Laporan Wartawan Tribun Jatim Network, Willy Abraham
TRIBUNJATIM.COM, GRESIK - Tradisi udik-udikan dan lebaran ketupat atau kupatan digelar meriah di Gresik. Sejumlah warga merayakan tradisi ini sejak Senin (7/4/2025) pagi.
Tradisi udik-udikan masih dilestarikan, salah satunya di Desa Suci, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, tampak meriah.
Tradisi udik-udikan di Gresik menjadi salah satu warisan budaya lokal yang penuh makna, dimana warga secara bergantian menaburkan uang sebagai bentuk ungkapan syukur atas rezeki yang melimpah sepanjang tahun.
Tradisi ini dimulai usai pelaksanaan selametan, yakni tasyakuran bersama yang dilakukan sejak pukul 5 dini hari.
Masyarakat membawa ambeng atau tumpeng nasi lengkap dengan lauk pauk dan lontong ketupat untuk dibawa ke masjid terdekat. Hal ini sebagai simbol rasa syukur dan harapan baik di tahun ini.
Baca juga: Pembantu Curi Perhiasan Majikan di Gresik, Dijual Murah untuk Keperluan Lebaran
Salah satu warga Suci, Nur Aviviyah mengatakan sejak pagi sekitar pukul 05.30 WIB, tradisi udik-udikan sudah dimulai.
Masing-masing rumah bersiap untuk menabur uang ke jalanan atau halaman rumah mereka dengan harapan bisa membawa rezeki yang melimpah dan mendapat keberkahan.
"Tradisi udik-udikan, jenis uang yang disebar beragam, mulai dari uang koin pecahan Rp 500 hingga puluhan ribu rupiah. Nilainya pun bervariasi, tergantung kemampuan warga," ungkapnya.
Baca juga: Mobil BMW Terjun dari Tol Gresik Belum Tersambung, Jadi Korban Google Maps, Begini Kondisi Sopir
Dalam satu rumah, warga Desa Suci bisa merogoh kocek mulai dari Rp100 ribu hingga lebih dari Rp1 juta untuk tradisi udik-udikan.
"Kalau masyarakat umumnya satu rumah kisaran Rp100 ribu sampai Rp200 ribu. Tapi ada juga yang lebih dari Rp1 juta. Ini sudah menjadi tradisi turun temurun di Sini," terangnya.
Tak hanya anak-anak, orang dewasa pun tampak antusias mengikuti momen ini. Mereka berkeliling kampung, dari utara ke selatan, mengikuti iringan suara sorak sorai dan gelak tawa yang memenuhi udara pagi.
Baca juga: Serunya Libur Lebaran Bersama Keluarga di Edu Wisata Lontar Sewu Gresik, Harga Tiket Murah Meriah
Keseruan bertambah ketika warga mulai menyairkan lagu Suraiyo kemudian berlomba-lomba menangkap uang yang disebar.
Sementara Hari raya ketupat atau delapan hari di bulan Syawal atau sepekan setelah hari raya Idulfitri terus dilestarikan hingga saat ini. Bahkan, tradisi warisan Sunan Kalijaga ini digelar di seluruh Indonesia, utamanya di Pulau Jawa.
Hari Raya Ketupat, atau yang dikenal dengan sebutan “Lebaran Ketupat”. Ini merupakan tradisi yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Jawa.
Baca juga: Puncak Arus Balik Lebaran 2025 di Pelabuhan Gresik Diprediksi Terjadi pada 6 April
Biasanya masyarakat membuat ketupat dan disajikan untuk dimakan. Sejumlah tempat juga menggelar kegiatan doa bersama di masjid, setelah itu makan ketupat bareng.
Awal mula, tradisi ini bentuk syukur setelah menjalankan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal. Ini juga sebagai hari raya setelah puasa enam hari Syawal yang memilikinya keutamaan luar biasa.
Berdasarkan dari berapa sumber tradisi ini diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, salah satu dari Wali Songo, pada abad ke-15. Beliau memanfaatkan tradisi slametan yang sudah berkembang di masyarakat Nusantara.
Kupatan ini sebagai sarana dakwah untuk mengenalkan ajaran Islam tentang bersyukur kepada Allah SWT. Mereka bersedekah, dan bersilaturahim di hari lebaran.
Ketupat, atau “kupat” dalam bahasa Jawa, merupakan akronim dari “ngaku lepat” yang berarti mengakui kesalahan. Hal ini melambangkan permintaan maaf dan saling memaafkan antar sesama.
Selain itu, anyaman janur yang membungkus ketupat melambangkan kompleksitas kehidupan manusia.
Sementara warna putih nasi di dalamnya mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah saling memaafkan. Masyarakat merayakannya dengan menganyam ketupat bersama.
Kemudian saling bertukar hidangan, dan mengadakan doa bersama sebagai ungkapan syukur atas kemampuan menjalankan puasa Syawal.
Pramono salah satu warga Desa Banjarsari, Kecamatan Manyar mengatakan tradisi lebaran Ketupat tidak hanya sekadar perayaan budaya, tetapi juga memiliki nilai religius yang mendalam.
Tradisi ini berkaitan dengan anjuran Rasulullah SAW untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan, yang pahalanya setara dengan berpuasa selama setahun penuh.
“Momen kupatan untuk ajang bersilaturahmi dengan keluarga dan tetangga agar guyup rukun. Tradisi ini terus dilestarikan sebagai warisan budaya yang sarat makna dan nilai-nilai luhur,” imbuh Pramono.