TRIBUNJATIM.COM - Nelangsa nasib petani sayur belakangan ini.
Harga sayuran hasil panen petani anjlok di pasaran.
Seperti kangkung yang dijual hanya Rp300 per ikat.
Hal ini membuat Yanto, petani di Kabupaten Musi Rawas (Mura), Sumatera Selatan sedih.
Ia merasa rugi sebab modal yang dikeluarkan untuk merawat sayuran tak sedikit.
Kondisi ini sudah dirasakan Yanto selama sebulan belakangan.
Baca juga: Selamatkan Kereta dari Rel Putus, Mbah Jamin & Sarmo Kini Diberi Uang Rp20 Juta & Tiket Luxury
Alhasil, tak sedikit dari hasil tanamannya dibabat habis dijadikan pakan ternak kambing dan sapi.
Yanto diketahui merupakan seorang petani sayuran jenis kangkung dan bayam warga Kelurahan B Srikaton Kecamatan Tugumulyo, Musi Rawas.
"Harga sayuran, termasuk kangkung di tingkat petani lagi anjlok," kata Yanto saat diwawancarai Sripoku, Minggu (13/10/2024) di lahan persawahannya, dikutip dari Tribun Sumsel.
Yanto mengaku, penurunan harga sayuran di tingkat petani sudah terjadi dan berlangsung sejak kurang lebih sebulan terakhir.
"Awalnya masih Rp600 sampai Rp700 per ikat, sekarang hanya Rp300 sampai Rp400 saja. Itu di tingkat petani. Kondisi ini sudah berlangsung kurang lebih 1 bulan terakhir," kata Yanto.
Menurut petani, turunnya harga sayuran di tingkat petani saat ini, karena banyak petani yang juga menanam sayuran.
Sehingga, hasil panen juga melimpah
"Sekarang kan pasca panen padi, jadi banyak petani yang tanam sayuran, termasuk kangkung untuk menunggu masa tanam padi selanjutnya," jelas Yanto.
Tak hanya kangkung lanjut Yanto, seperti harga semua jenis sayuran juga ikut turun, seperti bayam.
"Sepertinya semua sayuran turun, sayur bayam awalnya di harga Rp800 sampai Rp1.000 per ikat, sekarang hanya Rp500 per ikatnya," ungkap Yanto.
Untuk itu, petani berharap kepada tengkulak, agar menaikan kembali harga sayuran di tingkat petan, sehingga petani tidak mengeluh.
"Karena dengan harga saat ini, tentu membuat petani merugi, tak sebanding dengan modal dan perawatannya, mulai dari bibit, pengolahan lahan, pupuk hingga penyemprotan," jelas Yanto.
Bahkan sedihnya, saat ini para tengkulak ini juga tidak mau mengambil dalam jumlah yang banyak.
Hal itu berpotensi semakin tingginya kerugian yang dialami para petani.
"Tengkulak beli di petani juga dibatasi, sehari paling cuman 200 ikat. Padahal, tanaman kangkung ini kalau sudah terlalu tinggi dan roboh itu tidak bisa dijual lagi," tegasnya.
Lebih lanjut Yanto menjelaskan, alhasil tanaman kangkung yang sudah tidak bisa dijual.
Kini dibabat habis untuk dijadikan pakan ternak sapi dan kambing.
"Ini dibabat untuk dijadikan pakan ternak, karena tidak bisa dijual. Tapi ada juga yang harusnya masih bisa dijual, tapi tetap dibabat. Karena petani kecewa dengan harga sayuran di tingkat petani yang turun," tutup Yanto.
Baca juga: Tiap Hari Dapat Rp20 Ribu Dari Sol Sepatu Buat Bayar Kontrakan, Mbah Komar Nangis di Pinggir Jalan
Sementara itu, kepiluan juga dirasakan petani bernama Ahmad Bin Hanapi AT (47), warga Desa Buong Baru, Kecamatan Betayau, Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara.
Ia sebelumnya dipenjara karena menggarap tanah kebunnya sendiri.
Namun kini akhirnya bisa bernapas lega setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Selor memutuskan dirinya tidak terbukti bersalah.
Ahmad tidak terbukti melakukan tindak pidana penyerobotan lahan, sebagaimana dituduhkan oleh perusahaan PT Adindo Hutani Lestari (AHL).
Dalam Putusan Nomor 83/Pid.Sus/2024/PN Tanjung Selor, hakim juga memerintahkan agar Ahmad segera dibebaskan dari penahanan.
Ahmad dibebaskan pada Kamis, 10 Oktober 2024, melalui Berita Acara Pengeluaran Tahanan Bebas Dari Dakwaan, Nomor W.18.PAS.8-PK.01.02-2825.
"Saya ini tidak sekolah. Tidak bisa baca tulis, jadi pas diminta tanda tangan kertas sama polisi, saya coretkan tanda tangan saya. Saya tidak tahu itu bunyinya apa, ternyata itu surat penahanan," ujar Ahmad saat ditemui pada Minggu, 13 Oktober 2024.
Ia mengaku sangat bersyukur atas putusan bebasnya, yang dianggapnya sebagai keadilan bagi masyarakat yang selama ini terpinggirkan.
"Nasib saya ini, sebenarnya dialami banyak masyarakat di Desa Buong Baru dan desa-desa sekitar, yang setiap saat dapat dijadikan tersangka di atas tanahnya sendiri," katanya, dikutip dari Kompas.com.
Setelah bebas, Ahmad berencana kembali ke kampung halamannya untuk berkumpul dengan keluarga dan melanjutkan pengelolaan lahan garapannya sebagai kebun campur.
Baca juga: 47 Tahun Hilang, Mbah Tobari Pulang Kondisinya Buta Disambut Tangis Keluarga, Dikira Sudah Meninggal
Ahmad dilaporkan oleh PT AHL pada 25 Maret 2024, dan ditahan keesokan harinya.
Ia dituduh melakukan tindak pidana mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, yang diancam dengan pidana maksimal 10 tahun dan denda 5 miliar rupiah.
"Saya bingung karena saya menggarap tanah kebun warisan turun temurun dari kakek saya. Ada saya punya SPPT sejak 1990, sementara PT AHL itu ada di KTT pada 1996. Kenapa saya dituduh menyerobot lahan perusahaan?" ungkap Ahmad.
Kasus Ahmad mulai disidangkan pada 3 Juni 2024, tanpa didampingi penasihat hukum.
Situasi ini menarik perhatian komunitas aktivis lingkungan Green Of Borneo (GOB), yang kemudian menggandeng pengacara dari Kantor Advokat Safir Law Office Jakarta.
Ketua GOB Kaltara, Darwis, menyesalkan Ahmad tidak didampingi penasihat hukum selama proses penyidikan.
"Ini jelas bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan Yurisprudensi Mahkamah Agung," sesal Darwis.
Ia menambahkan Ahmad menggarap tanah keluarga seluas 3 hektar dengan bukti penguasaan tanah berupa SPPT yang diterbitkan pada 1990.
Sementara itu, PT AHL mengeklaim tanah tersebut berada dalam konsesi HTI yang telah mendapatkan izin dari pemerintah pada 1996.
Setelah proses persidangan yang berlangsung selama 4 bulan 7 hari, Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim Budi Hermanto memutuskan Ahmad tidak terbukti melakukan tindak pidana.
Ahmad dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum (Vrijspraak) dan dikeluarkan dari Lapas Nunukan sesuai perintah hakim.
Ketua tim Penasihat Hukum Terdakwa, Asep Y Firdaus, mengapresiasi putusan tersebut, yang mengadopsi nota pembelaan dari penasihat hukum.
"PT AHL tidak menjalankan kewajiban hukumnya sebagaimana diperintahkan oleh keputusan Izin HTI dari Menteri," ujarnya.
Asep menambahkan, putusan ini memberi sinyal kepada para pemegang izin usaha kehutanan untuk mematuhi aturan hukum yang berlaku.
Serta memberikan keadilan kepada masyarakat adat dan komunitas lokal.
Darwis menegaskan putusan Majelis Hakim menunjukkan rakyat kecil masih memiliki ruang untuk mendapatkan keadilan.
"Sejak Presiden Soeharto sampai Jokowi, tidak ada proses yang benar tentang pengakuan hak-hak adat bagi masyarakat adat," ungkapnya.
Darwis menantang seluruh kandidat dalam Pilkada serentak mendatang untuk memperhatikan hak masyarakat adat dalam kawasan hutan.
"Menteri Kehutanan dan ATR BPN harus belajar dari putusan ini dan menjadikannya sebagai dasar untuk kebijakan agraria yang lebih berkeadilan," tegasnya.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews Tribunjatim.com