Berita Viral

37 Tahun Jualan Cemilan Jadul, Sugimin Sukses Bisa Kuliahkan Anak, Cara Simpan Uang Tak Biasa

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sugimin penjual cemilan jadul yang sukses kuliahkan anak tanpa perlu merantau. Cara menyimpan uang hasil usaha tak biasa.

TRIBUNJATIM.COM - Kerja keras puluhan tahun jualan cemilan jadul yang dilakukan pasutri bernama Sugimin dan Tini membuahkan hasil.

Pasutri tersebut bisa menyekolahkan anak hingga lulus kuliah.

Cemilan jadul yang mereka produksi masih tetap eksis di tengah-tengah masyarakat hingga kini.

Sugimin (54) dan Tini menjual cemilan bernama gatot dan kerupuk trowolo.

Warga Dusun Sunggingan, Desa Jambeyan, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen ini sudah menekuni usaha tersebut sejak 1987.

Ini berarti sudah 37 tahun berjalan.

"Kemungkinan bisa usaha turun temurun."

Baca juga: Video Perkenalan Mahasiswa Baru dari Papua Viral Tuai Pujian, Motivasinya Kuliah Sungguh Mulia

"Usaha gatot ini usahanya orang berat, beratnya karena dimulai metik singkong, mengupas, memarut, mulai sampai matang prosesnya bisa seharian," ujarnya seperti dilansir dari Tribun Solo, Rabu (4/9/2024).

Terpisah, istri Sugimin, Tini (47) mengatakan, usaha ini dijalankan karena penghasilan yang didapatkan bisa untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Selain itu, dengan usaha ini, Tini dan suaminya tidak perlu merantau jauh keluar kota seperti yang biasa dilakukan warga desa pada umumnya.

"Awal menggeluti usaha ini, hasilnya lumayan buat keseharian, buat menyekolahkan anak sudah menjangkau," ujar Tini.

"Kalau cari kerjaan di luar kota enggak bisa ketemu keluarga karena keluar kota."

"Kalau bikin ini bisa sama keluarga," sambungnya.

Dengan pundi-pundi rupiah yang terkumpul, Sugimin dan Tini mampu menyekolahkan anak-anaknya.

Bahkan hingga ke perguruan tinggi.

Sugimin dan Tini, pasutri pembuat gatot dan kerupuk trowolo warga Dusun Sunggingan, Desa Jambeyan, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen. (TRIBUN SOLO/SEPTIANA AYU LESTARI)

"Saya punya anak 3, perempuan semua."

"Yang besar kuliah di Poltekes, anak kedua saat ini kelas 3 SMK di Gondang, kemarin habis PKL."

"Anak yang ketiga baru masuk tahun ini di SMK Negeri 2 Sragen," terangnya.

Menurutnya, kedua putrinya itu sudah memiliki rencana ingin melanjutkan kuliah setelah lulus SMK.

"Mintanya lanjut kuliah, bismillah mudah-mudahan bisa," singkatnya.

"Karena sekarang biaya kuliah tidak begitu mahal, dulu sekira Rp6 juta, sekarang mungkin bisa lebih dari Rp6 juta."

"Selisihnya semoga tidak banyak."

"Yang cukup berat mungkin biaya kos, dulu Rp300 ribu, sekarang menjadi Rp600 ribu, belum biaya makan," ujarnya.

Meski begitu, sebagai orangtua, Tini dan Sugimin tidak pernah merasa lelah untuk mengantar anak-anaknya mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.

Tini tidak pernah menabung dengan mengumpulkan uang barang sedikit.

Caranya menyimpan uang dengan merawat ternak, baik kambing atau sapi, dan menggarap sawah.

Jika ada kebutuhan mendesak, mereka bisa menjual kambing atau sapi atau dengan mengandalkan hasil panen. 

Sugimin pembuat gatot dan kerupuk trowolo warga Dusun Sunggingan, Desa Jambeyan, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen. (TRIBUN SOLO/SEPTIANA AYU LESTARI)

Sementara itu, kegigihan anak penjual telur bernama I Wayan Sudiatmaja (18) bikin sang ibunda luluh.

Perjuangannya tak sia-sia, kini Wayan bisa kuliah murah di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Ia tak menyangka bisa mengenyam kuliah di bangku universitas ternama di Indonesia.

Wayan adalah anak sulung orang tua yang kesehariannya bekerja sebagai penjual telur di Karangasem, Bali.

Ia diterima kuliah di prodi Ilmu Komunikasi Fisipol UGM melalui jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) 2024.

Saat mendaftar dan registrasi, Wayan mengajukan untuk mendapatkan beasiswa KIP Kuliah.

Namanya pun kini terdaftar sebagai calon mahasiswa penerima KIP Kuliah.

Bahkan saat registrasi, ia mendapat subsidi UKT sebesar 75 persen.

Keluarga Wayan mengontrak di rumah bedeng ukuran 5x7 meter persegi dengan dinding berdempetan dengan penghuni kontrakan lain.

Lokasinya berada di salah satu gang sempit hanya berjarak kurang dari 10 meter dari Jalan Raya Candidasa, Karangasem, Bali.

Baca juga: Fakta Mahasiswi Berhenti Kuliah usai Ayah Ditipu, Diduga Jual Kisah Sedih demi Hedon: Banyak Korban

Sehari-hari, ayah Wayan, I Nengah Raul Adyana (43), menjadi pedagang telur keliling di pasar hingga warung-warung kelontong dan restoran sepanjang jalan di Karangasem.

Telur dagangnya diambil dari pemilik kandang ayam petelur yang berada 3 km dari rumahnya.

Dalam seminggu, ia bisa mengambil telur dari kandang sebanyak 25 karpet.

Telur-telur tersebut lalu dibawah ke rumahnya untuk dibersihkan dan disusun rapi kembali di wadah karpet.

Jika laku, setiap karpet telur ia mendapat untung sebesar Rp3.000.

"Kalau dihitung bersih rata-rata dapat Rp1,5 juta sampai 1,8 juta per bulan," kata Nengah.

Selain dari penghasilan dari berjualan telur, keluarga ini juga mengandalkan dari pekerjaan sang ibu yang menjadi pengrajin tenun kain gringsing.

Untuk satu kain dikerjakan sekitar 1 hingga 1,5 bulan tergantung dari ukuran kain yang dipesan.

"Untuk satu kain, saya dapat Rp 600 ribu," kata ibunda Wayan, Ni Luh Sulastini (42).

Penghasilan dari berjualan telur dan menjadi pengrajin tenun, bagi Ni Luh sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari dan membayar kontrakan.

Ia tidak terbesit untuk menguliahkan Wayan ke universitas, mengingat biayanya cukup mahal.

Baca juga: Senyum Ahmad Yuli Setiawan Anak Petani Kuliah Gratis di UGM Bermula dari Merawat Sapi, Ini Sosoknya

Sementara dari penghasilan keduanya tidak mencukupi.

"Wayan sempat ngomong mau kuliah. Sempat pula saya larang karena terbentur biaya."

"Dia bilang maunya nyoba lewat jalur KIP-K. Saya bilang, ya coba saja dulu," katanya.

Ni Luh menuturkan, tidak hanya ingin kuliah namun juga menyampaikan keinginan melanjutkan kuliah ke UGM.

"Saya sempat tanya UGM itu dimana? Dia jelasin. Lalu saya tanya biaya kostmu bagaimana?" kenangnya.

Meski berat untuk melepaskan anak mendaftarkan kuliah di Jawa, namun Ni Luh mengaku dirinya luluh saat melihat kegigihan anak sulungnya tersebut.

Niluh hanya berdoa di setiap waktu sembahyang.

Dia pun sempat bernazar, jika Wayan lulus, ia akan membawa sesaji pejati dalam tradisi Hindu untuk dibawa ke pura.

"Karena sudah janji saya. Itupun saya laksanakan pas hari odalan, kurang lebih satu bulan saat sembahyang setelah Wayan dapat pengumuman (kuliah) di UGM.

Saya sendiri ke sana (Pura), bapak tidak tahu. Saya bawa Ayam, pisang, jajan, buah-buahan. Saya antar ke pura," katanya.

Wayan sendiri mengaku tidak mudah untuk membujuk kedua orang tuanya untuk merestui dirinya bisa mendaftar kuliah di UGM.

Dia pun menjanjikan untuk mendaftar beasiswa KIP-K agar tidak membebani kedua orang tuanya.

Wayan paham, penghasilan orangtuanya sebagai pedagang telur keliling dan pengrajin tenun tentu akan kesulitan membiayai kuliahnya kelak.

Beruntung bagi Wayan, ia menjadi salah satu calon penerima beasiswa KIP-K untuk calon mahasiswa baru tahun 2024 ini.

Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com

Berita Terkini