“Saya kasih pakan saat sore saja. Dengan cara ini ikan tidak gembos (kurus) dan tidak jadi oversize (kelebihan ukuran),” paparnya.
Karena situasi ini, banyak pembudi daya ikan patin yang gulung tikar.
Sebelumnya, Kementerian Agama (Kemenag) sempat melakukan survei ke Kelompok Tani Ikan Mina Makmur Desa Bendiljati Wetan, tempat Yoyok bernaung.
Saat itu, Kemenag mencari pasokan daging ikan patin untuk jemaah haji Indonesia.
Namun ternyata kebutuhan konsumsi jemaah haji ini sedikit yang dipasok dari Lampung.
Informasi yang Yoyok dapatkan, kebutuhan terbesar justru dipenuhi dari Thailand dan Vietnam.
Sementara tidak ada sedikitpun daging ikan patin yang diambil dari Tulungagung.
“Tidak seekor pun ikan kami yang diambil. Kecewanya, yang kami dengar pasokan terbesar malah dari Thailand dan Vietnam,” keluh Yoyok.
Tatang Suhartono, pembudi daya sekaligus mantan Kepala Dinas Perikanan Tulungagung, membenarkan apa yang disampaikan Yoyok.
Saat ini yang bisa menjual adalah pembudi daya yang bekerja sama dengan pabrik fillet.
Menurut Tatang, sebenarnya kondisi pasar patin belum pulih selepas pandemi Covid-19.
“Sekarang kita mayoritas masih tergantung pada pabrik fillet. Kalau pasar mereka terbatas, permintaan patin juga sedikit,” jelas Tatang.
Kondisi ini juga tidak lepas dari kelebihan produksi patin di antara pembudi daya.
Saat harga patin bagus, pembudi daya berbondong beralih ke patin.
Akibatnya saat panen bersamaan harga patin anjlok.
“Memang selama ini tidak mau ditata dengan kuota. Ini nanti pasti berbondong-bondong ke jenis ikan lain yang harganya tinggi,” pungkas Tatang.