Berita Nasional

Minta Pemerintah Fokus Program Urgen, ini Usulan Ketua Banggar DPR Soal Kebijakan Fiskal 2025

Editor: Sudarma Adi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah

TRIBUNJATIM.COM, SURABAYA - Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah mencermati usulan pemerintah ke DPR RI soal asumsi ekonomi makro hingga kebijakan fiskal pada 2025 nanti.

Untuk itu, dia mengusulkan 4 hal ini jadi prioritas fiskal pada 2025 mendatang.

Dalam penjelasannya, dia mengurai bahwa pihaknya telah mengamati Pidato Presiden Joko Widodo yang menyampaikan Nota Keuangan RAPBN 2025 kepada DPR RI.

Dalam pidato itu, Pemerintah mengusulkan asumsi ekonomi makro; target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, Inflasi 2,5 persen, suku bunga SBN 10 tahun 7,1 persen, nilai tukar rupiah Rp. 16.100 /USD, harga minyak mentah Indonesia 82 USD/barel, lifting minyak bumi 6000 ribu barel/hari, dan lifting gas 1.005 ribu barel setara minyak/hari.

"Pada pembahasan dengan Banggar DPR nanti, saya berharap pemerintah setuju target pertumbuhan tahun depan minimal 5,4 persen. Sebab itu angka moderat, dan menjadi modal kita tahap setahap mengembalikan angka pertumbuhan tinggi seperti masa lalu, kita pernah tumbuh 6-7 persen, seperti yang diharapkan Presiden (terpilih) Prabowo Subianto. Namun sejak krisis moneter 1998, pertumbuhan ekonomi kita tertahan di 5 persenan hingga kini," paparnya, Jumat (16/8/2024).

Baca juga: Pengakuan Ketua Banggar DPR Said Abdullah Soal Revisi UU MD3: Dulu Saya yang Mengusulkan, Just It

Pria yang juga Ketua DPD PDIP Jatim ini juga memperkirakan, The Fed akan menurunkan suku bunga, sehingga nilai tukar (kurs) rupiah bisa dipatok lebih rendah. 

"Saya berharap bauran kebijakan pembayaran valas juga bisa lebih beragam, sehingga ketergantungan terhadap USD bisa kita kurangi. Dengan demikian kurs bisa lebih rendah di level Rp. 15.900- 16.000/USD. Demikian halnya dengan suku bunga SBN bisa kita dorong lebih rendah, sebab kita sudah menghadapi beban bunga utang yang semakin tinggi, dan tertinggi di ASEAN. Idealnya suku bunga SBN bisa di level 6,7 persen" tuturnya.

Dari sisi kebijakan fiskal, ke depan hendaknya pemerintah lebih fokus pada program program yang lebih urgen ditengah kondisi fiskal yang terbatas.

Dijelaskan, beberapa agenda kebijakan strategis yang perlu di topang oleh kebijakan fiskal tahun depan, seperti;

1.      Program kemandirian pangan. 

Sejak 2014 sampai 2023 jumlah kumulatif impor beras nasional mencapai 8,95 juta ton beras.

Kalau dihitung, 2019-2023 nilai impor beras nasional mencapai 1,95 miliar USD. Impor gula juga tidak kalah fantastis. Tahun lalu saja impor gula mencapai 5,07 juta ton dengan nilai 2,88 miliar USD. Komoditas lainnya seperti kedelai, susu, jagung, daging sapi, sayuran, buah semuanya impor. 

Pada tahun 2023 lalu, ekspor hasil pertanian kita 6,5 miliar USD, sedangkan nilai impornya mencapai 11,59 miliar USD, sehingga defisit impor hasil pertanian mencapai 5,0 miliar USD.

"Kita perlu program kemandirian pangan yang lebih fokus, yakni mendorong pangan pokok agar tidak bertumpu pada beras, sebab kita memiliki keanekaragaman pangan pokok yang beragam; umbi, sagu, dan sorgum. Program teknologi pangan harus mendorong tumbuhnya industrial farming, optimalisasi lahan tidak produktif, serta meningkatkan hasil laut sebagai kekayaan pangan masa depan yang lebih sehat," katanya.

2.      Program kemandirian energi

Dalam rentang 2015-2023 impor minyak mentah mencapai 69,3 miliar USD, sementara ekspor hanya 30,1 miliar USD, sehingga ada defisit 39,2 miliar USD.

Demikian juga dengan nilai impor hasil minyak mencapai 165,2 miliar USD, sedangkan nilai ekspor hanya 17,9 miliar USD yang berakibat defisit sangat dalam 147,3 miliar USD. 

Sejak konversi program minyak tanah ke LPG, kebutuhan impor LPG Indonesia terus meningkat. Dalam rentang 2015-2023, kebutuhan impor LPG Indonesia mencapai 51,4 juta ton, dilain pihak setiap tahun Indonesia bisa ekspor gas alam dengan nilai yang cukup fantastis.

Periode 2015-2023 nilai ekspor gas alam Indonesia mencapai 70,2 miliar USD. 

"Dalam jangka pendek, transformasi energi kita yang bersandar ke minyak bumi termasuk LPG harus di geser ke listrik, sebab kita memiliki produksi listrik yang besar, dan di topang oleh suplai batubara yang memadai. Namun kebijakan energi tidak boleh terhenti di listrik, sebab transformasi pembangkit listrik PLN tidak boleh hanya bertumpu pada PLTU. 

Oleh sebab itu, bauran kebijakan energi baru dan terbarukan kedepan harus lebih progresif. Pada tahun 2015 bauran energi terbarukan masih 4,9 persen, di tahun 2022 bauran energi terbarukan mencapai 12,3 persen, meskipun tumbuh baik, namun butuh lompatan yang lebih besar, karena itu dibutuhkan kebijakan afirmasi. Idealnya proporsi bauran energi baru dan terbarukan lima tahun kedepan minimal mencapai 30 persen," paparnya.

3.      Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM)

Tenaga kerja di Indonesia yang bekerja saat ini berjumlah 142,1 juta, ironisnya 54,6 persen diantaranya lulusan SMP ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja negera terserap di sektor informal.

Dengan demikian, Indonesia belum mendapatkan manfaat maksimal dari bonus demografi.

"Index Pembangunan manusia kita masih peringkat 6 ASEAN, dibawah Singapura, Brunai, Malaysia, Thaiand dan Vietnam. Balita, sebagai generasi masa depan kita masih mengalami prevalensi stunting sebanyak 21 persen. Afirmasi untuk memperbaiki kualitas SDM sebagai daya saing utama harusnya jadi perhatian utama kedepan. Setidaknya kedepan index pembangunan manusia kita bisa melampaui Vietnam,Thailand, dan Malaysia," ujarnya.

4.      Infrastruktur

Dia menjelaskan, kebijakan fiskal harus mendorong penguatan program infrastruktur, terutama infrastruktur yang menopang ketiga program diatas.

"Dengan demikian belanja infrastruktur bisa lebih fokus, apalagi kita tidak memiliki ruang fiskal yang longgar karena tergerus berbagai kewajiban mandatori, subsidi, dan kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang," tegasnya.

Berita Terkini