Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Lu'lu'ul Isnainiyah
TRIBUNJATIM.COM, MALANG - Kasus guru yang dipolisikan muridnya di SMP Dampit, Kabupaten Malang, berujung damai.
Rupi'an (55) guru yang dipolisikan murid berinisial DE (14), bersama orang tua DE, hadir dalam mediasi yang digelar oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Satreskrim Polres Malang, Senin (9/12/2024).
Tak hanya itu, pihak kepolisian turut mengundang intansi terkait, mulai dari Dinas Pendidikan Kabupaten Malang, Kementerian Agama, serta perangkat desa yang ditempati sekolah tersebut.
Proses mediasi berlangsung di ruang Restorative Justice Satreskrim Polres Malang.
Mediasi berjalan lancar, bahkan antara Rupi'an dan ayah DE saling berpelukan.
Panit UPPA Satreskrim Polres Malang, Aiptu Erlehana Maha mengatakan, pihak pelapor yakni orang tua DE sudah mencabut laporan sejak Jumat (6/12/2024) lalu.
Kedatangan mereka bertujuan untuk damai tanpa ada tuntutan apapun, termasuk ganti rugi senilai Rp 70 juta.
"Tanggal 6 (Desember 2024) kemarin, pelapor dan terlapor datang ke kami, menyampaikan kedua pihak sudah berdamai tanpa ada tuntutan apapun," kata Aiptu Erlehana Maha ketika dikonfirmasi.
Aiptu Erlehana Maha menjelaskan, dalam mediasi juga membahas terkait pencegahan ke depannya di dunia pendidikan agar tidak terjadi kejadian serupa.
"Jadi harapanya ke depanya itu akan ada koordinasi lagi bagiamana dari awal kita menangani terkait pelaporan yang melibatkan guru maupun murid," tandasnya.
Baca juga: Muridnya Tewas setelah Dihukum 100 Kali Squat Jump, Guru Selli Kini Terancam 15 Tahun Penjara
Sementara itu, ibu murid yakni JM (32) menyampaikan pertimbangan mencabut laporan, karena ia turut memikirkan pendidikan anaknya, dan untuk menjaga nama baik dunia pendidikan.
"Saya juga memikirkan pendidikan ke depannya, terus ke depannya pendidikan di Malang Raya gimana. Tapi alhamdulillah tadi sudah disampaikan semua, biar sama-sama menjaga nama baik pendidikan," imbuh JM.
Setelah kasus ini berakhir, JM berharap tidak ada kejadian serupa lagi.
Harapan selanjutnya, jika memang murid ada salah, hendaknya bisa dibicarakan baik-baik.
JM menuturkan, setelah kejadian ini, DE sempat mengalami trauma.
Trauma itu menyebabkan DE tidak sekolah selama satu bulan setelah kejadian di Agustus 2024 lalu.
"Kemarin-kemarin masih ada (trauma) tapi alhamdulillah sekarang membaik. Kemarin pas sekolah misal ketemu gurunya itu (Rupi'an) anaknya masih ada rasa takut," bebernya.
Dikatakan JM, kini kondisi DE mulai membaik setelah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan pendampingan.
Bahkan, DE kembali bersekolah dan mulai mengikuti ujian kelas 3 SMP.
Secara terpisah, Rupi'an menambahkan, ada hikmah yang bisa diambil pascakejadian ini.
Ia berharap tidak ada kasus seperti ini lagi ke depannya.
"Kejadian ini bisa menjadi pembelajaran, khususnya bagi wali murid harus lebih baik lagi dalam memberikan akhlak kepada murid, sehingga wali tidak kewalahan dalam mendidik," sambungnya.
Diberitakan sebelumnya, Rupi'an dilaporkan orang tua DE ke pihak kepolisian atas dugaan penganiayaan.
Kejadian ini terjadi pada Agustus 2024, dan dilaporkan pada pertengahan September 2024.
Kronologinya, saat sebelum pelajaran dimulai, Rupi'an bertanya kepada anak didiknya apakah sudah melaksanakan salat subuh.
Dari pertanyaan yang dilontarkan Rupi'an di dalam kelas, DE salah satunya tidak salat subuh.
Kemudian ia maju ke depan kelas.
Saat itu, DE mengumpat lalu terdengar Rupi'an. Lalu Rupia'an reflek menampar DE.
Setelah kejadian ini, DE sempat tidak masuk sekolah.
Karena tidak terima, orang tua DE melaporkan kejadian ini ke polisi.
Bahkan dalam proses mediasi, orang tua meminta ganti rugi senilai Rp 70 juta ke Rupi'an.