Polwan Bakar Suami di Mojokerto

Dosen Psikolog Untag Soroti Nasib Anak dari Briptu FN, Tetap Ada Pendampingan dari sang Ibu

Penulis: Sulvi Sofiana
Editor: Samsul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kondisi mental polwan bakar suami polisi di Mojokerto kini terungkap hasil visum terbaru dan penyesalan tersangka.

Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Sulvi Sofiana

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Polwan Briptu Fadhilatun Nikmah (FN) saat ini sedang menjalani proses hukum setelah membakar suaminya Briptu Rian Dwi Wicaksono hingga meninggal dalam perawatan medis di ICU RSUD Dr Wahidin Sudiro Husodo, Kota Mojokerto, Minggu (9/6) siang.

Selain aktif sebagai anggota Polisi Polres Mojokerto Kota, Briptu FN memiliki tiga orang anak, yang pertama berusia dua tahun dan dua balita berusia empat bulan.

Karolin Rista SPsi MPsi Psikolog, dosen Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya mengungkapkan ketiga anak pelaku saat ini di dalam tahapan yang sangat membutuhkan perhatian orang tua.

"Ketiganya masih sangat erat dengan peran Ibu karena dua anak lainnya masih terikat dengan ASI. Dalam tahapan perkembangan kita menyebutnya fase oral, fase oral ini tidak hanya berbicara mengenai kebutuhan gizi pada ASI. Tetapi ada kebutuhan-kebutuhan psikis lain,"tegasnya.

Mungkin karena keadaan anak-anak ini dikatakan Olin, sapaan akrabnya, anak-anak ini bisa mengkonsumsi susu formula.

Baca juga: Insiden Polwan Bakar Suami, Motivator Ayu Kyla : Perlu Pendampingan Khusus

Tetapi kebutuhan mereka akan bonding (ikatan) dengan orang tua khususnya ibu sangat dibutuhkan. 

Selain itu, untuk anak pertama yang masih berusia dua tahun juga membutuhkan bimbingan ibunya untuk bersiap memulai fase toilet training.  

"Fase ini anak mulai bersiap untuk mengerti bahwa bukan hanya penggunaan toilet tapi di mana saya harus boleh mengeluarkan anggota tubuh saya di mana saya harus menjaga tubuh saya. Pada tahapan ini sebenarnya sangat diperlukan bimbingan arahan dari orang tua,"lanjutnya.

Ia pun mengapresiasi jika pihak kepolisian tetap memberikan kebijakan pada pelaku untuk memenuhi hak anak-anaknya yang masih membutuhkan ibunya. 

"Saya rasa pasti teman-teman kepolisian sudah langsung melakukan itu dan dia (pelaku) butuh di support kalau memang dia mulai menyesali situasi ini,"ujarnaya.

Dukungan ini perlu diberikan karena kemungkinan pelaku akan menyadari bahwa yang telah terjadi adalah ketidakmampuannya dalam mengelola emosi yang terlalu berat.

"Maka perlu diyakinkan bahwa ia masih tetap menjadi seorang ibu dengan segala keterbatasannya. Ini jadi pembelajaran buat kita semua bahwa memiliki sebuah status dalam kehidupan itu erat hubungannya dengan tuntutan yang harus dipenuhi sehingga ini tidak hanya bicara terkait dengan tuntutan sosial kapan punya anak," lanjutnya.

Menurut Olin, kesiapan memiliki anak harus dengan penuh kesadaran dan kesiapan mental baik dari ibu maupun ayah karena akhir-akhir ini banyak kasus wanita yang akhirnya harus menghidupi dirinya sendiri padahal memiliki suami.

Hal ini menunjukkan masih ada suami yang tidak menyadari penuh akan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai suami maupun sebagai ayah hingga Indonesia disebut sebagai negara dengan kekurangan atau kehilangan figur Ayah.

Berita Terkini