TRIBUNJATIM.COM - Demi pendidikan, Wiga Kurnia Putri rela mengajar meski dengan gaji Rp 200 ribu per bulan.
Rasanya nilai itu tidak sepadan dengan perjuangannya sebagai guru sehari-hari.
Suami Bu Wiga ternyata juga seorang guru.
Sebuah video yang merekam seorang guru sedang membuka amplop gaji berisi uang Rp 200.000, viral di media sosial.
Dalam video tersebut disertakan kalimat "Alhamdulillah, semoga semua yang sudah kita kerjakan menjadi ladang barokah dan pahala untuk kita semua".
Guru perempuan dalam video tersebut adalah Wiga Kurnia Puspasari (27), seorang guru honorer di salah satu SMP swasta di Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Saat dihubungi Kompas.com, Wiga membenarkan bahwa guru dalam video tersebut adalah dirinya. Dia mengaku merekam momen tersebut sebagai bentuk doukmentasi pribadi dan tak ada niat untuk ditujukan pada pihak manapun.
"Saya sering merekam kebersamaan dengan murid-murid. Buat dokumentasi. Jadi soal video gaji itu tidak untuk menjatuhkan pihak lain. Dan pihak sekolah juga tahu dan tidak mempermasalahkannya karena kondisinya memang seperti itu," kata Wiga saat dihubungi Kompas.com melalui video call pada Selasa (8/10/2024).
Baca juga: Guru Taufan Terenyuh Lihat Murid-murinya Makan di Kolong Meja, Rupanya Ada yang Puasa: Kasihan Pak
Sejak tahun 2021, ia mengajar mata pelajaran IPS dan PKN di sekolah yang berada di dekat rumahnya. Kepada Kompas.com, Wiga menceritakan pilihannya menjadi seorang pendidik.
Menurut Wiga, sekolah tempat ia mengajar hanya memiliki 40 murid dengan 4 guru dan satu kepala sekolah. Ia tahu konsekuensi gaji yang ia terima saat memilih mengajar di sekolah tersebut.
"Sekolah tempat saya mengajar antara ada dan tiada. Padahal sekolahnya sudah lama, bahkan kakek saya dulu mengajar di sini. Papa saya dan keluarganya juga sekolah di sini."
"Saya tahu sejak awal gajinya Rp 200.000. Enggak kaget karena memang jumlah siswanya minim," kata Wiga.
Wiga menyelesaikan pendidikan SMA di Kabupaten Banyuwangi. Lalu ia kuliah di Kota Malang dan menikah. Pada tahun 2021, ia dan keluarga kecilnya kembali ke Banyuwangi.
Lalu sang suami mengajar sebagai guru honorer di salah satu SMA di Kabupaten Banyuwangi. Wiga awalnya memilih menjadi ibu rumah tangga dengan dua anak.
Melihat pendidikan Wiga, kerabatnya pun menawarinya untuk mengajar di SMP swasta di dekat rumahnya.
Menurut Wiga, di sekolah tersebut statusnya adalah guru honorer dan datanya tidak masuk dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
"Syaratnya memang dua tahun mengajar untuk masuk dapodik. Sempat ditawari. Tapi saya memilih untuk tidak, karena saya masih punya mimpi yang belum terwujud. Jika disebut relawan mengajar, ya bisa juga," kata ibu dua anak tersebut.
Saat pertama kali mengajar, Wiga mengaku kondisi sekolahnya sangat memperihatinkan karena sarana dan prasarana yang jauh dari kata layak.
"Kelas yang bisa digunakan hanya satu, jadi bergantian. Termasuk kursi-kursinya juga banyak yang rusak. Kalau hari pendek, ada yang belajar di kelas, di ruang guru dan perpustakaan," ujarnya.
Baca juga: Soroti Berbagai Kebijakan Transportasi, Guru Besar ITS Dapat Penghargaan dari Menhub
Menurut Wiga, sebelum Penerimaan Peserta Didik Baru, biasanya SMP akan memperkenalkan sekolahnya di SD-SD sekitar. Namun tidak untuk sekolah tempat Wiga mengajar.
Saat PPDB berlangsung, dia akan mencari anak yang putus sekolah agar bisa melanjutkan pendidikan di tempatnya mengajar.
"Pertama kali mengajar, saya ajak anak tetangga. Saya datangi satu per satu agar mereka mau sekolah."
"Saya bilang enggak usah bayar seragam, enggak usah bayar apa-apa. Untuk SPP bisa bayar semampunya. Mau Rp 10.000, mau Rp 5.000 tidak masalah. Yang penting anak-anak mau sekolah," kata Wiga.
Wiga pun mencontohkan siswanya yang tinggal 200 meter dari sekolah. Siswa tersebut yatim piatu dan tinggal dengan kerabat jauhnya.
"Saya jemput, saya ajak sekolah karena sebelumnya memang berhenti setelah lulus SD. Ada juga murid saya yang jadi pengamen di jalan," kata Wiga sambil tersenyum.
Tak hanya itu, selama ini mereka juga tak menggelar upacara karena tak memiliki pengeras suara.
"Murid saya tanya bu kapan upacara. Saya jawab nanti ya kalau ada pengeras suara karena memang pengeras suara yang lama sudah rusak," kata dia.
Selain itu, ia juga mengajarkan murid-muridnya menabung setiap hari Rp 1.000 agar bisa digunakan untuk membayar biaya ijazah jika lulus SMP.
"Kenapa mewajibkan menabung Rp 1.000 ya untuk kebutuhan mereka nanti saat lulus karena sekarang banyak ijazah yang tidak diambil karena kendala ekonomi," kata dia.
Baca juga: Sosok Pak Alvi Guru Honorer Nyambi Jadi Pemulung, Momen Haru saat Ketemu Muridnya, 36 Tahun Mengabdi
Selama menjadi guru di SMP tersebut, Wiga mendapatkan banyak pengalaman salah satunya adalah pendidikan yang tidak menjadi prioritas orangtua.
Selain itu banyak muridnya yang berasal dari keluarga yang kekurangan, baik kekurangan ekonomi dan kasih sayang. Alasan itu yang menjadi dasar ia tetap mengajar, walau menerima gaji Rp 200.000 per bulan.
"Saya ibu dengan dua anak dan menyadari bahwa pendidikan ini penting buat mereka. Dan mengajar adalah kebahagian buat saya," kata dia.
Tak hanya itu, setelah pandemi Covid-19, ia sempat terkejut saat tahu banyak siswa SMP yang ia ajar tak lancar membawa dan menulis.
"Sekolah ini kan memfasilitasi murid untuk belajar, di rumah nanti harus diulangi lagi dan ada peran orangtua. Tapi di sini peran orang tua sangat minim," kata dia
Selain itu Wiga juga bercerita, gaji Rp 200.000 yang didapatkan tak seluruhnya ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi sebagian untuk siswanya.
"Kadang saya tanya butuh apa? Buku, tas atau sepatu atau jajan. Saya enggak bilang semua gaji untuk murid-murid saya, tapi sebagian memang untuk mereka," kata Wiga.
Menurutnya kebutuhan keluarga dipenuhi oleh penghasilan sang suami yang bekerja sebagai guru honorer di salah satu SMA.
"Saya selalu berdoa agar suami diberikan rezeki yang cukup dan juga bisa lolos P3K. Doanya yaa," kata dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com
Berita Viral dan Berita Jatim lainnya
Informasi lengkap dan menarik lainnya di GoogleNews TribunJatim.com