Berita Viral

Manfaatkan Limbah Eceng Gondok, Pemuda Bantu Pedagang Tak Lagi Pakai Gas Elpiji, Hemat 50 Persen

Penulis: Alga
Editor: Mujib Anwar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Eceng gondok dimanfaatkan jadi pengganti gas elpiji

TRIBUNJATIM.COM - Limbah eceng gondok di tangan para pemuda Desa Walahar, Kecamatan Ciampel, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, bisa disulap menjadi barang yang sangat bernilai dan bisa menghasilkan cuan.

Bahkan sejumlah pemuda tersebut berhasil mengubah tanaman eceng gondok menjadi biogas yang sangat berguna untuk sumber energi alternatif.

Ide ini muncul dari keresahan warga akibat masifnya pertumbuhan eceng gondok di danau dan sungai.

Baca juga: Sudah 16 Tahun Warga Desa Ini Tak Pakai Gas Elpiji, Sebulan Hemat Cuma Bayar Rp15 Ribu Berkat Limbah

Ya, di tangan para pemuda kreatif, eceng gondok bisa menjadi barang-barang lain bernilai ekonomis seperti tas dan kursi.

Tak hanya menjadi kerajinan, eceng gondok ini juga bisa menjadi biogas.

Diketahui, eceng gondok merupakan tanaman air yang tumbuh secara masif di perairan, terutama di sungai dan danau.

Pertumbuhan eceng gondok yang meluas dapat menyebabkan penyumbatan dan penyempitan alur sungai dan danau.

Selain itu, masalah ekologis juga sangat terdampak.

Seperti penurunan kualitas air, hilangnya habitat bagi spesies air, dan meningkatnya risiko banjir di daerah sekitarnya.

Nah, yang dilakukan seorang pemuda berusia 21 tahun bernama Dhani Ubed ini bisa menjadi teladan bagi teman-teman sebaya.

Pasalnya ia berhasil mengubah eceng gondok menjadi biogas melalui sejumlah proses.

Sebelumnya, Dhani Ubed telah membuat alat-alat penunjang untuk mengubah eceng gondok menjadi biogas.

Alat-alat tersebut meliputi alat pencacah, bak penampungan, serta sejumlah selang untuk menyalurkan biogas ke dapur-dapur.

Selain itu dibutuhkan juga bahan tambahan lain seperti kotoran hewan atau kohe.

Pemuda Karawang ubah eceng gondok jadi biogas (YouTube/KOMPASTV)

Langkah pertama yaitu eceng gondok yang telah dibersihkan digiling hingga sangat halus.

Setiap harinya untuk mencapai kapasitas 1600 liter biogas, diperlukan cacahan eceng gondok sebanyak 50 kilogram.

Eceng gondok yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam bak penampung yang dinamakan fix dom bak kedap udara.

Kemudian campurkan kotoran hewan, khususnya kotoran sapi, sebagai sumber bakteri metanogen.

Penambahan kotoran hewan sapi ditambahkan setiap tiga bulan sekali, sebagi 25 hingga 50 kilogram.

Dari proses tersebut maka jadilah biogas.

"Setelah dicacah, digiling, itu masuk ke inlet, itu sudah ada yang namanya kotoran sapi."

"Kotoran sapi bertemu eceng gondok, nah di situ menghasilkan gas kan, seperti itu," jelas Dhani Ubed, melansir tayangan di kanal YouTube KOMPASTV, Selasa (17/9/2024).

Baca juga: Sudah 13 Tahun Dewi Jarang Beli Gas Elpiji, Masak Pakai Bahan Bakar Lain, Hemat Rp720 Ribu Setahun

Dari proses ini juga menghasilkan cairan limbah yang bisa digunakan sebagai pupuk.

"Tapi ada yang masuk menjadi gasnya, tetapi ada cairan juga yang sifatnya itu limbah, itu naik ke bak outlet."

"Dan bak outlet itu menampung sisa-sisa limbah dari gas tersebut, dan itu bisa kita gunakan sebagai pupuk, seperti itu," sambungnya.

Biogas ini kemudian disalurkan ke sejumlah dapur pedagang UMKM yang berada di sekitar danau.

Berkat adanya biogas ini, pedagang pun merasa terbantu karena bisa hemat pengeluaran untuk pembelian gas elpiji hingga 50 persen.

"Untuk UMKM terbantu dengan adanya biogas dari eceng gondok ini," ungkap seorang pedagang, Siti Solihat.

Selain diubah menjadi biogas, eceng gondok ini juga bisa diubah menjadi barang-barang bernilai ekonomis lainnya.

Seperti tas, pot bunga, serta barang-barang hiasan atau pajangan unik.

Hal serupa juga dilakukan warga Dukuh Pesalakan, Desa Adiwerna, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, yang sudah selama 16 tahun tak pernah beli gas elpiji.

Rupanya hal itu juga karena warga desa yang sudah turun temurun menjadi perajin tahu kuning.

Mereka pun memanfaatkan bahan bakar lain hingga bisa hemat cuma bayar Rp15 ribu sebulan.

Sudah 16 tahun terakhir sejak 2008, perajin tahu di Dukuh Pesalakan berhasil mengolah limbah tahu menjadi energi terbarukan berupa biogas.

Bahkan banyak warga yang saat ini tidak menggunakan tabung gas elpiji, melainkan menggunakan gas dari limbah tahu.

Diketahui, satu rumah produksi tahu dalam seharinya bisa mengolah 100 hingga 150 kilogram kedelai.

Limbah tahu yang baunya cukup menyengat tersebut sempat menjadi permasalahan bagi warga desa tetangga.

Warga setempat, Ranito (50) mengatakan, limbah tahu warga sebelumnya dibuang ke sungai hingga menyebabkan bau yang tidak sedap.

Dampaknya, banyak warga dari desa sekitar yang merasa jengkel.

Tetapi setelah limbahnya diubah menjadi biogas, baunya hilang dan gas yang dihasilkan bisa untuk memasak.

"Saya sejak 2008 belum pernah beli tabung gas elpiji," katanya, Selasa (13/8/2024).

"Untuk warga hemat juga, sebulan hanya membayar Rp15 ribu," imbuh Ranito.

Perajin tahu, Rumiyati (45) mengatakan, Dukuh Pesalakan menjadi sentral produksi tahu sudah turun temurun, dia pun melanjutkan usaha milik orang tua.

Dalam sehari, ia bisa memasak 10 kali hingga 60 kilogram kedelai.

Baca juga: Sudah 13 Tahun Dewi Jarang Beli Gas Elpiji, Masak Pakai Bahan Bakar Lain, Hemat Rp720 Ribu Setahun

Menurutnya, keberadaan limbah tahu mengganggu lingkungan karena baunya sangat menyengat.

"Dulu dibuang di selokan belakang rumah, jadi baunya menyengat."

"Alhamdulillah sekarang ada salurannya sendiri, jadi aman," ungkapnya kepada Tribun Jateng.

Limbah dari perajin tahu yang berjumlah sampai 200 rumah produksi tersebut disalurkan melalui pipa-pipa khusus atau Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di bawah tanah.

Saluran ini terpusat di rumah pengolahan yang memiliki empat biodigester dan berdiri di lahan seluas 700 meter persegi.

Penanggung jawab rumah biodigester, Rosikin (52) bercerita, pembuatan IPAL pengolahan limbah tahu menjadi biogas ini sejak 2008.

Sebelumnya limbah tahu dibuang ke belakang rumah, ada kolam yang dibuat oleh masing-masing perajin tahu.

Karena baunya menjadi masalah, sempat ada rencana pembuangan limbah melalui Sungai Gung yang melintasi Desa Kalimati.

Tetapi warga di desa tersebut tidak mengizinkan hingga terjadi keributan.

"Akhirnya dari pemerintah saat itu bekerja sama dengan UGM buat biogas. Maka sejak 2008 sampai sekarang, alhamdulillah masih berfungsi baik," ujarnya.

Penanggung jawab Rosikin memperlihatkan api dari biogas yang diolah dari limbah tahu di Dukuh Pesalakan, Desa Adiwerna, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa (13/8/2024). (TRIBUN JATENG/FAJAR BAHRUDDIN ACHMAD)

Rosikin menjelaskan, saat ini pengolahan dan perawatan sepenuhnya sudah diserahkan ke warga Dukuh Pesalakan.

Manfaatnya banyak dirasakan warga, dari limbah yang baunya menyengat justru bisa menjadi gantinya gas elpiji.

Masyarakat juga lebih hemat dengan cukup membayar Rp15 ribu per bulan dan bisa menggunakan setiap hari.

Selain itu, limbah tahu yang sudah melalui proses biogas saat keluar sungai sudah tidak memiliki bau apapun.

"Jadi penyaringan-penyaringan di biodigester itu saat keluar sudah tidak menyengat, baunya benar-benar hilang," jelasnya.

Rosikin mengatakan, dulu warga yang bisa menggunakan biogas dari limbah tahu ini bisa sampai 60 rumah.

Saat ini tinggal di sekitar rumah biodigester saja sekitar 25 rumah, karena terdampak proyek pembangunan jalan tol.

Dia berharap, ke depannya rumah biodigester ini mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah atau instansi pemerintah terkait, sehingga jaringannya bisa diperluas dan dapat dimanfaatkan masyarakat.

"Harapannya ke depan, kami ingin ada pencerahan dari pemerintah terkait penyaluran air limbah ke IPAL.

Kami ingin punya instalasi yang lebih bagus supaya tidak terhambat di penyalurannya," harapnya.

Berita Terkini