TRIBUNJATIM.COM - Seorang Lurah didakwa memeras atau menerima suap dari warganya yang hendak menjual tanah.
Ia menyalahgunakan kekuasaan atau secara melawan hukum melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri.
Aksi tersebut dilakukan Lurah Kelapa Dua, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, periode 2015-2017, Herman (63).
Baca juga: Rumah Subsidi 18 Meter Persegi dari Pemerintah Dinilai Tak Manusiawi, REI: Enggak Bisa Bayangkan
Hal itu seperti diungkapkan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Barat pada Senin (16/6/2025).
"Menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri," kata Jaksa Alif Ardi Darmawan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Jaksa menguraikan, Herman diduga memeras warganya, Effendi Abdul Rachim, yang hendak menjual tanah orang tuanya, H Abd Rochim, kepada Pranoto Gading pada Mei 2016.
Tanah tersebut diperoleh Abd Rochim pada 25 Juni 1975, dengan harga Rp3,5 juta.
Ketika hendak dijual pada tahun 2016, nilai aset lahan tersebut mencapai Rp2.878.774.000.
Sebagai syarat pembelian lahan tersebut, Pranoto meminta Effendi untuk mengantongi lampiran dokumen.
Yakni Surat Pernyataan Tidak Sengketa, Surat Pernyataan Penguasaan Fisik, Surat Rekomendasi, serta Legalisir Surat Perjanjian Jual Beli.
Syarat ini membuat Effendi harus mengurus pembuatan Surat Pernyataan Tidak Sengketa dan Penguasaan Fisik (Sporadik) serta Surat Rekomendasi Tanah yang memerlukan tanda tangan Lurah Kelapa Dua.
"Effendi Abdul Rachim datang ke Kantor Kelurahan Kelapa Dua menemui terdakwa selaku Lurah Kelapa Dua," ujar jaksa Alif.
"Dan saat itu terdakwa memaksa saksi Effendi Abdul Rachim untuk memberikan komisi sebesar 10 persen dari harga jual tanah," imbuh dia.
Effendi sebenarnya merasa keberatan, namun ia terpaksa menyanggupi permintaan Herman.
Ia lalu menghubungi perantara bernama Bahrudin yang berperan sebagai perantara jual beli untuk meminta uang muka kepada Pranoto.
Effendi kemudian menerima pembayaran uang muka sebesar Rp500 juta dari Pranoto dan mengabarkan kepada Herman bahwa uang yang diminta sudah siap.
Ia kemudian menemui Staf Pengurus Barang pada Kelurahan Kelapa Dua, Darusman, yang diutus Herman di Restoran Bengawan Solo, sebelah kelurahan.
"Saksi Effendi Abdul Rachim langsung menyerahkan uang tunai sebesar Rp200.000.000 yang dibungkus tas plastik warna hitam," kata jaksa Alif.
Uang panas tersebut akhirnya sampai ke tangan Herman sehingga ia menandatangani dokumen yang diajukan Effendi sesuai perjanjian.
Setelah itu, Herman membagikan uang Rp10 juta kepada Darusman.
Jual beli tanah antara Effendi dengan Pranoto pun dilakukan sesuai dengan akta jual beli rumah dan pengoperan hak nomor 71 tertanggal 24 Desember 2016.
"Dengan nilai Rp 2.878.774.000," tutur jaksa Alif.
Atas perbuatannya, Herman dijerat dakwaan subsidaritas terkait dugaan pemerasan dan suap.
Herman dinilai melanggar Pasal 12 huruf e atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca juga: Lokasi KKN Jokowi Kini Dituding Palsu, Warga Desa Bersaksi Pernah Bertemu, Beli Gitar Naik Vespa
Kasus lainnya, Suprapti (71), mantan Kepala Desa Gemarang, ditahan Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Madiun, Selasa (10/6/2025).
Ia ditahan setelah Suprapti diperiksa sebagai tersangka selama empat jam dalam kasus korupsi pembangunan kolam renang.
Kolam renang yang dibangun di Dusun Mundu, Desa Gemarang, ini telah merugikan negara hingga Rp1 miliar.
Suprapti enggan memberikan komentar saat digiring ke mobil tahanan dengan mengenakan rompi merah.
Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Madiun, Oktario Hartawan, mengonfirmasi penahanan tersangka,
Ia mengatakan, penahanan ini bertujuan untuk kelancaran penyidikan kasus pembangunan kolam renang yang berlangsung dari tahun anggaran 2018 hingga 2021.
"Tersangka ditahan selama 20 hari ke depan di Lapas Madiun untuk kepentingan penyidikan," kata Oktario, yang akrab disapa Rio, didampingi Kasi Pidsus, Inal Sainal Saiful, dan Kasi Intel, Achmad Wahyudi.
Rio menjelaskan bahwa Suprapti ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik mengumpulkan alat bukti yang cukup.
Termasuk perhitungan kerugian negara yang mencapai Rp 1 miliar.
"Kerugian dalam pembangunan kolam itu total loss sebesar Rp 1 miliar," ungkapnya.
"Kolam renang dan fasilitas pendukung lainnya tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya," imbuh Rio.
Pembangunan kolam renang tersebut dibiayai melalui berbagai sumber anggaran.
Termasuk Dana Desa (DD) Tahun Anggaran 2018, 2019, Bantuan Keuangan Khusus (BKK) 2020, dan DD Tahun 2021.
Meskipun telah menerima dana yang cukup, kolam renang tersebut tidak dapat dimanfaatkan dan terkesan mangkrak.
"Hasil penyidikan kami menunjukkan bahwa pembangunan kolam renang tidak masuk dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJMDesa) Gemarang tahun 2016-2021."
"Dan pelaksanaannya tidak melibatkan partisipasi masyarakat," tegas Rio.
Lebih lanjut, Rio menambahkan bahwa pembangunan kolam renang yang dimulai pada tahun 2019 dan berlangsung hingga tahun 2020, tidak disertai dengan pertanggungjawaban penggunaan anggaran yang akuntabel.
"Bangunan kolam renang tidak bisa dimanfaatkan, padahal sudah menelan anggaran hingga Rp 1 miliar," ujarnya.
Suprapti diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-undang RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 3 jo Pasal 18 UU yang sama.
Mengenai perkembangan kasus lainnya, Oktario menyebutkan bahwa penyidikan kasus pembangunan kolam renang di Desa Sukosari, Kecamatan Dagangan, masih berlanjut.
Penyidik terus mendalami keterangan dari berbagai saksi terkait kasus tersebut.
Baca juga: Guru Mundur Massal dari Sekolah Bodong, Kerja Bak ART, Disuruh Beli Ayam Goreng Buat Anak Kepsek
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Kabupaten Madiun telah mengumumkan bahwa status penanganan kasus dugaan korupsi dua proyek kolam renang yang mangkrak, dengan total nilai mencapai Rp1,5 miliar, telah naik dari penyelidikan ke penyidikan.
Proyek-proyek tersebut mencakup kolam renang di Dusun Mundu, Desa Gemarang, dan Desa Sukosari, Kecamatan Dagangan.
Oktario menyatakan bahwa peningkatan status kasus tersebut diambil setelah tim penyidik melakukan ekspos perkembangan penanganan kasus.
"Hasil dari ekspos atau gelar perkara menyepakati kasus ini naik dari penyelidikan ke penyidikan," pungkasnya.
Pria yang akrab disapa Rio ini menyatakan, sebelum mengekspos, tim penyelidik sudah memeriksa sekitar 41 orang.
Rinciannya 20 orang terkait pembangunan kolam renang di Desa Gemarang.
Lalu 21 orang terkait pembangunan kolam renang di Desa Sukosari.