"'Ya sudah, ngaji deh, nanti Baba yang anterin'. Ya orang saya main gaple mulu, enggak bisa ngaji," kata Tamin.
Selama proses mengantar anak sulungnya yang saat itu masih berusia 10 tahun, sedikit demi sedikit Tamin mulai mendapatkan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa.
"Iya (gara-gara ingat mati). Saat nunggu anak saya, saya tertarik saat dengar orang mengaji, 'Enak banget orang ngaji ya', gitu. Padahal enggak bisa mengaji," kata Tamin.
Alhasil, sekitar tahun 1990-an, Tamin mencari guru yang bisa mengajarkannya huruf-huruf hijaiyah.
Bersamaan dengan itu, ia juga belajar mengenai akidah Islam oleh guru lain.
"Belajar akidah di Citayam saya. Nah di situ, saya baru sadar di situ."
"Habis itu memperdalam lagi dan lagi. Tahun 1996, saya mulai mengajar ilmu tauhid," imbuh Tamin.
Setelah berhenti menjadi kondektur, Tamin pun menjadi petugas keamanan di salah SD yang satu yayasan dengan Masjid Al-Jabr.
Akan tetapi, pekerjaannya tersebut tidak bertahan lama.
Tamin dipindahtugaskan menjadi marbot Masjid Al-Jabr.
Tidak ada penolakan, Tamin justru menganggapnya sebagai garis kehidupan yang telah ditunjukkan oleh sang Pencipta.
"Kan kita, maaf ya, kalau jiwa sudah tua, mau cari pekerjaan apa? Ya kita ibaratnya sambil ibadah saja di masjid."
"Jadi, keuntungan jadi marbot ya beribadah. Enggak (ada penolakan), memang sudah tua, mau ngapain? Ikhlas saja," ungkap Tamin.
"Lah iya. Saya juga enggak sangka bisa jadi marbot. Itulah rahasia Allah. Kalau sudah rahasia Allah, apapun yang terjadi, itulah," imbuh dia.
Untuk diketahui, istri Tamin dan dua anaknya telah menghadap Sang Pencipta.