dari kegiatan penanganan temuan dan tinjauan kami di bulan Desember 2022," kata Ichwan.
Menurutnya, dari hasil penanganan temuan tersebut, menunjukkan adanya indikasi suatu struktur batu putih, sehingga perlu ditindaklanjuti dengan upaya survei penyelamatan.
"Jadi itu struktur batu putih, bukan bata," katanya.
Pada hari pertama, kegiatan pembuatan grade di sekeliling objek, baru kemudian dilanjutkan dengan ekskavasi.
Proses survei penyelamatan situs yang terletak di area pemakaman Kelurahan Jetis tersebut melibatkan 5 petugas teknis dari BPK Wilayah XI, serta beberapa pembantu lapangan.
Survey penyelamatan yang di lakukan ini menggunakan metode ekskavasi arkeologis, untuk mengetahui lebih awal apakah ini berpotensi sebagai struktur cagar budaya yang nantinya perlu ditindaklanjuti dengan pelestarian selanjutnya atau tidak.
Lebih lanjut Ichwan mengatakan, proses ekskavasi untuk survey penyelamatan terhadap dugaan struktur berbahan batu putih di Kelurahan Jetis, Kecamatan/Kabupaten Lamongan tersebut akan berlangsung selama 5 hari.
Dari hasil pekerjaan selama 5 hari itu nanti akan dilaporkan sebagai bahan kajian dan penelitian.
"Ini nanti target kami mendapatkan denah dan dimensi bentuk," kata Ichwan.
Penggalian dilakukan dengan menerapkan teknis yang dimulai dari sisi Selatan dengan kedalaman tertentu dan mengarah ke timur.
Penggalian tanah di sisi Selatan sampai siang ini sudah mencapai kedalaman 1,5 meter dengan tumpukan batu putih yang sudah kelihatan sebanyak 6 lapis.
Ekskavasi arkeologis dilakukan dengan ekstra hati-hati agar strukturnya tidak terdampak.
Sejauh ini menurut Ichwan belum ditemui kesulitan untuk aktifitas para pekerja di lokasi situs.
Yang ada hanya akar pohon bidadara raksasa yang sebagian menerobos ke beberapa arah termasuk ke sela struktur batu putih
"Kalau berpotensi tentu akan kami rekomendasikan untuk tindakan selanjutnya,"katanya.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com